14. Rana?

774 68 1
                                    

...

Satu kamar dengan Ana adalah suatu kemudahan bagi Rana. Ia jadi mudah bangun pagi, jadi mudah untuk tidur lebih cepat, dan yang paling penting ia jadi mudah untuk membereskan kamarnya.

Asalkan kalian tahu, sebelum ada Ana, kamar Rana lebih pantas disebut sebagai kandang kambing. Tapi setelah kedatangan Ana di kamar itu, Tika sampai menjuluki kamar Rana adalah kamar seorang putri kerajaan.

"Lo minum susu biar cepet tinggi," ucap Aga sambil menunjuk susu Rana yang belum disentuh sedikit pun oleh pemiliknya.

"Lo aja yang minum biar awet muda!" balas Rana yang kini sedang memakai kaus kaki untuk kaki kirinya.

"Untung-untung gue perhatiin lo bocah!" Aga mendengus sebal. Diliriknya Ana yang sedang meneguk habis susu miliknya.

Tapi Aga merasa ada yang salah dengan gelas yang Ana pegang. Gelas Ana harusnya tampak imut seperti milik Rana. Tapi yang gadis itu pegang adalah sebuah gelas berwarna biru dengan motif bola.

"Lo minum susunya Rendi?" tanya Aga takut-takut.

"Loh, memangnya nggak boleh ya Kak? Tadi kata Kak Rendi dia lagi nggak mau minum susu soalnya." Jawab Ana sedikit bingung. Ia hampir saja mengira bahwa yang ia minum adalah air garam jika tidak melihat airnya berwarna putih susu.

"Punya lo sama punya Rana gue buat pake cinta. Tapi punya Rendi...."

"Kenapa?" tanya Ana dan Rana bersamaan. Rana berjalan ke arah meja makan, meneguk susunya hingga tersisa setengah.

"Punya Rendi gue buat pake garam."

Ana dan Rana melongo. Tega sekali kakak pertama mereka. Aga menggaruk tengkuknya, sedikit merasa bersalah karena adiknya lah yang harus meminum itu.

"Wah, wah, sungguh terlalu kau Ibu tiri Cinderella!"

Ketiga kakak-beradik itu menoleh ke arah tangga. Rendi sedang bergelayut manja di lengan Tika, sambil memasang wajah terluka yang sungguh berlebihan.

Matilah Aga karena Tika juga mendengar semua itu.

"Kalau aku yang kena sih nggak masalah, Ma. Tapi ini Ana yang minum susunya. Jahat banget kan si tua itu?"

"Heh mulut lo gue sumpel pake biji jeruk ntar!" cetus Aga yang tak terima dipanggil si tua.

"Aga, bahasa kamu tuh ya bikin kuping Mama sakit." Tika memegang kepalanya tanda bahwa ia sedang pusing. Sebenarnya sih wanita itu hanya bermaksud mendramatisir keadaan.

"Kamu tuh betul kata Rendi, pantes dapet julukan Ibu
tiri Cinderella," lanjut Tika dengan wajah sebal. Ana dan Rana tertawa kencang. Tak ada penolakan atas julukan baru yang Aga terima.

"Tapi--"

"Assalamualaikum,"

Suara seseorang dari arah pintu menghentikan aksi pembelaan Aga. Dimas berdiri di sana dengan wajah datar.

Ana langsung terdiam. Gadis itu kembali mengingat pesan yang Dimas kirim semalam bahwa polisi mengatakan kemungkinan besar jika Rumi memang menjadi korban penjualan organ tubuh manusia.

Berbeda dengan Ana, Rana tersenyum senang. Gadis itu berlari ke arah Dimas, mencubit pipi Dimas sambil mengucapkan selamat pagi.

"Ayok berangkat!" Rana menarik tangan Dimas. Belum sempat Dimas melangkahkan kakinya, Rana sudah berhenti. Dengan berat hati gadis itu memutar tubuhnya.

"Dimas berangkat sama Ana, harusnya Ana yang ngomong begitu." Ucap Rana sedih. Aga, Rendi dan Tika saling bertatapan saat melihat Rana yang menunduk seakan keberatan oleh hal itu. Padahal tadinya ia adalah orang yang paling semangat memaksa Dimas supaya mau berangkat bersama Ana.

"Sana susulin Ana," ucap Rana lagi sambil melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Dimas.

Dimas benar-benar terdiam. Dari semalam ia memikirkan bagaimana caranya mengatakan perihal ibunya kepada Rana, tapi ia yakin Rana tak akan pernah bisa serius.

"Kak, kalau lo mau berangkat bareng Kak Dimas nggak masalah. Gue bareng Kak Rendi aja, dia lagi nggak jemput pacarnya hari ini."

"Serius?" mata Rana langsung membulat. Hal itu membuat Dimas diam-diam tersenyum. Ternyata, kebahagiannya hanya sekecil senyuman Rana. Dimas tak perlu menjadi orang kaya untuk bisa bahagia.

Senyum Rana dan Rumi adalah hartanya.

Dan Dimas berjanji akan menjaga hartanya yang tersisa dengan sangat bertanggungjawab.

"Iya, sana berangkat." Jawab Ana sambil tersenyum manis. Rana langsung berlari ke arah Tika dan menyalami mamanya, tak lupa memberikan kecupan kecil di pipi kiri.

"Lain kali Mama fotocopy aja Dimasnya biar ada dua!" ujar Rana sambil memegang kedua pipi Tika dan memberikan satu kecupan lagi di pipi kanan.

"Lo kira Dimas kertas HVS apa," Rendi terkekeh sambil melirik Rana sinis.

"Lo mau gue laminating?" Rana bertanya dengan dingin.

"Gue bukan kartu keluarga kali!" Jawab Rendi cepat. Rana kini berlari ke arah Aga, menyalami kakaknya yang paling tua itu.

"Ibu tiri, cinderella berangkat mengembara dulu, ya."

"Ya Allah nih bocah udah ketularan virus gilanya si Rendi!" Aga berdecak kesal.

Rana tertawa lepas, kemudian berjalan ke arah Dimas. Tangannya menarik tangan Dimas untuk segera pergi dari rumah.

"Belakangan ini gue suka kesel kalo lo pergi sama Ana," ucap Rana saat Dimas mengaitkan tali helmnya. Dimas terkekeh, kemudian memukul puncak kepala Rana yang sudah dilindungi helm.

"Maksudnya lo cemburu?"

"Hah? emangnya cemburu tuh gimana sih?"

"Kayak lo sekarang," Dimas tersenyum tipis.

"Terus gimana supaya gue nggak cemburu?" tanya Rana seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Cukup percaya kalau gue cuma untuk lo, bukan yang lain."

...

Ini gantinyaa, moga suka yaa😍😍

Salam sayang
Jennie

Say Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang