Malam ini Ana meminta ijin untuk menginap di apartemen Fee. Awalnya Rendi dan Aga menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi Ana menolak dan memilih untuk menyetop taksi di jalanan depan komplek.
Perjalanan menuju gerbang perumahan rumahnya tidak terlalu menyeramkan karena masih banyak anak kecil yang berlarian bersama teman sebayanya.
Hanya saja, langit tanpa bintang malam ini membuat Ana sedikit dilanda rasa takut.
Cuaca yang cukup dingin membuat gadis itu merapatkan jaket yang dikenakannya.
Setibanya di tepi jalan, Ana melihat jalanan sejauh matanya bisa memandang. Tapi selama tiga menit lebih ia tidak menemukan taksi.
"Kayaknya jalan agak jauh lagi deh," ucap Ana sambil menarik napas dan berjalan menjauh dari perumahannya.
Ini belum terlalu malam, banyak kendaraan yang masih lalu-lalang.
Ana berhenti di depan sebuah halte yang lampunya sudah pecah dan menunggu di sana.
Awalnya semua berjalan baik-baik saja sampai Ana harus terjatuh karena seseorang menabraknya.
"Aw," ringisnya. Gadis itu sangat terkejut saat seseorang yang menabraknya malah bersembunyi di balik tubuhnya yang sedang duduk di lantai halte.
"Huh... huh... tolong... tolong...."
Wanita paruh baya itu tampak begitu ketakutan. Pakaiannya mahal dan indah, tapi ditutupi banyak debu dan tanah basah. Rambutnya yang wangi tidak sebanding dengan tatanannya yang begitu berantakan.
Wajah cantiknya dipoles dengan sangat apik oleh debu jalanan dan juga tanah. Ana bisa menyimpulkan kalau ibu ini sudah tersungkur beberapa kali di tanah.
"Kenapa, Bu?" tanya Ana. Gadis itu membantu ibu itu untuk berdiri dan duduk di bangku yang sudah disediakan di halte ini.
"Hah...Hah..." napasnya tak teratur, tangannya dengan gemetar menunjuk ke jalanan.
"Kenapa? ada yang lagi mengejar Ibu?" tanya Ana lagi. Ia bingung apa yang dimaksud oleh ibu ini.
"Tolong saya...." lirihnya. Kini ia menangis begitu histeris, memegang tangan Ana begitu kuat seakan berharap gadis itu tak akan meninggalkannya.
"Mereka...."
"Mereka siapa, Bu?" Ana bertanya lagi.
"Orang jahat itu... hah... dia...." Selanjutnya ibu itu hanya terisak semakin kencang.
Ana benar-benar tak mengerti apa yang terjadi. Kenapa ibu itu terlihat sangat ketakutan?
Dari balik pohon yang berada di tempat yang gelap, seseorang mengintip dengan sangat tajam. Wanita paruh baya itu merasa tercekat saat orang itu menjulurkan tangannya dan menunjukan pisau yang sudah berdarah-darah.
"Mereka mau menjual saya!" teriaknya histeris lalu kembali berlari sambil berteriak begitu kencang.
Teriakannya sangat memekakan telinga. Ana awalnya hendak mengejar, tapi kebingungan akan kata 'mereka' membuatnya tertahan di tempat.
Jalanan ini begitu ramai. Tapi tak ada yang peduli pada teriakan ibu tadi. Ana mengembuskan napas sedikit kecewa.
Kecil sekali rasa simpati manusia di era modern ini.
Wanita paruh baya itu.
Rumi.
Dengan keringat mengalir deras, ia berlari begitu kencang menuju rumahnya.
Setidaknya, dalam keadaan setengah gila seperti sekarang, ia masih bisa mengingat tempat tinggalnya.
Masih bisa mengingat putra manisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Good Bye
Teen FictionMasalah demi masalah berdatangan ke hidup Rana, tentunya mengganggu setiap hubungan yang dijalin oleh gadis itu. Sisi berbeda terlihat dengan sendirinya dari orang-orang yang ia sayang. Semuanya memiliki sisi gelap yang tak pernah Rana tahu. Hingga...