2. Tactical Dominance

4.6K 536 51
                                    

Satu-satunya cara yang paling logis untuk membunuh manusia menggunakan jeli adalah dengan membubuhkan racun dan memaksa korban untuk menyantapnya. Namun, aku yakin benar bahwa pernyataan Komisaris Yudha tidak mengarah ke sana. Jika memang seperti itu, ia pasti akan lebih menekankan kata 'racun' ketimbang 'jeli' dan membuat semua orang di ruangan ini berargumen pelan memberikan pendapatnya masing-masing.

Sialannya, ucapannya mengenai tindakan mutilasi yang pun memanfaatkan jeli benar-benar di luar akal manusia. Maksudku, bagaimana mungkin benda kenyal seperti itu dapat digunakan untuk memotong tubuh seseorang?

Sekali lagi, aku mengangkat tangan sebelum terinterupsi oleh kericuhan yang kian membludak.

"Pak Komisaris!" Aku berteriak sedikit kencang, melawan keruhnya suara yang memenuhi ruangan. "Maaf, tapi bagaimana Anda bisa yakin bahwa jeli itu digunakan sebagai alat mutilasi?"

"Autopsi yang dilakukan Dokter Dalton memberikan kesimpulan demikian," jawabnya dengan segera, seolah-olah mengikuti tindakanku untuk menghalau keruhnya suara—berhasil, ruangan ini kembali kondusif.

"Tapi tentu tidak seperti yang kalian duga," lanjutnya sambil menatap tajam ke arahku, seolah memberikan penekanan bahwa pernyataan itu sengaja ditujukan untukku. "Jeli itu dikeraskan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai alat untuk memutilasi. Selain itu, menurut pengakuan Dokter Dalton, luka tusuk yang terdapat pada perut korban pun menunjukkan alat yang sama."

Untuk sesaat aku bersyukur. Baiklah, itu semua masuk akal, tak ada keanehan untuk sebuah jeli yang dikeraskan. Aku pun tak mengerti bagaimana mekanisme untuk membuat alat seperti itu, tapi bukan berarti hal itu tidak mungkin, kan? Sekarang, yang menjadi pertanyaan terbesarku selanjutnya, kenapa harus jeli?

Aku tidak mengerti dengan pembunuhan-pembunuhan aneh yang dilakukan beberapa orang. Maksudku, kenapa mereka tak menjadi pembunuh yang normal saja, sih?

Aku baru saja hendak menyesap teh yang semakin lama semakin dingin, apalagi dengan bantuan pengatur suhu yang tampaknya sengaja diatur untuk membuat ruangan ini menjadi sangat dingin—delapan belas derajat celcius atau kurang. Namun, tepat begitu kutekan gagang cangkir dengan jempolku, secara tiba-tiba Komisaris Yudha memanggilku dan Wijaya.

"Roy, Wijaya!" teriaknya dengan kencang, membuat seisi ruangan menoleh ke arah kami dan membuatku mengurungkan niat untuk meresapi aliran kentalnya teh manis melalui tenggorokanku. "Saya rasa kalian memiliki ketertarikan untuk kasus ini. Tepat sekali."

Aku dan Wijaya saling bertatapan. Namun, berbeda denganku yang mengangkat sebelah alis sebagai bentuk gestur mengejek Komisaris Yudha yang menyebalkan.

"Kebetulan saya sudah plot kalian untuk menyelidiki kasus ini." Komisaris Yudha menegakkan bahunya, kemudian melebarkan gapaian kedua tangannya di atas meja pemimpin penumbalan.

Aku tak menanggapi, tapi kudengar Wijaya menjawab, "Baik, Pak!"

Kemudian, tentu karena merasa ingin cepat-cepat meninggalkan ruangan, tak ada di antara teman-teman kami yang menanyakan kasusnya lebih lanjut. Begitu Komisaris Yudha menawarkan pertanyaan, seluruh lengan—baik kanan maupun kiri—tersembunyi di balik meja untuk mempercepat proses kegiatan yang ada. Jelas, setelahnya Komisaris Yudha akan menutup pertemuan ini yang dilanjutkan dengan perjalanan kami—Aku dan Wijaya—menuju tempat kejadian perkara.

Aku dan Wijaya terpaksa menerobos kemacetan Cihampelas. Indekos yang berada di dalam gang berkelak-kelok terpaksa membuat kami memarkirkan kendaraan di bahu jalan. Namun, tetap tidak sulit untuk menemukan tempat kejadian perkara di mana orang-orang memenuhi seluruh jalanan gang hanya untuk melihat mayat yang sengaja dipotong-potong dengan keji oleh sang pelaku. Beberapa petugas yang telah berada di lokasi menuntun aku dan Wijaya untuk melihat tempat kejadian secara langsung. Sayangnya, aku tak akan menemukan potongan mayat yang tergeletak karena telah diangkut lebih dulu. Mungkin kekecewaanku pun akan sama dirasakan oleh orang-orang yang sengaja mengantre hanya untuk melihat kejadian yang mungkin dapat dilihat sekali dalam seumur hidup—sekarang kesempatan itu telah hilang.

Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang