16. Mistaken for Strangers

3K 461 46
                                    

Perjalanan jarak jauh bukanlah kegemaranku. Berbagai kemungkinan yang bisa menimpaku dalam perjalanan kadang-kadang membuatku ketakutan. Namun, aku tak memiliki pilihan lain seandainya ingin kulakukan perubahan dalam hidupku, salah satunya dalam memecahkan kasus.

Aku telah berkendara selama enam jam tanpa henti—bukan contoh yang baik, melalui berbagai persimpangan jalan yang disertai dengan kemacetan. Lampu merah, pedagang asongan, beberapa bagian panorama yang indah turut kulalui. Selain itu, sebuah truk hampir menabrak mobilku karena terlalu bersemangat menyalip sepeda motor yang berjalan dengan sangat pelan, membuatku memutar setir sangat cepat untuk menghindari kecelakaan.

Wijaya yang duduk di bangku penumpang tengah mengotak-atik ponselnya. Namun, jelas dia sedang tak berkutat pada pekerjaannya, karena ketika sempat beberapa kali kuintip, ia tengah membuka aplikasi instagram melalui ponselnya itu, menampilkan beberapa foto dari orang-orang asing yang tak jarang langsung ia lewatkan, menggeserkan jempolnya dan menaikkan gambar-gambar itu ke atas, menghilang dari layar ponsel.

Perjalanan yang kami lakukan ini sebenarnya bukanlah sebuah keharusan. Malah sebaliknya, seharusnya tak kami lakukan. Sukabumi bukanlah wilayah bagian kami, tetapi mengingat 'tampaknya' tak akan ada perkembangan signifikan untuk kelanjutan kasus yang sedang kami tangani, aku dan Wijaya sepakat melakukan perjalanan jauh hanya untuk bertemu dengan orang tua dari Maharani dan Pertiwi.

Berbeda dengan orang tua dari Sheila dan Shelly, orang tua dari Maharani dan Pertiwi tampaknya tak begitu dekat dengan kedua anak mereka. Kalau boleh kutebak, bahkan mungkin mereka putus kontak. Ketika kuberitahu pada mereka bahwa kami menahan Ibu Maharani dan memberitahu bahwa Pertiwi buron melalui telepon, mereka terkejut, tetapi mengaku tak tahu menahu soal keberadaan mereka.

Aku masih berpikir positif. Mungkin, mereka masih terguncang dengan pembunuhan yang menimpa keponakan mereka, walaupun kurasa hampir mustahil hal itu malah membuat mereka tak acuh pada kedua anaknya.

Klakson mobil di belakangku berbunyi, memberitahuku bahwa sang pengemudi akan menyalip kendaraanku, jadi aku mempersilakannya. Kuarahkan kendaraan ini sedemikian sehingga si penyalip dapat melewati mobilku dengan mudah, dan aku dapat melihat Honda Rush hitam melaju kencang melewati kaca-kaca mobilku.

Aku tidak mengenal kota Sukabumi dengan baik. Bahkan, kalau boleh jujur, ini kali pertama untukku mengunjungi kota itu. Namun, segala informasi yang bisa kami dapatkan dengan mudah, termasuk google maps yang bisa diakses melalui ponsel, memberikan nama-nama jalan secara spesifik tanpa memaksaku membeli peta terlebih dahulu membuatku bersyukur. Aku tidak perlu cemas secara berlebihan. Biarpun tersesat, tapi bukan berarti hal itu akan menjadi akhir dari hidupku.

Ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau dan kuinjak pedal gas, Wijaya menyakukan ponselnya seraya berkata, "Apa mungkin Sheila dan Shelly sebenarnya masih hidup dan mayat yang kita temukan itu sebenarnya Maharani dan Pertiwi?"

Fokusku sedikit buyar, tetapi tetap tak kualihkan pandanganku.

"Kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu?"

"Saya tidak tahu, Pak. Tiba-tiba saja saya memikirkan hal itu."

"Walaupun kau buka instagram, otakmu ternyata masih memikirkan kasus, ya?" Aku cekikikan, disertai embusan napas yang terdengar aneh karena tersendat.

"Tapi kurasa tidak mungkin. Dari KTP elektronik jelas Ibu Maharani itu Ibu Maharani. Identitas yang dia miliki dengan tes yang dilakukan—salah satunya sidik jari—mengatakan jika Ibu Maharani itu memang Ibu Maharani."

Aku berbelok ke kiri, sesuai dengan navigasi yang diberikan oleh google maps, menemui jalanan besar yang tampak baru dibuat. Kesannya berbeda, terbua dari beton, bukan aspal, dengan pemandangan di kiri kanan yang tampak indah walaupun terlihat gersang.

Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang