...
Dimas tak mudah percaya pada orang lain kecuali saat ia merasa benar-benar putus asa. Dan sekarang, Dimas ada di posisi itu. Posisi di mana ia hanya bisa menerima kenyataan dan berusaha untuk percaya.
Beberapa jam yang lalu, sekitar jam 4 sore, polisi mendatangi rumahnya. Dimas kira mereka akan membawa kabar baik. Tapi rupanya Dimas salah. Yang selanjutnya polisi itu katakan malah membuat dunianya terasa begitu hancur.
Polisi sudah menutup kasus hilangnya mama Dimas. Tak ada lagi yang bisa mereka temukan selain kalung Rumi yang terlepas di samping Rumah.
Awalnya Dimas memohon supaya kasus ini tak ditutup. Tapi Dimas bisa apa selain menerima kenyataan bahwa mamanya memang sudah pergi.
Polisi menganggap ini sebagai kasus pembunuhan setelah melihat semakin banyak kasus penjualan organ tubuh manusia. Dan setelah polisi pergi, tetangga-tetangga Dimas datang untuk mengucapkan turut berduka cita.
Mereka semua percaya. Mereka menganggap Rumi sudah meninggal. Dan tak ada yang bisa Dimas lakukan selain ikut percaya.
Di balkon kamarnya, Dimas terus-terusan menghela napas. Ia ingin menangis, ia ingin berteriak. Tapi egonya sebagai lelaki menahannya untuk meneteskan air mata.
"Gue memang bego. Ibu sebaik Mama Rumi, malah gue sia-siain." Ucapnya sambil meninju pembatas balkon hingga tangannya memerah.
Dimas pikir egonya akan terus menahannya, akan terus mengalahkan keinginannya. Tapi Dimas salah. Karena di menit selanjutnya, ia sudah menendang meja bundar di balkon hingga terbalik.
"BEGO!" teriaknya penuh amarah. Dimas tak pernah semarah ini. Ia tak pernah sekalap ini hingga meninju pembatas balkon dan menendang meja. Dimas rasa ia sudah dimasuki iblis.
"Kenapa gue bisa bego banget, hah?!"
Kenyataan yang pahit berhasil mengambil alih kesabarannya. Tanpa pikir panjang, Dimas menghantam kepalanya kepada dinding putih hingga bercak kemerahan terlihat di sana tepat setelah Dimas menjauhkan kepalanya.
Benturan itu sangat kuat. Mungkin Dimas akan menyesali hal ini nanti. Untuk sekarang, biarkan kemarahan menguasainya.
"Kak Dimas!"
Teriakan itu berasal dari arah pintu, membuat Dimas menoleh dan menemukan Ana yang sedang berlari ke arahnya.
"Tuhan memang nggak baik, An! percuma gue doa! Dia nggak pernah sebaik itu sama gue! Dia ngambil semua orang yang gue sayang!"
"Kak!"
Ana menggeleng tak percaya. Gadis itu membenarkan meja yang terbalik, juga membenarkan posisi bangku yang ikut terjatuh saat Dimas menendang meja.
"Kakak nggak berpikir untuk bunuh diri dan ninggalin Kak Rana kan?"
Dimas mungkin tak berpikir panjang bahwa benturan keras itu bisa saja membuatnya pingsan, koma bahkan meninggal. Dan untungnya, Ana datang disaat Dimas hendak membenturkan kepalanya lagi.
"Lo bakal lakuin hal yang sama kalau Tuhan jahat sama lo--"
"Tuhan nggak pernah jahat, Kak!" Ana membentak Dimas. Kini, matanya berapi-api seakan kalimat Dimas bisa saja membuat Tuhan tak lagi peduli padanya. Tapi Ana tahu, Tuhan tak pernah mengabaikan umat-Nya, sehina apa pun orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Good Bye
Teen FictionMasalah demi masalah berdatangan ke hidup Rana, tentunya mengganggu setiap hubungan yang dijalin oleh gadis itu. Sisi berbeda terlihat dengan sendirinya dari orang-orang yang ia sayang. Semuanya memiliki sisi gelap yang tak pernah Rana tahu. Hingga...