2. Ana dan Rana

1.3K 86 0
                                    

Aku ingin melihat seberapa tangguh diriku
Karena itu, silakan uji aku Tuhan

...

Rana melambai pada Dimas yang kini sudah meninggalkan pekarangan rumahnya. Di depan garasi sudah terparkir motor besar Aga, mobil papanya dan Rana tak melihat ada motor Rendi di sana.

Pemuda itu pasti masih berduaan dengan Sinta di tempat kesukaan mereka. Rana berjalan ke arah pintu dengan tangan yang memegang ulat temuan Dimas tadi.

Niatnya untuk merawat ulat gembul itu dengan sepenuh hati akhirnya terpenuhi karena Dimas membuatkan sebuah mangkuk dari kertas untuk tempat bermalam ulat yang kini menjadi peliharaan Rana.

"Mama! Rana pulang!" teriaknya semangat sambil membuka pintu. Senyumnya yang mengembang langsung menghilang saat keluarganya yang berkumpul di ruang tengah langsung menatapnya.

Sepertinya ada satu anggota baru.

"Hai Kak Rana!" sapa gadis yang wajahnya tak pernah Rana lihat sebelumnya. Tapi sepertinya, suara itu tidak terlalu asing untuknya. Itu adalah suara yang selalu meneleponnya pagi-pagi untuk memastikan apakah ia sudah bangun atau belum.

Rana tak mungkin salah jika berpikiran bahwa gadis dengan rambut pirang dan tampilan modis itu adalah Ana.

"Ana!"

Ana membuka lebar kedua tangannya, membuat Rana langsung memeluk erat gadis itu. Ana membalas pelukan Rana sama eratnya.

"Cantik banget," puji Rana sambil menangkup pipi Ana dengan tangannya. Sejak kecil tinggal di Inggris tentunya membuat gaya berpakaian dan tampilan Ana tidak terlihat seperti orang Indonesia pada umumnya. Tapi soal bahasa, tidak perlu diragukan lagi. Bibinya di sana mengajarkan dengan seimbang tentang bahasa negara asalnya dan negara tempatnya tinggal.

Saat kedua putrinya sedang asik bercengkrama, mata Tika tanpa sengaja jatuh pada sebuah mangkuk kertas di lantai yang tadi jatuh sewaktu Rana berlari ke arah Ana.

"Ran, itu tadi jatuh dari tangan kamu. Memangnya kertas apa sih?" tanya Tika bingung kepada Rana. Rana menoleh, kemudian ber-oh panjang dan berjalan ke arah rumah ulatnya.

"Ini Popo, si gembul." Ucap Rana. Gadis itu menunjukan ulatnya kepada sang mama. Tika yang geli pada ulat sontak langsung berdiri di atas sofa, sambil berteriak meminta Rana untuk menjauh.

"Ini lucu, Ma. Gemuk." Timpal Aga yang kini sudah berdiri di samping Rana untuk melihat si Popo gembul yang dimaksud oleh adiknya.

"Apanya yang lucu?!" tanya Tika histeris. "Aga! terus ya! jauhin nggak dari Mama! Agaaaa!"

Bukannya menjauhkan Popo dari mamanya, Aga malah semakin mendekatkan ulat itu dengan tangan mamanya. Saat kakak dan mamanya sibuk bertengkar dan membuat teriakan yang sangat menulikan telinga, Rana berpaling pada papanya yang sedaritadi hanya diam seakan tak terjadi suatu keributan di sekitar mereka.

"Papa takut juga ya makanya diem aja dari tadi?" tuding Rana.

Julio--Papa Rana--menggeleng dengan panik, keringatnya mulai bercucuran saat Rana berjalan mendekat dengan posisi tangan yang siap merampas ulat itu dari Aga dan kemudian dilempar ke arahnya.

"Papa bohong kan?"

"Nggak, Rana. Papa nggak takut, nggak kok, nggak takut." Ucap Papanya tambah panik. Dengan perlahan ia bangun dari duduknya, mundur dengan gerakan pelan sehingga tidak menimbulkan kecurigaan.

Say Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang