Aku meminta bantuan kepolisian wilayah Jakarta Selatan untuk mendatangi alamat yang kuberikan—Pertiwi—dan memastikan perempuan itu ada di sana, memintanya untuk segera datang ke Bandung untuk kumintai keterangan.
Alasanku untuk meminta bantuan kepolisian dari wilayah lain sebenarnya agak tidak etis. Aku tidak ingin berpanas-panasan, berjalan-jalan di daerah Jakarta yang selalu membuatku mengeluh. Di balik lindungan atmosfer Bandung, aku bisa berdiam diri, meringkuk selama yang kumau tanpa perlu merasakan gerah. Namun, aku tetap tak menyalahi aturan, kan?
Aku dan Wijaya kembali mengunjungi tempat kos korban. Begitu masuk, seluruh kesesakan yang sebelumnya kudapatkan di sini hilang. Tempat ini kembali sepi seperti kuburan. Orang-orang sudah tak terlalu peduli dengan penemuan mayat yang dipotong-potong, hanya segelintir orang yang bercakap ringan ketika mereka melewati tempat ini, membicarakan betapa mengerikannya nasib sang korban. Selain itu, semua sirna.
Bagian dalam kos pun tak begitu jauh. Semua aktivitas kembali seperti biasa. Tak ada orang yang merasa ketakutan seandainya si pelaku masih berkeliaran dan mereka akan menjadi korbannya, seolah-olah mereka tahu bahwa pembunuhan ini terjadi hanya sekali seumur hidup.
Sang Ibu Kos menyambut kami dengan baik. Kemudian, tanpa perlu menjelaskan, ia tahu tujuan kami sebenarnya ke sini, kemudian mengantarkan kami kembali ke depan pintu kamar korban dan melihat seorang petugas polisi yang ditujukan untuk menjaga area itu tengah merokok sambil duduk santai kelimpungan untuk mengambil posisi.
Petugas itu segera menginjak rokok yang asapnya masih mengepul dengan hebat. Ia langsung berdiri di samping pintu, ketakutan untuk bertatapan langsung denganku maupun Wijaya. Namun, aku tak begitu ambil pikir, toh berjaga sendirian memang membosankan. Jika selama delapan jam kau bisa bertahan untuk berdiri, diam, tak bersosialisasi dengan siapapun, makau dapat dipastikan kau bukan manusia.
Aku berterima kasih pada sang Ibu Kos ketika petugas itu tetap tak dapat meluruskan pandangannya untuk melihatku maupun Wijaya. Kemudian, dengan kunci yang diberikannya, kami segera membuka pintu kemudian berjongkok untuk melewati garis polisi agar tak merobeknya. Kemudian, setelah memastikan kedua raga kami berada di dalam kamar kos ini, aku segera menutup pintu.
"Kalau petugas itu bertemu dengan orang-orang yang so senior, matilah dia," celetukku dengan segera, salah satu alasan mengapa segera kututup pintu dan membiarkan ruangan ini kedap suara—membicarakan orang.
Wijaya hanya berdeham kecil, ia tak menanggapi celotehanku dan malah melayangkan topik yang lain, "Saya akan memeriksa bagian kamar, Pak."
Kedatangan kami ini bukan tanpa alasan. Semalam sebelumnya, tepat ketika aku hendak tidur, Wijaya mengirimkan pesan padaku bahwa setidaknya aku dan dia harus kembali memeriksa tempat penemuan korban sekali lagi, menyelidiki beberapa kejanggalan yang sebelumnya sempat terdistraksi karena seorang saksi—Halim—mengaku melihat si pelaku. Bagian buruknya, aku dan Wijaya terlalu berharap untuk segera menemukan si pelaku dari kesaksian itu, membuat kami—harus diakui—lengah dan tidak melakukan pemeriksaan secara teliti. Aku tak akan menyangkalnya, apalagi Wijaya pun merasakan hal yang sama.
Petugas forensik yang datang sebelumnya telah memberitahuku bahwa di dalam kamar ini tak terjadi apa-apa. Kedua mayat korban benar-benar dibawa hanya untuk diletakkan di tempat ini setelah sebelumnya kekejian itu dilakukan di satu tempat yang lain. Jadi, tujuanku dan Wijaya ke sini hanyalah untuk mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi pada mereka berdua sebelum mereka menjemput ajalnya.
Aku memeriksa bagian kamar mandi, menyalakan lampunya agar dapat melihat sekeliling ruangan kecil itu. Sejujurnya, aku merasa terpukau. Tempat ini telah ditinggalkan berhari-hari, tetapi tak ada atu pun binatang melata yang menduduki kekuasaan tertinggi semenjak Sheila dan Shelly meninggalkan tempat ini. Padahal, biasanya binatang-binatang itu akan segera keluar begitu mereka tahu tak ada tanda-tanda kehidupan manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]
Mystery / ThrillerSebuah pembunuhan kembali terjadi di kota Bandung. Bagian gilanya, sang pembunuh menggunakan jeli sebagai alat yang ia gunakan! Dengan jejak seadanya, Roy dan Wijaya dipaksa untuk melacak keberadaan sang pembunuh. Buku 4 Serial Detektif Roy Seluruh...