Waktu telah menunjukkan pukul empat lebih dua puluh menit dan keringat dingin telah membanjiri seluruh tubuhku. Ketergantungan akan harapan pada seorang mahasiswa yang mengaku melihat pelaku pembunuhan tapi tak kunjung muncul membuatku terus menunggu di ruang tunggu indekos, menyertai seragam yang sudah basah karena keringat. Demi apapun, panas sekali! Ini semua pasti karena orang-orang yang memenuhi lokasi kejadian, membuat sirkulasi udara di tempat ini menjadi tak baik. Imbasnya, bahkan hingga saat ini udara masih terasa pengap.
Walaupun aku telah terbiasa untuk menemui seseorang yang ngaret—ciri khas orang Indonesia—tetapi tetap saja hal itu membuatku tak nyaman. Bahkan, rasanya bahuku terasa pegal walaupun tak memikul apa-apa. Di samping itu, Wijaya pun tampaknya mulai gelisah. Dibandingkan membicarakan kasus ini, ia lebih memilih membuang-buang waktunya untuk memainkan ponsel, membuka media sosial—mungkin—untuk menjadi orang paling interaktif di dunia maya. Kemudian, mengunci dan membukanya beberapa kali sampai seorang laki-laki membuka pintu dan terperangah melihat kami.
Aku tidak terlalu terkejut. Tempat kos ini bukan tempat kos khusus untuk wanita. Jadi, walaupun seorang laki-laki muncul di hadapanku, aku tak perlu mengejarnya, kemudian menyergapnya hanya untuk menanyakan motivasi lelaki itu muncul di tempat ini.
Sang Ibu Kos memberikan reaksi yang sedikit berbeda dari kami. Begitu anak itu muncul, ia segera mendekatinya, mengatakan dengan suara yang sedikit cempreng bahwa kami—aku dan Wijaya—sudah menunggunya dari tadi. Jadi, tentu saja sesuai dengan asumsiku berdasarkan kalimat yang diutarakan oleh sang ibu kos, anak itu bernama Halim, seorang mahasiswa tingkat akhir untuk program studi Teknik Informatika.
Sekalian aku bisa menanyakan hal-hal terkait dunia kuliah padanya untuk Loka nanti, kan? Bukan berarti salah juga, kan, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan?
Anak itu tidak begitu berbeda dengan jenis-jenis mahasiswa yang pernah kutemui. Rambutnya sedikit berantakan, menyertai dagu lancipnya yang tak berambut. Ransel yang digendongnya tidak terlihat begitu besar, mungkin hanya berisi sebuah laptop yang lebih sering digunakan untuk bermain game daripada mengerjakan tugas. Selain itu, bajunya kusut, tersingkap di sana-sini. Lengan kirinya sibuk menenteng helm berwarna hitam dengan berbagai stiker yang menempel dengan tujuan estetika yang lebih—tidak bagiku.
Aku dan Wijaya langsung berdiri, menyambut anak itu dengan sodoran tangan—memperkenalkan diri. Di samping itu, sang ibu kos meminta izin untuk meninggalkan kami bertiga. Tentu tak lupa kuucapkan terima kasih padanya.
"Saya Roy, dan ini rekan saya, Wijaya," kataku, memperkenalkan diri walaupun sebenarnya anak itu bisa mengetahui nama kami dari label yang tertera pada seragam.
"Halim," Balasnya dengan sedikit canggung. Membuatku mencoba untuk mencairkan suasana, mengalirkan rasa ketenangan dan berusaha meyakinkannya bahwa aku dan Wijaya bukan anjing penggigit gila yang akan menginfeksinya.
"Gimana kuliahnya?" tanyaku spontan, membuatnya tersenyum canggung. Bibir tipisnya terlihat enggan menjawab, tetapi terpaksa untuk dibukakan.
"Biasa lah, Pak."
"Lagi tugas akhir, kan?"
Namun, bukannya menjawab, Halim malah kembali memberikan sunggingannya. Baiklah, kurasa topik yang kusodorkan bukanlah topik yang tepat. Basa-basi yang buruk bisa membuat suasana semakin kacau. Namun, baru saja memikirkan tema lain yang bisa kugunakan untuk menghilangkan kecanggungan itu, Halim berkata, "Maaf saya telat, Pak, tadi dosennya keluarnya lama."
Kuanggukkan kepalaku. "Nggak apa-apa, kok," kataku, "Kita juga lagi nunggu orang lain. Iya, kan, Wijaya?"
Wijaya tak merespon dengan cepat. Ia masih berkutat dengan ponselnya—alasan yang sama mengapa ia tak ikut mencoba mencairkan suasana, padahal aku tahu dia lebih lihai—untuk mengetikkan beberapa alfabet yang akan dikirimkannya. Hingga akhirnya setelah beberapa detik, dia membalas pertanyaanku. "Oh, iya, Pak." Kemudian, Wijaya menyakukan ponselnya seraya berkata, "Mereka sudah datang, Pak, sudah menunggu di kantor."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]
Mystery / ThrillerSebuah pembunuhan kembali terjadi di kota Bandung. Bagian gilanya, sang pembunuh menggunakan jeli sebagai alat yang ia gunakan! Dengan jejak seadanya, Roy dan Wijaya dipaksa untuk melacak keberadaan sang pembunuh. Buku 4 Serial Detektif Roy Seluruh...