11. Wolfborn

3.1K 466 31
                                    

Di bawah bulan yang menggantung, mataku menatap tajam rumah sederhana yang bahkan belum kutinggalkan lebih dari tujuh puluh dua jam. Lampu-lampu bagian luarnya menyala, tetapi aku tak mendapati sedikitpun tanda-tanda kehidupan di dalam rumah ini. Tak ada suara televisi yang menyala, suara orang yang tengah bercengkrama, suara dengkuran keras seseorang yang tengah tidur, apalagi suara ledakan akibat tabung gas yang bocor, membuatku sedikit kebingungan untuk menentukan tindakanku selanjutnya.

Wijaya sendiri telah mengonfirmasi padaku bahwa dia tidak bisa menyusul untuk pergi ke rumah Ibu Maharani, tetapi dengan sigap Wijaya menawarkan diri untuk menyiapkan diri di kantor ketika aku bilang akan membawa Ibu Maharani segera pada malam ini. Padahal, sebelumnya Wijaya sudah mengatakan bahwa ia ada janji untuk menghabiskan waktu bersama istrinya dan Riska. Aku merasa sedikit bersalah karena di luar jam kerjanya pun Wijaya masih lebih mementingkan sikap profesionalnya daripada urusan keluarga.

Langkahku terasa berat, aku tidak yakin dengan apa yang kuhadapi sekarang ini. Aku terlalu terburu-buru untuk mengatakan 'akan membawa Ibu Maharani ke kantor' padahal aku tidak tahu dapat menemukannya hari ini atau tidak. Namun, jika aku tak berhasil, bukan hanya akan membuat pekerjaanku bertambah berat, tetapi aku pun telah merusak rencana Wijaya yang telah disusunnya sedemikian rupa dalam kedamaian.

Aku mengetuk pintu sebanyak tiga kali dan hampir kehilangan harapan karena sekali lagi—sedikitpun—tak kutemui tanda-tanda kehidupan dalam rumah ini. Dalam pikiranku terlintas satu kesimpulan yang paling tak kuinginkan: Ibu Maharani kabur. Namun, tak sampai tiga puluh detik pemikiran itu hinggap dalam kepalaku, dengan tarikan ringan tanpa suara keras, pintu itu terbuka, menampilkan seorang laki-laki kurus dengan kumis tipis dan kacamata yang menghiasi wajahnya. Lelaki itu kebingungan melihatku.

"Malam, Pak." Aku mencoba menyapa lelaki itu sesopan mungkin sembari menghilangkan seluruh pemikiran-pemikiran tak keruan tadi.

Lelaki ini pasti suami dari Ibu Maharani.

"Saya mencari Ibu Maharani. Apa beliau ada?"

Kedua mata lelaki itu memindai tubuhku, menyorot seluruh perawakanku dari ujung rambut hingga ujung sepatuku, tak tertinggal satu titik pun. Ia bertanya dengan nada yang sedikit mengancam, "Maaf, Anda siapa, ya?"

Aku lupa, aku belum pernah bertemu dengan lelaki ini. Selain itu, ia pasti tahu bahwa aku bukanlah salah satu dari tetangganya. Walaupun mungkin aku seorang lelaki biasa yang baru pindah rumah, berusaha dengan baik hati untuk mengenal tetangga barunya, seharusnya ia tahu beritanya dan setidaknya ia akan mengenal wajahku lebih dulu. Jadi, dalam otaknya tentu aku diklasifikasikan sebagai 'orang asing'. Aku tidak sedang menggunakan seragam yang biasanya menjadi pemberitahuan untuk orang-orang mengenai identitasku. Lebih buruk lagi, mungkin dia mengira bahwa aku akan merebut istri dan membuatnya bercerai. Jadi, aku memperkenalkan diri.

"Saya Roy." Kutarik lencana yang memang biasa kubawa ke mana-mana, mencegah situasi buruk untuk tak terjadi—seperti sekarang ini. "Detektif polisi dari bagian pembunuhan."

Lelaki itu tak perlu mengecek lencanaku secara teliti. Ia langsung mengerti, melingkarkan mulutnya dan ber-o ria seraya mengangguk. Wajahnya yang waspada kini berubah menjadi penuh ramah tamah. Pintunya dibuka lebar-lebar, kemudian ia ulurkan salah satu lengannya sebagai tanda kesopanan darinya, memerintahkanku untuk masuk.

"Silakan masuk, Pak," katanya, tetapi aku menolaknya.

"Tidak perlu, Pak," tukasku, "Saya hanya ingin menemui Ibu Maharani. Apa beliau ada di sini?"

Lelaki itu terlihat kecewa akan penolakanku. Mungkin, selama hidupnya, ia belum pernah melihat seseorang yang menolak untuk mengunjungi rumahnya. Namun, seolah mengerti akan situasi genting yang tengah terjadi, lelaki itu tak menekankan perintahnya lebih jauh lagi.

Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang