7. ̶̟̦͎̫̭̭̤͗͒world.search(y̗̺͕̥̜̦̰̏̓̑̓͑̀ͅo̵̢̳̥̦̬̻̼͐ͧ͆̚u̸̸͉͓͖̯͖̩͛̓̅̇ͅ); ̪̭̪̼͢

3.4K 455 38
                                    

Aku tak akan berkilah, menutupi kebusukan yang kadang dilakukan oleh pihak kepolisian. Jika seluruh penyelidikan yang kulakukan menemui jalan buntu dengan seorang tersangka yang berada pada sisi terdalam tetapi tak dapat kujangkau—dengan kata lain aku mengetahui sang pelaku tetapi tak dapat mencari bukti maupun motif yang tepat—sebenarnya bisa saja kusewa saksi palsu, seseorang yang berpura-pura berada di lokasi kejadian untuk memberikan kesaksian palsu yang dapat menguatkan hasil penyelidikanku. Mereka hanya perlu membayangkan diri berada di lokasi kejadian, membuat diri mereka setidak menarik perhatian mungkin, mencegah kronologi utama yang sebenarnya terjadi tidak berantakan, tetapi tetap menjadi bagian penting dalam suatu kasus pembunuhan.

Tapi, tentu rencana semacam itu bukanlah hal yang baik. Salah sedikit langkah, maka aku yakin tamparan keras Komisaris Yudha akan mendarat di pipiku. Bahkan, mungkin sikunya akan bersandar dan menekan tengkukku, membuatku terkulai lemas. Aku dapat mendengarnya berkata "Tolol!" dalam proyeksi khayalan yang dibuat oleh otakku. Namun, sebaliknya, jika aku sukses memenjarakan seseorang dengan saksi palsu, tak mungkin ada orang yang tahu selain orang-orang dalam yang tahu dengan jelas lokasi kejadian.

Namun, untuk sekarang aku memilih untuk tak melakukannya.

Gertakan yang kulakukan membuat Ibu Maharani terbelalak. Baru kulontarkan satu pertanyaan sederhana, tetapi tampaknya ia sudah mengerti ke mana pertanyaan-pertanyaan selanjutnya—tentu saja yang akan keluar dari mulutku—menuju. Kacamatanya didorong ke atas hingga menutupi kedua alisnya. Kemudian, sekali lagi ia menatap tak percaya ke arahku.

"Bagaimana, Bu? Bisa Anda ceritakan selama seminggu terakhir ini, setiap malam, apa saja yang Anda lakukan?" Sekali lagi, kuperjelas pertanyaan itu seandainya Ibu Maharani tak menyimaknya dengan baik.

Sayup-sayup kudengar ia bergumam, hampir tak mengeluarkan sedikitpun kata sebelum akhirnya ia perjelas, "Saya tidur. Kenapa?"

"Anda tidak mungkin tidur dari pukul enam sore hingga enam pagi, kan?"

Di daerah tropis seperti Indonesia ini aku merasa cukup beruntung karena setidaknya waktu matahari terbit dan terbenam selalu berada dalam rentang waktu pukul lima hingga tujuh, tak berubah dan disesuaikan dengan musim yang ada, sehingga biarpun kusebutkan suatu waktu yang spesifik seperti jam di atas, aku tahu Ibu Maharani pasti menyadari makna tersirat dalam kalimatku—dari mulai malam hingga pagi menjelang.

"Biasanya saya pulang ke rumah pukul sepuluh malam."

"Terlalu larut untuk sekolah yang tak mungkin selesai pukul sembilan malam."

Sekali lagi, perempuan itu menatapku tak percaya. Namun, kulanjutkan dengan sebuah pertanyaan yang sebenarnya tak terlalu jauh dari pertanyaanku sebelumnya.

"Ke mana Anda pergi sebelum pukul sepuluh malam itu?"

"Kafe."

"Setiap hari?"

"Hampir setiap hari. Kebiasaan saya. Sudah dua minggu atau tiga minggu terakhir ini."

"Untuk apa?"

"Banyak pekerjaan. Administrasi, silabus mata pelajaran, anak-anak sudah mulai masuk ke minggu ujian dan saya harus menyiapkan soal-soal untuk diberikan."

"Bisa beritahu alamat kafe itu?"

Ibu Maharani menyebutkan suatu alamat yang tentu secara otomatis segera kucatat. Aku harus melakukan pengecekan ulang. Jika seandainya orang-orang yang berada di kafe itu bisa membuktikan eksistensi Ibu Maharani di tempat yang sama dengan waktu yang tepat, maka aku tak dapat dengan seenaknya menuduh perempuan ini sebagai pelaku pembunuhan. Lain ceritanya jika semua orang berbohong. Tapi, untuk apa berbohong?

Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang