Prolog

3.3K 128 8
                                    

Malam selalu menyimpan misteri. Tak peduli taburan bintang di atas sana begitu indah, tak peduli bulan bersinar begitu terang, malam tetaplah kelam.

Di bawah hamparan bintang yang tinggi mengangkasa, seorang gadis kecil berusia lima tahun tidur di pangkuan ibunya. Matanya menerawang jauh, menatap langit maha luas di atasnya.

"Bun, Rana takut." Ucap gadis itu lirih, tangannya mencengkram rok panjang ibunya. Tubuh kecil itu gemetar, matanya menunjukkan ketakutan yang nyata.

"Ayah nggak akan nemuin kita di sini sayang." Jawab ibunya berusaha menenangkan. Bukan hal mudah untuknya membawa Rana lari dari rumah, kabur dari kejaran suaminya yang terus menerus ingin menjual Rana.

"Rana nggak mau di jual, Bun."

Rana sendiri bahkan tak tahu apa yang dimaksud ayahnya dengan 'menjual.' Tapi sepertinya, itu sesuatu yang sangat menakutkan.

"Iya, Bunda janji Rana nggak akan dijual."

Ibu dan anak itu kembali diam, tangan si ibu mulai mengelus rambut Rana perlahan, mulutnya mulai bersenandung menyanyikan lagu kesukaan Rana: Bintang kecil.

Keluarga kecil itu jauh dari kata bahagia. Kepala keluarga mereka seorang pemabuk yang bekerja di pasar gelap, menjual organ tubuh manusia. Dan gilanya, belakangan ini ia ingin menjual organ tubuh putrinya di sana. Gila bukan?

Rana tentu tak tahu bahwa jika ia tertangkap, ia tak akan selamat lagi, ia tak akan pernah bisa melihat ibunya lagi. Yang ia tahu, ayah hanya akan menjualnya.

Di tanah lapangan yang kosong inilah mereka bersembunyi, berharap mereka tak akan tertangkap. Jika mereka tetap tertangkap, setidaknya ibu sudah memberikan pemandangan bintang paling menakjubkan untuk Rana.

"Kalau Rana dijual, yang beli Rana siapa, Bun? Memangnya mereka mau ya beli Rana? Rana kan bawel, Bun."

"Nah, karena itu, nggak akan ada yang mau beli Rana. Nanti kuping mereka sakit kalau beli Rana." Jawab si ibu sambil memencet hidung Rana. Anak itu tertawa, kemudian bangun dari posisinya dan melompat duduk di pangkuan ibunya.

"Tapi, Bun, kata ayah harganya Rana mahal. Harga apa, Bun?"

Lihat. Anak itu masih sangat polos bukan. Mata ibu berair, ia tak akan melepaskan Rana, tak akan pernah.

"Lupain itu ya, sayang. Rana kan nggak jadi dijual sama Ayah."

"Tapi Rana nggak bisa lupa, Bun." Rana cemberut, "Kalau lupa artinya Rana harus lupa ingatan dulu."

"Iya, iya, terserah kamu."

"Jangan terserah, Bun. Rana bingung jadinya harus lupain atau nggak kalau Bunda ngomong terserah."

"Terus gimana mau kamu?" si ibu bertanya dengan sabar.

"Kalau Rana lupa, berarti Rana juga harus lupa sama Ayah. Soalnya kan Ayah yang ngomong jual-jual itu." Jawab Rana pintar. Mata bulatnya mengerjap, angin malam membuat poni lurusnya bergerak ke sana-ke mari.

"Kalau begitu lupain Ayah," jawab ibunya. Lebih baik Rana melupakan sosok ayahnya, yang bahkan tak pernah memperlakukan Rana seperti anaknya sendiri.

"Berarti, harus lupain Bunda juga. Bunda kan istrinya Ayah."

"Rana!" Ibu kesal sendiri, digelitiknya perut anak itu hingga Rana terpingkal-pingkal di atas rumput lapangan yang tidak terlalu tinggi. Tawanya begitu renyah, gigi-gigi kecilnya terlihat begitu indah.

"Bunda," tiba-tiba tawa Rana terhenti. Matanya terpaku pada sosok yang berdiri di belakang ibunya. Setengah berbaring, dengan keadaan siku yang menopang tubuhnya, Rana kembali gemetar.

Say Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang