Walaupun hanya mendengar suara serak dan tampilan gambar yang buruk dari rekaman ruang interogasi, Wijaya mengangguk pelan, mengayun-ayunkan kepalanya seolah mengerti informasi-informasi yang harus ditangkapnya. Di samping itu, aku yang tengah duduk di sebelahnya, merasa malu karena mendengar suaraku yang tampaknya berubah. Vokalku selalu berubah setelah berpindah medium.
Aku telah meminta seorang petugas polisi untuk berjaga di pintu depan ruang interogasi 2, menahan Ibu Maharani seandainya secara tak sopan ia mencoba keluar, sedangkan suaminya—seujujurnya aku belum tahu apa yang harus kukatakan padanya—kusuruh untuk menunggu di dalam ruanganku tanpa seorang petugas untuk menjaganya di saat aku dan Wijaya berdiam diri di kantornya.
Ketika video itu berakhir, Wijaya merentangkan kedua tangannya, menariknya sambil membusungkan dadanya ke depan, membuat tulang-tulangnya bergemertak, tetapi ia menyukainya.
Aku bertanya, "Bagaimana menurutmu? Apa kau merasa Ibu Maharani bersalah?"
Wijaya menggeleng sebanyak dua kali. "Mungkin ya, mungkin juga tidak," katanya, sambil menekan tombol play untuk mengulangi rekaman itu. Namun, kali ini Wijaya tak begitu serius untuk menontonnya, dia hanya memindai secara cepat, memperhatikan bagian-bagian yang mungkin kurang ia perhatikan sebelumnya. Ia memainkan video itu dengan kecepatan dua kali lipas.
"Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Saya rasa Maharani hanya akan mengatakan sesuatu yang menguntungkannya. Maksud saya ... dia berusaha memperlihatkan dirinya tak bersalah, tapi begitu Anda memojokkannya, Pak, atas dasar pernyataannya sendiri, dia menyanggahnya dan mulai membuka kejujurannya, tapi ternyata ia masih berusaha menutupi kebohongan-kebohongannya yang lain, yang ia rasa tidak perlu ia ucapkan karena bisa membuat citranya buruk."
Aku mengangguk setuju karena pendapatku sama persis dengan apa yang Wijaya lontarkan. Ketika aku menuduhnya tak memiliki alibi, dia berusaha menyanggah pertanyaanku dengan argumen-argumen yang tidak relevan dengan pertanyaanku, seolah-olah berusaha mengarahkanku pada hipotesis-hipotesis lain sesuai keinginannya. Barulah ketika ia tahu keadaannya terdesak, ia baru menunjukkan 'bukti sialan' itu padaku. Mungkin perempuan itu malu—ya, sebenarnya memang memalukan, sih. Namun, separah itu kah hingga ia benar-benar tak ingin menunjukkan bukti bahwa dia memiliki alibi?
Namun, pernyataan Wijaya belum menjawab pertanyaanku.
"Kenapa pendapatmu itu membuatmu memutuskan jika Ibu Maharani mungkin melakukan pembunuhan itu atau tidak?"
Mulut Wijaya bergumul, menyiapkan lontaran kalimat terbaiknya. Analisisnya akan dimulai, dan aku yakin kata-katanya akan sepanjang analisis-analisis yang diberikan Sherlock.
"Seperti yang saya bilang, Pak. Jika memang Maharani hanya mengatakan hal-hal yang menguntungkannya, dengan kata lain tidak membuka sifat-sifat buruknya, mungkin dia jujur dan memang seperti itulah sifatnya."
"Sifat yang menyebalkan," tukasku, sebelum Wijaya melanjutkan.
"Tapi bagaimana jika ternyata Maharani tidak seperti itu? Bagaimana jika ternyata Maharani melakukannya dan hanya berusaha menutupi kebohongannya dengan baik?"
"Dia memiliki alibi pada saat kejadian."
"Tidak perlu terlibat secara langsung untuk membuat sebuah kasus."
Otakku berpikir keras. Aku pikir Wijaya tengah memberikanku teka-teki super sulit yang tak terpecahkan. Namun, ternyata aku hanya perlu berpikir sederhana.
"Maksudmu dia bersekongkol dengan saudaranya?"
Wijaya mengangguk, dan aku tak dapat mengelak atas pemikirannya itu. Masuk akal juga, sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]
Mystery / ThrillerSebuah pembunuhan kembali terjadi di kota Bandung. Bagian gilanya, sang pembunuh menggunakan jeli sebagai alat yang ia gunakan! Dengan jejak seadanya, Roy dan Wijaya dipaksa untuk melacak keberadaan sang pembunuh. Buku 4 Serial Detektif Roy Seluruh...