Ini sudah pukul tujuh lewat dan Dimas belum datang untuk menjemput Ana. Padahal, kemarin Rana sudah meyakinkan Ana kalau Dimas akan menjemputnya.
Rana juga terpaksa menunggu Dimas di rumah lantaran ia tak berani bekendara sendiri.
"Sabar ya, 5 menit lagi." Ucap Rana dengan nada cemas. Gadis itu melirik jam di tangannya, kemudian meringis.
10 menit lagi, satpam akan menutup gerbang sekolah. Rana bisa saja menawarkan untuk membonceng Ana. Tapi ia kan masih cukup waras untuk tidak mengajak adiknya jatuh dari motor.
Dan perihal kedua kakaknya, mereka sudah berangkat lebih dulu.
"Kak, kalau memang Kak Dimas nggak bisa, kita naik angkutan umum aja." Ucap Ana.
"Jangan, An. Kasihan Dimas kalau nanti dia ke sini dan kita nggak ada."
"Jadi, lo lebih kasihan sama Kak Dimas daripada sama gue? Gue anak baru loh, masa iya udah terlambat di hari pertama sekolah."
Rana meringis. Kenapa Ana harus menghadapkannya pada pilihan sih? Rana kan paling tidak suka jika harus memilih.
"Nanti kalau Mama balik dari pasar dan kita belum berangkat, kita bisa dimarahin." Ingat Ana.
"Jadi?" Rana mengernyitkan keningnya.
"Kita naik angkutan umum," jawab Ana mantap. Gadis itu tersenyum manis, menyembunyikan kekecewaannya lantaran tak jadi berangkat bersama Dimas.
...
Setelah mengantar Ana ke ruang kepala sekolah, Rana langsung berlari ke kelasnya. Gadis itu mengernyit saat melihat tas Dimas sudah berada di tempatnya, sedangkan si empunya tas tak ada di sana.
Loh, jadi Dimas berangkat duluan?
Rana cemberut. Gadis itu akan memarahi Dimas habis-habisan. Rana sebenaranya tahu kalau Ana kecewa, ia juga tidak bodoh-bodoh banget sampai tidak melihat raut kecewa di wajah adiknya.
"Tumben nggak bareng Dimas? Biasanya barengan terus." Tanya seorang temannya yang duduk di belakang mejanya.
Rana memutar matanya jengah. Semua orang memang ramah padanya, tapi Rana tak membalas itu. Ia masih trauma.
Rana selalu berpikir kalau dibalik keramahan itu, mereka membicarakannya diam-diam.
Rana takut kalau orang-orang yang dianggapnya teman akan mengkhianatinya sama seperti ayah.
Tidak. Teman Rana hanya Dimas dan Kak Sinta. Sedangkan yang lain hanyalah sebatas orang-orang yang mengenalnya.
Tidak memedulikan pertanyaan temannya, Rana langsung berlari keluar kelas.
Tujuan pertamanya adalah taman belakang. Tapi di sana kosong, yang Rana temukan hanya beberapa anak perempuan yang sedang berfoto-foto.
"Dimas bikin susah ih, sebel!" teriak Rana kesal. Gadis itu berhenti untuk mengambil napas.
"Tapi kan yang lebih sering bikin susah itu gue," ucap Rana kemudian. Gadis itu memukul pipinya sendiri. Merasa bodoh karena tidak berkaca bahwa ialah yang lebih sering merepotkan.
Rana kembali berlari. Pilihannya kini jatuh pada atap sekolah. Sebenarnya Rana tidak yakin sih kalau Dimas akan ada di sana. Tapi siapa tahu saja pria itu memang sedang di atap sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Good Bye
Teen FictionMasalah demi masalah berdatangan ke hidup Rana, tentunya mengganggu setiap hubungan yang dijalin oleh gadis itu. Sisi berbeda terlihat dengan sendirinya dari orang-orang yang ia sayang. Semuanya memiliki sisi gelap yang tak pernah Rana tahu. Hingga...