8. Filler

3.2K 438 21
                                    

Sekeras apapun aku berusaha, selalu saja beberapa bagian tubuhku bersentuhan dengan orang-orang asing. Ketika aku menyamping, pakaianku seolah-olah memiliki magnet kuat yang tak dapat dihancurkan.

"Punte A, Téh" adalah kalimat yang selalu keluar dari mulutku selama beberapa menit ini, disertai dengan langkah kaki yang sengaja kupercepat, tetapi selalu saja terhambat akan orang-orang yang—entah sadar atau tidak—menghabiskan ruang di ruas eskalator yang terus menanjak. Bagian kiri maupun kanan selalu tertutup orang-orang sehingga aku yang tengah terburu-buru harus menyela.

Begitu sampai ke lantai atas, aku datang tujuh belas menit lebih lama dari waktu perjanjian. Ketika orang-orang berlalu lalang, meninggalkan eskalator dan masuk ke daerah biskop maupun sebaliknya, aku memilih untuk menahkodakan ragaku menuju foodcourt yang kurasa tak pernah sepi.

Wijaya tengah memakan makanannya, beberapa sendok lagi sebelum benar-benar bersih tanpa sisa. Mulutnya mengunyah, matanya memandang hidangan yang kelezatannya hampir habis. Ia tak menyadari kedatanganku.

Jadi, aku segera berlari kecil, sama seperti yang kulakukan ketika menembus antrian orang-orang yang tengah berdiri santai di eskalator.

Aku menarik kursi, agak keras, membuat Wijaya terkejut—untungnya makanan tak tumpah dari mulutnya. Setelahnya, Wijaya meneguk teh beraroma melati dengan sedotan plastik yang juga hampir habis. Di samping itu, napasku berantakan. Bahkan, setelah aku duduk, aku masih harus mengaturnya. Berlari di dalam mall bukanlah ide yang baik.

Aku yang membuat janji malah aku sendiri yang telat. Memalukan.

"Maaf," kataku, "Parkirnya susah."

Wijaya hanya mengangguk pelan dengan sedotan yang masih menempel di mulutnya. Kemudian, segera setelah menyelesaikan ritualnya, ia menjawab, "Iya, tidak apa-apa, Pak."

"Sudah menunggu lama?"

"Oh, belum kok, Pak," jawabnya, tetapi aku yakin sekali dia berbohong semata-mata hanya untuk membuatku tidak merasa bersalah. Bahkan, lebih baik dari itu, Wijaya menambahkan, "Mau makan dulu, Pak?"

"Tidak perlu."

Di tempat pertemuan kita yang biasa ini, foodcourt Bandung Indah Plaza, biasanya memang dipenuhi oleh orang-orang yang entah karena memiliki banyak waktu luang atau apa, mereka sengaja datang ke tempat ini untuk makan. Namun, tak pernah kusangka di hari ini—bahkan bukan akhir minggu—dapat kukatakan hampir tak ada ruang untuk kami bergerak. Semua kursi penuh, seluruh meja penghias foodcourt yang memiliki fungsi sederhana pun kurasa tak terlepas dari piring-piring kotor bekas makan maupun botol-botol minuman yang tak dibuang ke tempat sampah oleh orang-orang tak bertanggung jawab.

Oh, sialan. Apa yang kupikirkan? Kenapa seluruh perhatianku malah tertuju ke lingkungan sekitar?

"Kau mendapatkan sesuatu?" Aku bertanya pada Wijaya dan di saat itulah aku baru sadar bahwa seluruh santapannya telah habis. Seperti yang kubilang, tanpa sisa. Bahkan, jika orang-orang melihatnya dari jauh, kurasa mereka akan berpikir jika piring yang Wijaya pakai adalah piring baru yang tak kotor, kemudian menggunakannya ulang tanpa mencucinya.

"Saya menyelidiki keterangan orang-orang yang tinggal di tempat kost-nya."

"Lalu?"

"Tak ada yang aneh. Menurut mereka komunikasi Sheila dan Shelly lancar, tak terlihat ada masalah apapun."

"Bagaimana dengan waktu terakhir orang-orang bertemu dengan mereka?"

Wijaya menatapku penuh dengan rasa penasaran.

Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang