5. ̶̟̦͎̫̭̭̤͗͒world.execute(m̷̨̗̰̦̘̓͌ͪ͒̓̎͆̚è͉͙̮͎); ̪̭̪̼͢

3.4K 464 32
                                    

Isak tangis kedua orang tua itu tak dapat dibendung lagi. Aliran air mata bak sungai kecil memenuhi pipi sang ibu, sedangkan sang ayah terlihat berusaha lebih tegar, menegakkan kedua bahunya seraya menenangkan sang istri biarpun aku yakin benar perasaan yang tengah melanda hatinya itu amatlah kacau.

Kenyataannya telah terungkap. Kedua mayat yang ditemukan dalam bentuk potongan tubuh itu memang anak dari mereka—keduanya. Tak ada keraguan lagi karena tes yang dilakukan bukanlah tes sembarangan, bukan tes yang dapat dimanipulasi dengan mudah.

Aku dan Wijaya sengaja menyiapkan satu bungkus tisu untuk mereka gunakan. Setidaknya, pekerjaan kami itu tidak sia-sia, karenag sang ibu mengambil beberapa lembar—agak banyak—tisu untuk menghentikan lendir keluar dari hidungnya.

Di ruanganku ini, seluruh atmosfer yang ada terasa berubah. Aku tak dapat memainkan ponsel dengan tenang di depan orang yang sedang menangis, begitu pula dengan Wijaya. Yang dapat kami lakukan sekarang ini hanyalah melihat sang ayah korban untuk menenangkan istrinya yang semakin lama semakin memberontak. Tangisnya semakin keras.

"Jika Anda mau, saya dan Wijaya bisa keluar dari ruangan hingga istri Anda tenang, Pak," celetukku, memberikan ide sekaligus mengeluarkanku dari perangkap ini.

Sang ayah tak melepaskan pandangan dari istrinya, tak melepaskan lingkaran tangannya dari bahu wanita itu. Namun, ia tetap membalas, "Tidak perlu, tidak apa-apa."

Mataku melirik pada Wijaya, memberikan isyarat padanya untuk melakukan rencana yang telah kami susun. Aku tahu, hal seperti ini pasti akan terjadi, di mana salah seorang kerabat dekat korban tak akan terima dengan nasib yang dialami oleh korban, apalagi jika nyawa sang korban diambil dengan paksa oleh seseorang yang tak diketahui. Di samping itu, aku tak ingin waktu yang bisa kuefektifkan terbuang percuma. Jadi, setelah yakin bahwa sang ayah korban dapat mengendalikan emosinya dengan baik, kuperintahkan Wijaya untuk membawa istrinya keluar.

Wijaya memberikan sentuhan lembut, membawa wanita itu keluar sembari menenangkannya, tak kalah hebatnya dari sang suami. Kemudian, ketika sang ayah korban hendak mengikuti Wijaya, aku menahannya, memintanya untuk mengobrol denganku lebih dahulu, membuatnya kembali menjatuhkan beban tubuhnya untuk duduk di kursi yang sekarang telah menjadi nyaman semenjak perbaikan besar-besaran di kantorku.

"Maaf, saya tahu bagaimana perasaan Anda kehilangan kedua anak Anda," lanjutku, setelah aku yakin bahwa ayah sang korban memberikan perhatiannya terpusat padaku—dengan sedikit kebohongan.

Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang anak, apalagi dua orang anak. Aku tahu perasaan ketika Loka berada dalam bahaya, tapi dia tak pernah benar-benar mati. Aku tahu perasaan ketika ibuku menjadi korban kecelakaan yang dilakukan oleh ayah tiriku, tapi ketika itu umurku bahkan belum menginjak rentang umur remaja. Ketika ayah kandungku meninggal, aku bahkan tak mengerti bahwa ia tak akan pernah kembali.

Jadi, aku benar-benar tengah berbohong saat ini, hanya usaha kecil untuk membuang sang ayah korban mengerti dan memaksanya untuk tetap duduk di sini karena ... aku tahu perasaannya.

Kemudian, karena aku tak ingin membiarkan pikiranku kosong terlalu lama, aku melanjutkan, "Tapi saya harus menanyakan beberapa pertanyaan pada Anda, Pak. Terkait kematian terhadap kedua putri Anda."

Sang ayah korban tak memberikan jawaban secara lisan. Sebaliknya, kepalanya mengangguk dua kali, memberikan gestur yang entah mulai dari mana, tetapi hal itu pasti dibuat untuk menggantikan kata 'ya, silakan' tanpa perlu kudiskusikan terlebih dahulu gestur yang ia lakukan itu harus kuterjemahkan seperti apa.

"Mohon koreksi jika saya salah. Menurut laporan yang rekan saya berikan, komunikasi antara Anda dan korban terputus sekitar empat atau lima ... berarti sekarang lima atau enam hari yang lalu. Benar?"

Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang