17. Mistaken for Strangers II

3K 462 52
                                    

Panggilan yang dilakukan oleh AKP Januar membuatku dan Wijaya saling bertukar pikiran. Walaupun tak sampai adu mulut, tetap saja perbedaan pendapat terjadi di antara kami. Aku tetap bersikeras jika Pertiwi menyamar menjadi Shelly dengan memanfaatkan bentuk wajahnya, mengambil identitas Shelly dan melangkah bebas mengelilingi dunia, sedangkan Wijaya teguh pada pendiriannya, belum ingin mengambil kesimpulan. Namun, biarpun begitu, pada akhirnya Wijaya tak dapat menyanggah pendapatku setelah mengingat hasil tes yang diberikan Dokter Dalton. Bukti itu cukup kuat, tak mungkin dihiraukan.

AKP Januar memberitahu kami bahwa Shelly melakukan perjalanan ke Malaysia—salah satu negara terdekat dengan Indonesia. Selain itu, sebelumnya pun aku telah meminta bagian imigrasi untuk merunutkan orang-orang yang membuat paspor, utamanya dalam lima tahun terakhir. Bukan hal yang mudah—pasti, tetapi pada akhirnya kami mendapatkan bukti bahwa Shelly memang menerima paspor sekitar satu atau dua bulan yang lalu.

Mungkin orang-orang akan bertanya, bagaimana dengan Pertiwi?

Berbeda dengan surat izin mengemudi, Pertiwi memilikinya. Dibuat dalam waktu yang hampir bersamaan dengan paspor Shelly. Selain itu, Sheila pun memiliki benda yang sama—hanya Ibu Maharani yang tak pernah terdaftar. Namun, sejauh kami melakukan penyelidikan, kami tak pernah mendapati identitas mereka yang satu itu.

Aku pikir aku hanya perlu berkendara hingga kota Sukabumi, ternyata dugaanku salah. Batas antara kota Sukabumi dan Kabupatennya mengiringi perjalanan kami. Aku keluar dari kota, mencari alamat di daerah pesisir pantai yang ternyata masih cukup jauh dari kota Sukabumi dengan jarak tempuh sekitar satu hingga dua jam.

Wijaya terlihat semakin bosan setelah keputusannya untuk bergabung dengan pihakku—menganggap Pertiwi mencuri identitas Shelly—mengakhiri seluruh perdebatan kami. Ia menopang dagu dengan siku yang menempel pada pintu mobil. Kurasa seragamnya sedikit bergesekan dengan kaca, membuatnya kotor, tetapi aku tak menyalahkannya. Lagipula, sudah hampir delapan jam perjalanan, loh!

Aku merasa sedikit kelelahan. Tempat pengisian bensin yang kulalui sekitar 45 menit lalu tak kumanfaatkan sebagai tempat peristirahatan sementara semata-mata untuk membuat perjalanan kami lebih singkat. Jadi, ketika bensin mengalir melalui selang, mengisi bahan bakar mobilku agar tetap bekerja, aku hanya beristirahat beberapa detik di dalam mobil, sekadar meregangkan tubuh sambil meminta sang petugas untuk mengisi penuh bahan bakar mobilku. Bukan tindakan yang bagus, aku tahu, seharusnya aku beristirahat minimal setiap tiga jam sekali.

Kemudian, ketika perjalanan dilanjutkan, aku terpaksa berhenti karena tampaknya navigasi pada ponselku mulai tak bekerja. Aku berhenti di persimpangan kedua setelah melalui PLTU, menampilkan dinding-dinding tinggi bak tembok raksasa china yang kokoh pada bagian kanan. Beberapa jalan sempit, lebih seperti gang, hanya saja jika ditelusuri tak begitu rapi, membuat beberapa pilihan untuk kami, seolah-olah mereka sudah menyiapkan kejutan luar biasa di salah satu jalannya.

Aku ingin bertanya pada penduduk sekitar. Tak adanya bangunan tinggi selain PLTU membuatku yakin orang-orang di sekitar tempat ini masih bersifat gotong royong, bukan individualis. Namun, sejauh mata memandang, tak dapat kulihat satu pun orang yang berjalan santai di area ini. Aku sendiri tak terlalu ambil pusing, sih. Di siang hari ini seharusnya orang-orang memang bekerja, kan? Anak-anak pun pasti sedang sekolah.

Aku yang tak ingin tersesat segera menelepon orang tua dari Ibu Maharani dan Pertiwi. Sialnya, usaha yang kubutuhkan harus lebih keras. Sinyal ponselku amat buruk, berbeda—satu bar hingga kosong—ketika aku tinggal di Bandung. Bahkan kuperlukan hingga beberapa menit hanya untuk melakukan panggilan, itu pun dengan susah payah kupertahankan posisi, berharap sinyal akan stabil. Kubuat lekukan sikuku tepat empat puluh lima derajat, membiarkan ponsel menyentuh telinga dengan perasaan tak nyaman pada ragaku.

Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang