Rasa paranoid—entah bisa kusebut seperti itu atau tidak—Dokter Dalton mungkin terasa sedikit berlebihan. Jika seharusnya kami sudah tahu apa yang ingin ia katakan, sekarang kami malah harus kembali menempuh perjalanan selama delapan jam yang memuakkan. Bahkan, tanpa sempat bermain-main di pantai terlebih dahulu. Untungnya, kini Wijaya yang menyetir, sehingga kedua kakiku dapat beristirahat tanpa perlu merasakan pegal akibat pedal gas dan rem yang harus diinjak secara bergantian.
Kami sempat berhenti di tempat pengisian bahan bakar. Namun, tak adanya kedai makanan membuat kami harus berkendara lebih jauh lagi—bukannya bersitirahat—sebelum berhasil menemukan tempat makan yang dapat kami singgahi.
Ketika Wijaya memarkirkan mobil secara paralel, aku menghubungi Loka, menanyakan kabarnya, apa yang sedang ia lakukan dan apakah dia sudah makan atau belum. Tentu, hal itu di luar kebiasaanku, sehingga Loka membalas, "Ada apa, Pak?" dan bukannya menjawab pertanyaanku. Padahal, aku hanya tak memiliki pekerjaan lain selain ... tentu saja diam di dalam mobil. Apalagi?
Aku dan Loka saling berkirim pesan selama beberapa menit, hingga kusadari bahwa Wijaya telah bersiap untuk keluar dari mobil, menungguku menyelesaikan pekerjaan. Jadi, percakapanku dengan Loka kuakhiri dengan ucapan selamat tinggal. Segera setelahnya, kukunci ponsel, kusakukan, keluar dari mobil, kemudian mendengar bunyi yang menandakan bahwa mobilku telah terkunci—Wijaya menekan tombolnya.
Selama perjalanan, aku tak henti-hentinya menanyakan perhial Luthfi padanya, mencari tahu apakah Wijaya memberitahu Luthfi mengenai kasus yang sedang kami tangani ini. Namun, tentu dengan penuh keheranan Wijaya menyanggah dugaanku itu. Tidak, katanya, kemudian bertanya-tanya mengapa secara tiba-tiba aku membahas perihal Luthfi.
"Apa Luthfi memberimu ponsel?" Sekali lagi, aku mencoba mencari tahu. Namun, dengan reaksi yang sama, Wijaya menggeleng seraya berkata, "Tidak, Pak."
Sebelum mulai menyelidiki kasus pembunuhan dengan jeli ini, aku pernah menceritakan ponsel pemberian Luthfi pada Wijaya. Namun, aku tak pernah mencari tahu apakah Luthfi melakukan hal yang sama pada orang-orang yang mengetahui eksistensi dirinya—termasuk Wijaya. Pengetahuan Luthfi yang cukup luas mengenai kasus ini mulai mengusik pemikiranku. Logikanya, tak mungkin dia mengetahui hal-hal mengenai informasi yang tak pernah keluar dari internal kepolisian, kan? Aku tahu, dia bekerja sama dengan polisi-polisi korup itu. Namun, mengingat ketegangan yang sedang terjadi di antara mereka, apa mungkin para polisi itu membocorkan rahasia tak penting pada Luthfi? Bahkan dengan sangat cepat.
Rumah makan khas Sunda yang kami kunjungi ini sebenarnya tidak menonjolkan kelebihan apapun. Semuanya terasa biasa, tidak ada yang istimewa, tapi bukan berarti buruk juga. Aku dan Wijaya sanggup menghabiskan pesanan kami kurang dari lima belas menit karena kelaparan dan kelelahan. Setelah selesai, kami memutuskan untuk diam di tempat ini sedikit lebih lama. Tentu sebagai bentuk pembalasan karena sebelumnya kami tak berhasil berhenti untuk beristirahat.
Ah, mengenai Dokter Dalton, ketika Wijaya tampak tak acuh dengan sambutan Ibu Rafna, sebenarnya Wijaya menghubungi Dokter Dalton, mengangkat tubuhnya dan sengaja tak ingin percakapannya dengan Dokter Dalton terdengar olehku, apalagi Ibu Rafna yang kini anaknya sedang kami tahan. Jadi, saat ini pun aku sedang dilanda kecemasan. Apa yang mereka bicarakan?
"Apa Luthfi menghubungi Anda, Pak?" Akhirnya keheningan pecah dalam seketika ketika Wijaya bertanya sambil merapikan piring-piring bekas makanannya, sekadar membantu para pelayan agar beban pekerjaannya berkurang.
"Ya," balasku, jelas dan tegas tanpa tambahan apapun. Namun, hal itu malah membuat Wijaya lebih penasaran.
"Luthfi menyelidiki kasus yang kita tangani ini, Pak?"
"Aku yang memintanya." Aku menarik napas panjang. "Bukan menyelidiki juga, sebenarnya, aku hanya memintanya untuk mencari orang."
"Pertiwi? Ah, Shelly? Atau ...." Wijaya menahan napasnya, menghentikan kalimatnya sebelum selesai. Tampaknya, Wijaya masih belum bisa menerima kepastian bahwa Pertiwi mencuri identitas Shelly, berpura-pura menjadi perempuan yang dibunuh itu. Sayangnya, kini kepercayaanku itu mulai luntur. Si brengsek Luthfi membuat kekacauan dalam benakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]
Mystery / ThrillerSebuah pembunuhan kembali terjadi di kota Bandung. Bagian gilanya, sang pembunuh menggunakan jeli sebagai alat yang ia gunakan! Dengan jejak seadanya, Roy dan Wijaya dipaksa untuk melacak keberadaan sang pembunuh. Buku 4 Serial Detektif Roy Seluruh...