6. ̶̟̦͎̫̭̭̤͗͒world.execute(m̷̨̗̰̦̘̓͌ͪ͒̓̎͆̚è͉͙̮͎); ̪̭̪̼͢ II

3.6K 454 27
                                    

Begitu perjalanan sampai ke kilometer 88, kuputuskan untuk beristirahat sejenak. Nuansa panas begitu terasa ketika kupijak aspal kering, bahkan kurasa keringatku bisa langsung bercucuran.

Aku tidak begitu mengerti dengan sirkulasi musim yang terjadi di tahun-tahun belakangan. Seharusnya sekarang musim hujan, tetapi musim hujan terjadi di musim kemarau. Sebaliknya, saat ini tak ada hujan sama sekali, menggantikannya dengan terik matahari yang panas dan menyilaukan hingga harus kuhalau teriknya, mengubah fungsi sebelah tanganku menjadi lidah topi.

Walaupun kuputuskan untuk pergi ke Purwakarta, Wijaya tidak ikut denganku. Aku memerintahkannya untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut di lokasi kejadian perkara, menunggu panggilan para tim IT terkait aktivitas aneh yang mungkin ditemukan dari media sosial korban maupun tersangka—yang sejauh ini belum ada. Jadi, aku dapat terbebas dari panggilan mendadak yang dapat membuat fokusku hilang.

Sembari meminum sebotol teh kemasan yang baru saja kubeli dari minimarket, kuputuskan untuk mengisi bahan bakar, memberikan makanan pada kendaraanku agar ia tak mogok jalan. Kemudian, pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan orang-orang yang juga tengah beristirahat, memikirkan betapa menyenangkannya menjadi mereka—tak perlu berurusan dengan mayat, tak perlu mengambil tindakan yang dapat memengaruhi masa depan seseorang.

Gerbang tol terbuka lebar untukku, tak begitu banyak kendaraan yang lalu lalang. Kemudian, tepat setelah kulalui gerbang itu, kuposisikan mobilku, memarkirkannya tepat di bahu kiri jalan walaupun tak begitu banyak ruang yang dapat kupakai—persimpangan yang ada di depan memiliki jarak yang sangat dekat dengan gerbang tol.

Kuambil ponselku, sekali lagi memastikan alamat yang harus kutuju dengan google map. Tak begitu jauh, seharusnya kurang dari lima belas menit pun aku dapat sampai. Namun, tentu saja jika aku telah mengetahui tempatnya secara pasti.

Obrolan dengan masyarakat sekitar tak dapat kuhindari. Berkali-kali aku bertanya pada beberapa orang yang tengah berjalan, sengaja mendekati rumah makan sederhana untuk menanyakan alamat, bahkan sampai sengaja kuangkat diriku keluar dari mobil hanya untuk menyebrang, menanyakan alamat yang ada kepada para tukang becak yang tengah menunggu di sisi jalan, hingga akhirnya perjuanganku tidak sia-sia walaupun kuperlukan sepuluh menit lebih lama dari waktu yang telah diperhitungkan google map.

Jangan salahkan aku. Ponselku sudah jadul, penunjuknya tidak seakurat ponsel-ponsel yang ada sekarang.

Perumahan ini bukanlah perumahan elit. Bahkan, sengaja kuparkirkan mobilku di jalan utama sebelum memasuki alamat yang kucari, menghindari orang-orang marah karena mobilku memenuhi setengah jalan untuk mereka lalui. Bahkan, begitu kudapati nomor rumah yang dimaksud, aku lebih merasa melihat rumah minimalis yang dijual murah.

Beberapa tanaman menghiasi halaman depan. Dua buah kursi santai sengaja diletakkan untuk menghabiskan bagian depan rumah, hanya menyisakan beberapa meter saja bagi orang-orang lewat.

Begitu kubuka pagar, segera kulepaskan sepatuku dengan sedikit kesusahan—ruang yang ada sempit sekali. Begitu sukses kulakukan, kuketuk pintu, menunggu seseorang untuk menjawab panggilanku. Dan, ya, itu berhasil.

Pintu dibukakan, menampilkan seorang wanita berkacamata dengan wajah yang tak asing. Sungguh, demi apapun, benar-benar tak asing, seolah-olah aku baru saja melihatnya.

Wanita ini bernama Maharani—pasti. Seorang guru sekolah menengah atas yang juga merupakan saudara—walaupun bukan saudara kandung—dari Sheila dan Shelly. Kemudian, aku baru sadar di mana pernah kulihat wajahnya.

"Ibu Maharani?" tanyaku dengan segera, membuat perempuan itu mengangguk yang seolah memberikan ruang agar rasa penasaranku tersalurkan.

"Anda sangat mirip dengan saudara Anda. Sheila dan Shelly."

Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang