21. Nggak apa-apa, An

771 66 3
                                    

Satu-satunya hal yang Dimas sukai dari Rana adalah bagaimana cara gadis itu tersenyum. Sedangkan,  ada banyak hal yang Dimas sukai dari Ana. Tentang bagaimana cara gadis itu menundukkan kepalanya saat malu, bagaimana caranya tersenyum dan menenangkan Dimas yang sedang khawatir.

Jika dipikir, harusnya Dimas jatuh hati pada Ana. Tapi entah kenapa, ia tak merasakan apa pun saat berada di dekat Ana. Hatinya malah jatuh kepada Rana. Mungkin karena Dimas rasa ia sudah sangat mengenal Ana.

Jika dipikir-pikir, Rana tampak seperti remaja yang bertingkah begitu kekanakan--yah walapun kenyataannya memang begitu. Dimas bisa saja menganggap Rana masih terlalu polos dan belum dewasa untuk diajak berpacaran. Tapi semua pemikiran itu lenyap saat Rana memintanya untuk menjauh hanya karena ia takut Dimas ikut terkena teror.

Rupanya, Rana sudah bisa berpikir sejauh itu. Dan Dimas yang katanya sudah sangat mengenal Rana pun baru tahu kalau pemikiran gadisnya sudah sedewasa itu.

Tapi jika Rana berpikir Dimas akan menjauhinya, Rana salah besar. Apa pun kondisi Rana, Dimas akan tetap ada di sampingnya. Karena saat ini, hanya Rana yang ia punya.

Tak peduli secantik apa pun Ana atau sedewasa dan sebijak apa pun gadis itu, Dimas tak akan pernah berpaling.

"Taraa~ gue buatin lo susu!"

Dimas dan Rana langsung menoleh ke ambang pintu dan menemukan Ana di sana dengan segelas susu putih di tangannya. Senyum Ana terus mengembang saat berjalan ke arah tempat tidur dan meletakkan susu itu di atas nakas.

"Enak nggak?" tanya Rana seraya mengambil susu itu. Ia tak langsung meminumnya, tapi lebih memilih untuk menggoda Ana terlebih dahulu.

"Nggak usah diragukan lagi susu buatan gue."

"Nggak lo tambahin garem kan?" Rana menggoda Ana lagi. Barangkali sifat jail Aga menurun kepada Ana sehingga membuat gadis itu berinisiatif untuk memasukkan garam ke dalam susu Rana juga.

"Gue nggak sejahat Kak Aga, oke?"

"Udah diminum, Ran." Saran Dimas seraya berdiri dan membiarkan Ana yang duduk di tepi tempat tidur Rana.

"Di dapur ada siapa aja, An?" tanya Rana yang entah kenapa belum berniat meminum susu itu.

"Ramai. Habis disidang sama Papa tadi, gue, Kak Aga dan Kak Rendi di suruh nemenin Mama masak di dapur barangkali peneror itu berniat nyakitin Mama juga."

"Astaga. Terus gimana lagi?"

"Yah gitu, keadaan dapur acak-acakan karena Kak Aga sama Kak Rendi perang tepung. Gue berinisiatif buatin lo susu, terus gue ke depan bentar buat bukain pintu untuk Fee."

Mata Rana langsung memicing.

"Ada Fee?"

"Iya, pokoknya mulai dari keluarga sampai temen gue lagi pada ngumpul di dapur."

Setelahnya, Rana hanya ber-oh panjang seraya mengangkat gelas susu itu menjadi sejajar dengan bibirnya.

Ia barusaja ingin meneguknya saat sesuatu tampak terlihat dari dalam gelas kala gelas susu itu ia miringkan.

Mata Rana memelotot. Sedetik setelahnya, ia melempar gelas itu ke lantai. Hal yang selanjutnya terlihat pun cukup membuat mata Ana dan Dimas terbelalak.
Seekor cicak kecil dan hewan kelabang yang sudah mati tampak tergeletak di lantai.

Menyadari hal itu mungkin membuat Rana kembali takut, Dimas langsung menoleh ke arah Rana. Dugaannya benar. Mata Rana sudah berkaca-kaca dengan tangan gemetar.

"Ran,"

"Dim, susu itu--" selanjutnya, tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya, hanya isak tangis yang mampu Dimas dengar.

Say Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang