Lima belas menit terhitung sejak Leo berdiri di depan ruang operasi. Ruangan menyeramkan yang menjadi tempat pertaruhan antara hidup dan mati seorang Davichi.
Dia masih bergeming, dengan setumpuk rasa bersalah dan penyesalan yang terasa berat di pundaknya. Ia terus menyalahkan dirinya, sejak awal ini semua salahnya, andai saja ia tidak menyetujui rencana tolol Iren, andai saja ia bisa berfikiran dewasa. Tapi percuma jika semuanya di awali dengan andai-andai yang tidak akan terjadi.
Tapi kalau di pikir-pikir Leo tidak sepenuhnya bersalah, kejadian tempo hari benar-benar membebani pikirannya. Pernyataan Azka yang selama ini dia tidak tahu, lalu apa saja yang mereka sudah lewati setelah lamanya Leo pergi, dan tidak tahu dirinya ia kembali dan merusak semuanya. Bukankah itu terlihat sangat kejam, lalu apa yang harus Leo lakukan? Tentu saja melupakan Vichi, menjauhi gadis itu walau pun ada rasa tidak terima atau bisakah ini di sebut pengkhiatan jika dirinya yang terlebih dahulu meninggalkan Vichi?
Kalut dalam pikirannya, tau-tau seorang gadis datang padanya menawarkan kerja sama dengan iming-iming membantunya dapat dengan muda melupakan Vichi.
"Ya udah sih, gak usah di pikirin, biarin aja Azka sama Vichi mereka kelihatan bahagia, lagian ini salah lo, walau pun mereka juga gak harus lakuin itu."
"Tenang, gue bantu lo buat lupain Vichi, jadi pacar pura-pura gue aja." ujarnya tanpa beban. Ia tidak tahu maksud di balik kalimat itu.
Dan terbukti 'kan sekarang, ia hanya di jadikan alat pembalasan dendam gadis titisan medusa itu, entah motif apa di balik itu semua, tapi, yang ia rasa benar-benar menyesal.
Tadi, setelah mereka berusaha mencari Vichi perintah dari Dave, semuanya menyerah tidak menemukan Vichi di mana pun.
"Gue tau harus kemana." ujarnya, sesekali mengumpat mengapa pikirannya tidak terlitas dengan tempat itu.
"Gue ikut." ucap Iren.
"don't follow me." tukasnya dengan tangan mengembang di udara.
"Lo lupa, kalau gue ini pacar lo?" cibir Iren.
Sedetik kemudian sudut bibir Leo tertarik lalu berucap, "Kayanya lo yang lupa, dari awal ini sandiwara." ucap Leo.
"Goblok." umpat Iren.
Setelah mengatakan itu, Leo bergegas pergi entah bagaimana dengan Iren sekarang, yang ada di pikirannya hanya Vichi, ia harus menemukan gadis itu.
Suara bising yang semakin mendekat menarik perhatiannya, di sana dapat ia lihat sosok wanita parubaya yang masih mengunakan apron putih di kawal dua pria dengan jas hitam masih melekat di sana, Leo masih mengingat wajah-wajah mereka.
Wanita parubaya itu tak lain adalah mama Vichi, Leo yakin pasca mendengar kabar Vichi kecelakaan wanita berkepala lima itu sedang sibuk berkarya di kitchennya, begitu sangat mengkhawatirkan anak gadisnya sampai-sampai lupa melepaskan apron yang sudah berlumur tepung putih di sana.
"Mah, tenang dulu ya, Vichi lagi di tanganin dokter di dalam." ujar pria satunya yang lengan kemejanya sudah di gulung hingga ke siku, William sosok panutan bagi Leo.
Dulu mereka sering sekali menghabiskan waktu berdua di halaman rumah Vichi, bermain catur bersama ayah Vichi hal itu di lakukan guna mencari perhatian Vichi.
Tanpa sadar bibir Leo tertarik membentuk lengkungan, mengingat dulu bagaimana ia menyukai Vichi, pertemuan awal mereka di bangku pertama sekolah dasar. Bisakah ini di sebut cinta monyet?
Duduk satu bangku, saling mengajari, bersitegang soal jawaban mana yang paling benar kala mengerjakan soal matematika.
Hingga di kelas enam, akhir tahun mereka di bangku pendidikan sekolah dasar, Vichi tiba-tiba menjauhinya, Leo sendiri tidak tahu alasannya apa hingga suatu hari gadis itu berkata.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Squad Girls [SELASAI]✔️
Genç Kurgu[Tamat] Sedikit bercerita tentang empat gadis dalam satu gang yang memiliki sikap yang berbeda-beda, tentu dengan kisah percintaan yang beda pula. WARNING! CERITA INI BELUM DIREVISI, JADI JIKA ADA TANDA BACA YG SALAH ATAU BANYAK TYPO HARAP DIMAKLU...