4. Ternyata Ana

1K 80 0
                                    

Aku hanya ingin beristirahat sejenak
barangkali ada hal menyakitkan yang akan hilang

...

"Tadi itu siapa, Ran?" tanya Dimas sambil memberikan sebotol air mineral kepada Rana. Keduanya kini tengah duduk di pinggir lapangan dengan keringat yang terus mengalir karena panas matahari.

"Yang mana?" tanya Rana sambil berusaha membuka tutup air mineralnya.

"Cewek di rumah lo,"

"Lo nggak tahu?!" Rana malah balik bertanya dengan heboh. Air yang sudah ia masukkan ke dalam mulut langsung menyembur begitu saja ke luar, tepat ke seragam sekolah Dimas.

"Ini...." Dimas memegangi seragamnya yang terkena hujan dari mulut Rana. "Jorok." Lanjutnya dengan wajah bodoh.

Rana mengibaskan tangan tak peduli.

"Wangi vanila kok hawa mulut gue," ucapnya jumawa. Dimas mengernyit. Melihat reaksi Dimas, Rana mencondongkan wajahnya ke hadapan Dimas, kemudian menatap pemuda itu tajam. "Mau gue kasih hawa mulut gue?" tanyanya dengan mulut yang siap mengeluarkan bau yang katanya seperti vanila itu.

"Kayaknya nggak usah, hehe." Dimas memegang tangan Rana, membuat Rana kembali duduk di tempatnya.

"LO BENERAN NGGAK TAHU CEWEK ITU SIAPA?!" mata Rana menatap Dimas tajam, tangannya mencengkram pundak Dimas kuat, membuat Dimas merasa bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.

Tentunya, bertanya pada Rana adalah kesalahan besarnya.

"Dia itu Ana, Dimas!" Rana menarik pipi Dimas kuat, membuat lelaki itu hampir berteriak.

Pandangan keduanya langsung jatuh kepada Ana, mama dan teman Ana yang bernama Fee yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah.

Dimas memandangi gadis itu lekat. Kalau dilihat-lihat, Ana cukup cantik.

"Besok lo bareng dia sekolahnya," ucap Rana kepada Dimas. Dimas sontak melotot. Siapa Ana sampai Dimas harus berangkat sekolah dengannya?

"Males," jawab Dimas ketus.

"Ih, Dimas!" Rana memukul lengan Dimas kesal. "Dia naik motor lo, gue naik motor gue sendiri."

"Nggak, lo nggak boleh bawa motor lagi."

"Apa? kenapa? Lo mau jadi Kak Rendi sama Kak Aga ya sekarang?!"

"Ini," Dimas menarik tangan Rana, menunjuk siku gadis itu yang baru diobati.

"Ini mah kecil," ucap Rana tak peduli. Padahal, sejak di uks beberapa jam yang lalu, ia bahkan mengumpati suster dan tukang urut yang dipanggil oleh wali kelasnya lantaran memijat terlalu keras. Tapi setelahnya, Rana benar-benar berterima kasih karena kakinya tidak sakit lagi.

"Tetep nggak boleh,"

"DIMAS!"

Bentakkan Rana yang nyaring membuat semua mata terarah padanya. Ketiga orang yang sedang berdiri di depan ruang kepala sekolah sontak langsung memerhatikan Rana.

"Astaga Rana," Tika berjalan ke arah Rana, diikuti oleh Ana dan Fee.

Rana hanya menyengir, ia pasti akan dimarahi, diberikan kultum panjang nan lebar. Ya Tuhan, Rana tidak siap untuk mendengar ocehan mamanya.

Say Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang