Di balik selimut tebalnya, Rana tak pernah berniat menutup mata sekalipun ia tahu bahwa Aga tengah begadang di balkon kamarnya. Ia kini membenci malam, tak ada lagi keinginan untuk menatap bintang, tak ada lagi niatan untuk pergi ke lapangan.
Mulutnya sudah menguap berkali-kali. Tapi Rana tetap tak ingin menutup mata. Ia tak ingin tertidur. Ia takut mimpi buruk berikutnya akan datang, membuatnya terbangun dengan keringat bercucuran.
Rana benar-benar membenci Aga yang memasukkan obat tidur ke dalam minumnya atas perintah Dokter. Kalau bukan karena obat tidur itu, Rana mungkin tak akan mengantuk sekarang.
Dengan perlahan, matanya tertutup begitu lembut. Lelah terpancar di wajahnya, napasnya terdengar sangat teratur seakan ia tak pernah mengalami semua teror ini.
"Ayah, mereka kenapa tidur di sini?"
Rana kecil membuka suaranya. Ia tanpa sengaja mengikuti ayahnya masuk ke dalam sebuah kamar kecil yang dipenuhi lebih dari lima orang berlumuran darah di perutnya. Tapi Rana tak pernah tahu bahwa itu darah. Rana tak pernah tahu bahwa saat itu mereka semua kesakitan.
"Mereka mau Ayah tukar dengan uang. Tahu nggak uangnya untuk apa?"
Rana bahkan lupa bahwa dulu ayah pernah menjadi sosok yang hangat untuknya.
"Untuk apa uangnya?"
"Untuk beli mainan Rana," ayah mengusap puncak kepalanya. Rana bertepuk tangan senang. Ia sangat suka semua mainan yang diberi ayahnya. Kala itu, dilihatnya sosok bunda yang menangis di celah pintu kamar seraya memandangi interaksi Rana dan ayah.
"Kalau besar nanti Rana nggak punya uang, Rana ikuti saja cara Ayah." Ucap Ayah lagi sembari menarik hidung Rana. Rana mengangguk mengiyakan, tapi matanya tetap fokus kepada bunda.
Sadar bahwa anaknya tak fokus padanya, ayah menoleh ke belakang yang langsung membuat bunda menutup pintu kamar.
"Tunggu sini," ucapnya sebelum berlari ke arah kamar mereka.
Rana hanya mengangguk. Dulu, sosok ayah memang hangat untuk Rana. Tapi tak setiap menit. Terkadang, ia pulang dalam keadaan mabuk dan melempari Rana dengan botol minumannya. Dan esoknya, ia bersikap seakan ia adalah ayah paling baik untuk Rana.
Rana kecil melangkah ke dalam ruangan itu. Di dalamnya, sekitar 10 orang anak yang lebih tua darinya tengah meringis sambil memegangi perut mereka yang berdarah.
"Kalian mau makan?" tanya Rana pelan. 10 orang anak itu mengangguk semangat. Wajah mereka tampak bahagia mendengar tawaran Rana.
"Tunggu sebentar, ya."
Rana pergi ke dapur untuk mengambil makanan yang disediakan bunda di atas meja. Ia membawa semua makanan itu ke dalam kamar tempat ayah menyekap anak-anak itu.
"Aku bukain ikatannya dulu,"
Rana mengambil pisau berlumur darah yang ayahnya letakkan di atas meja yang sangat jauh dari jangkaun anak-anak yang lebih tua dan besar daripada Rana.
Rana dengan polos dan gerakan lembut mengiris setiap tali yang terikat, membuat anak-anak itu tersenyum senang. Saat semuanya sudah bebas tanpa ikatan tali, Rana pun duduk di lantai sambil mengembuskan napasnya.
Tapi pikiran kesepuluh anak itu sudah matang. Mereka ingin pulang. Mereka rindu keluarga mereka. Akhirnya, dengan menahan perih di perut mereka, mereka semua berhamburan keluar dari ruangan pengap itu dan mencari pintu keluar.
Rana dibuat terkejut. Gadis kecil itu bangkit dan ikut berlari. Tapi langkahnya kalah cepat. Mereka semua sudah berlari ke luar rumah secepat mungkin sampai Rana pun tak bisa mengejar.
"Anak bodoh! nggak berguna! mati saja kamu, mati!"
Sedetik setelah teriakan itu terdengar, Rana merasakan perih yang amat sangat di kepalanya kala tangan ayah menjambak rambutnya hingga ia terduduk di lantai. Setelahnya, Rana hanya bisa menangis kala ayah menyeretnya sambil sesekali menendang kepalanya.
"Kamu bodoh! bodoh! kamu bukan anak saya!"
"Rana anak Ayah," isak Rana yang tak ingin ayah tak mengakuinya.
"Kamu dan bunda kamu sama-sama bodoh! mati saja sana kamu!"
Ayah begitu kalap. Ia kini membawa Rana ke halaman belakang rumah mereka. Diraihnya botol bekas alhokolnya semalam dari tong sampah. Selanjutnya, botol kaca itu pecah karena menghantam kepala Rana.
Saat itulah Rana benar-benar terisak sambil meminta ampun berkali-kali.
"Maaf Ayah, maaf. Rana janji nggak nakal lagi Ayah. Maafin Rana." Rana tak akan lupa saat kaki kecilnya membawanya merangkak ke kaki ayah, memeluk kaki pemuda itu yang kemudian membuat kepala Rana hanya merasakan kembali tendangan dari kaki ayahnya.
"Mereka uang ayah, Rana! kamu membuat Ayah kehilangan uang Ayah!"
"Rana minta maaf, Ayah!"
"Anak setan kamu Rana!" Ayah kembali menyeret Rana, mengikatnya di pohon dengan tali yang yang ia ambil dari dekat kandang ayam peliharaannya.
Apa pun yang ia lihat akan ia pakai untuk menyiksa Rana. Salah satunya, sebuah ranting pohon yang patah dari pohon mangga di belakang rumah mereka.
Dan untuk kesekian kalinya, Rana merasakan neraka. Ia merasakan perih di sekujur tubuhnya. Kepalanya masih berdenyut akibat lemparan botol dan jambakan tadi.
"Bunda, tolongin Rana Bunda! Bunda! Rana mau sama Bunda! Bunda, tolongin Rana!"
"Siapa yang mau menolong kamu, hah? Bunda kamu itu sama nggak bergunanya seperti kamu!"
Rana hanya bisa menangis saat ayah mendorong-dorong dahinya dengan jari telunjuk.
Dalam hati Rana tak pernah berhenti berteriak supaya Allah mau membantunya, supaya ayah tak memukulinya lagi.
"Rana takut ya Allah, Rana takut. Rana mau sama Bunda, Rana mau sama Bunda." Isakanya dalam hati.
Tak lama kemudian, amarah ayahnya padam. Dibiarkannya Rana terikat di pohon itu selama seharian hingga gadis kecil itu kehujanan.
Rana pikir, nerakanya telah berakhir. Tapi ia salah. Karena keesokan paginya, bukan hanya ia yang dipukuli oleh ayah, tapi juga bunda.
Dan setelah itu, setiap malam bunda dan Rana selalu pergi dari rumah. Setelah kejadian itu juga ayah selalu berniat untuk menjual Rana.
Mimpi sialan itu benar-benar datang. Membuat setetes air mata mengalir dari mata Rana yang terpejam. Luka lamanya kembali terbuka. Luka yang sebelumnya selalu ia coba untuk lupakan.
Kalau Rana tak pernah membuka ikatan anak-anak itu, semua mungkin tak akan seperti sekarang. Ia akan tetap tinggal bersama ayah walau tak menutup kemungkinan ia akan dipukuli tiap kali ayahnya mabuk.
Rana tak sadar kalau selimutnya sudah tersibak. Dalam gelap, Tika bisa melihat air mata menetes membasahi pipi anaknya.
...
Niat baiknya si cantik malah buat dia kayak di neraka, hem😳
Jangan lupa tekan bintangnyaa😍
Salam sayang
Jennie
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Good Bye
Teen FictionMasalah demi masalah berdatangan ke hidup Rana, tentunya mengganggu setiap hubungan yang dijalin oleh gadis itu. Sisi berbeda terlihat dengan sendirinya dari orang-orang yang ia sayang. Semuanya memiliki sisi gelap yang tak pernah Rana tahu. Hingga...