Salinan surat-surat yang sengaja kusimpan di atas meja memberikan semua informasi yang kubutuhkan. Keabsahan surat tanda kendaraan bermotor dan surat izin mengemudi atas nama Sheila Yoga Saputri mengonfirmasi deduksi Wijaya, sedangkan surat izin mengemudi atas nama Shelly Yoga Saputri turut melengkapi berkas-berkas yang dapat dikumpulkan. Namun, nama Pertiwi—lengkapnya Pertiwi Maharani—tidak pernah terdaftar sebagai orang yang berhasil mendapatkan surat izim mengemudi, begitu juga dengan saudaranya—Maharani Pertiwi.
Aku tahu, di negara ini banyak sekali orang yang berhasil mendapatkan surat izin mengemudi tanpa melalui tes. Namun, biarpun mereka mendapatkan surat-suratnya dengan cara yang ilegal, seharusnya mereka tetap terdaftar sebagai orang yang telah diberikan izin untuk mengemudikan kendaraan. Namun, dengan tidak terdaftarnya dua nama itu, artinya mereka tak memiliki SIM, kan? Agak gegabah juga, sih. Bagaimana jika ternyata salah satu mereka tertangkap bukan karena kesengajaan, melainkan terjaring dalam razia lalu lintas, kemudian secara kebetulan—yang mungkn terdengar mustahil untuk terjadi—para polisi lalu lintas tidak menerima uang sogokan dan mempertanyakan motivasi mereka dalam mengendarai kendaraan bermotor saat belum diizinkan? Sungguh konyol, aku tak dapat membayangkan sebuah berita dengan tajuk "Seorang pembunuh yang memutilasi korbannya tertangkap karena terjaring razia lalu lintas."
Aku sudah meminta bantuan kepolisian Jakarta serta wilayah Sukabumi untuk memeriksa daftar orang-orang yang telah mendapatkan SIM. Namun, sama sepertiku, mereka tak mendapatkan apa-apa. Jadi, aku menyimpulkan satu hal yang jelas: Ibu Maharani dan Pertiwi tak memiliki SIM.
Selain itu, pencarian kami pun semakin terarah. Aku meminta bantuan dari berbagai pihak untuk mencari dan menemukan jenis mobil dengan plat nomor kendaraan yang sesuai, baik dari pihak kepolisian sendiri maupun warga sipil. Tenggang waktu satu minggu bukanlah interval yang pendek, Pertiwi bisa berlokasi di mana saja sekarang. Namun, dengan tambahan tak adanya berita mengenai penumpang atas namar Pertiwi pergi ke luar negeri maupun berkeliling di dalam negeri menggunakan pesawat, aku yakin kami bisa menangkapnya sebentar lagi.
Guratan-guratan tipis akibat sabetan kuku-kuku tajam yang dimiliki Ibu Maharani pada lenganku mulai tertutup. Namun, bukan berarti hal itu dapat membuatku melupakan apa yang ia lakukan padaku.
Kami kembali bertemu di ruang interogasi yang sama dengan kondisi yang berbeda. Jika sebelumnya perempuan itu dapat melenggang bebas dengna kedua kakinya, mampu menjepit sebatang rokok di antara jari tengah dan telunjuknya—yang tak ia lakukan, kini ia duduk dalam keadaan terborgol, walaupun tentu ia masih dapat berlari ke sana ke sini karena kakinya tak terikat—itu pun kalau dia mau ambil resiko dihajar oleh seorang petugas yang tengah menjaga pintu ruang interogasi.
Pemandangan yang berbeda pun tak hanya terjadi pada bagian fisik. Ibu Maharani pasti begitu merasa tertekan hingga ia merasa harus mengeluarkan air mata di setiap menitnya. Berulang kali ia memberikan pernyataan padaku bahwa ia tak bersalah, tetapi aku tak memiliki bukti yang dapat menunjukkan bahwa ia tak bersalah. Seluruh gertakannya, ancamannya, seolah luluh lantak dan perempuan itu sudah mulai lelah. Ia tak ingin melawanku, sebagai gantinya ia memohon padaku.
Aku iba? Tentu, bagaimanapun, sebagai manusia aku tak dapat menahan diri ketika seseorang merasa bersalah, menceritakan segala keluh kesahnya padaku. Namun, berbeda dengan beberapa kasus di mana seorang pembunuh menjadi 'seorang' pembunuh karena balas dendam, Ibu Maharani mungkin salah satu dari sedikit orang yang tidak akan kuberikan rasa simpati karena aku tahu dia bisa memilih untuk 'tak menjadi seperti itu'. Dia yang memulai duluan, mengganggu kehidupan Sheila dan Shelly, merampas bisnisnya dan bekerja sama dengan Pertiwi, kenapa sekarang dia merasa menjadi korban?
Ada batas tipis di mana seseorang merasa bersalah karena ia tak memiliki pilihan lain atau hidupnya akan hancur dengan seseorang yang merasa bersalah karena ia memilih pilihan buruk dan tahu hidupnya akan hancur. Untuk kasus ini, kutempatkan Ibu Maharani pada orang tipe kedua. Jadi, di sela-sela tangisannya, berulang kali aku berteriak "Menangis terus, hah!?" seperti seorang suami brengsek yang sudah tak mencintai istrinya. Dan di saat itu pula lah Ibu Maharani akan merajuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]
Mister / ThrillerSebuah pembunuhan kembali terjadi di kota Bandung. Bagian gilanya, sang pembunuh menggunakan jeli sebagai alat yang ia gunakan! Dengan jejak seadanya, Roy dan Wijaya dipaksa untuk melacak keberadaan sang pembunuh. Buku 4 Serial Detektif Roy Seluruh...