9. Siapa dia?

900 71 0
                                    

Ana bersyukur sekali sewaktu tahu bahwa ia dan Fee satu kelas. Keduanya juga memilih untuk duduk bersama.

Dalam hitungan jam, mereka sudah mendapat banyak teman lantaran memiliki wajah yang kebarat-baratan. Sebenarnya mereka lebih tertarik pada Ana yang murah senyum dan memiliki paras yang begitu cantik.

"Jadi lo beneran nggak ada campuran Inggris?" tanya seorang teman kepada Ana. Ana menggeleng sambil tersenyum.

"Tapi wajah lo, hebat!" teman itu berdecak kagum. Ia mengamati wajah Ana lama, kemudian mengernyit.

"Tapi kalau dilihat-lihat, lo mirip kakak kelas yang namanya Rendi?"

Ana hampir saja tertawa saat mengingat ia belum bercerita bahwa saudaranya bersekolah di sini.

"Dia memang kakak gue, Sil." Jawab Ana tanpa melepas senyum manisnya.

Namanya Silvia, anak kelas X yang sudah sering masuk ke ruang BK. Hobinya bergosip dan ia begitu senang melihat orang lain menderita.

"Berarti lo adeknya Kak Rana juga dong?" tanya Silvia lagi.

"Yups, bener banget." Jawab Ana mantap tanpa mau memikirkan bahwa Rana hanyalah kakak angkatnya.

Baginya, mau saudara angkat ataupun tiri, itu bukan masalah. Yang penting, persaudaraan mereka bisa terjalin dengan baik.

"Tapi, An, gue heran sama Kak Rana. Kenapa ya dia nggak mirip Kak Rendi?" Silvia meletakkan telunjuknya di dagu, berpikir keras.

Ana terdiam. Ia hanya punya waktu satu menit untuk berpikir jika tidak mau Silvia mengada-ada jawaban.

"Kak Rana mirip Mama. Gue sama Kak Rendi mirip Papa,"

Silvia kemudian ber-oh panjang. Tapi sepertinya gadis itu belum selesai dengan segala pertanyaannya.

"Kok Kak Rana manja banget sih sama Kak Dimas?"

"Kalau itu gue nggak tahu, hehe."

"Kok kayaknya Kak Rendi lebih deket sama Kak Rana? dia pilih kasih ya?"

Dasar gadis sialan!

Ana berusaha menjaga ekspresinya supaya Silvia tidak tersinggung. Gadis itu melirik Fee yang ternyata sedang berusaha menahan tawanya.

"Nggak kok, nggak seperti yang lo lihat." Geleng Ana.

"Emang biasanya dia gimana?" Silvia menarik bangku kosong dan duduk di samping meja Ana.

Kalau sudah begini, maka perempuan satu ini tak akan berhenti bicara.

"Kok lo kepo begitu ya, apa jangan-jangan lo suka sama Kak Rendi?" cetus Fee yang sekarang berusaha menyelamatkan Ana yang notabenya adalah orang yang paling tidak enakkan pada orang lain.

"Eh, nggak gitu kok Fee. Lo jangan asal nuduh dan bikin rumor nggak baik dong. Emangnya lo mau gue dilabrak sama Kak Sinta?"

"Biasanya juga lo yang ngelabrak dia," cetus teman Silvia yang tengah bermain ponsel.

Silvia menggeram. Gadis itu memelotot ke arah temannya.

"An, gue mau ke toilet. Titip hape ya," ucap Fee kemudian.

Ana sontak melebarkan matanya. Jahat sekali jika Fee meninggalkannya berdua dengan Silvia.

"Kayaknya gue juga sakit perut," Ana memegangi perutnya.

"Lo nanti aja barengan sama gue. Biarin Fee duluan aja." Silvia menahan tangan Ana sambil tersenyum.

Fee tertawa dan pergi begitu saja. Oke, Ana tak punya pilihan lain selain menjawab semua pertanyaan Silvia.

Say Good ByeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang