Rana merasa perutnya seperti dililit. Rasanya begitu sakit dan perih. Rana bahkan meringis sejak tadi sangking sakitnya.
Halangan hari pertama benar-benar menyiksa. Rana merutuki cacing-cacing di perutnya yang membuatnya begitu kesakitan. Yah, walaupun sebenarnya ia tahu bahwa cacing-cacing itu tak bersalah.
"Kenapa?" tanya Dimas yang duduk di depan Rana. Pemuda itu sejak tadi ingin menoleh ke belakang, tapi ia masih fokus membaca buku kimianya. Dan kini ringisan Rana makin menjadi, ia tak tahan untuk tak menoleh.
"Sakit," jawabnya sambil memegangi perutnya. Mata Rana berkaca-kaca, Dimas tahu gadis itu tak akan sudi menangis di depan banyak orang.
Rana itu kan gengsinya tinggi.
"Ke kantin aja, yok." Dimas menutup bukunya, kemudian memasukkannya ke dalam tas.
Rana mengangguk, gadis itu berjalan lebih dulu. Sampai Dimas merasa ada yang salah dengan rok Rana.
Atau mungkin ia hanya salah melihat.
"Ran," Dimas menarik Rana dengan cepat dan mendudukkannya lagi di bangkunya seperti semula.
Rana mengernyit. Ia paling benci ditarik-tarik. Ia bisa memaklumi kalau Dimas menariknya karena keadaan darurat seperti ada bola yang akan mengenai Rana atau ada upil Rendi yang melayang le arahnya. Tapi ini kan bukan kedaan darurat.
"Yang sayap atau bukan?"
Matilah Rana.
"Hah?" Rana mengernyit heran.
"Oke, yang sayap." Dimas segera berjalan ke luar kelas. Masih dilanda bingung, Rana mencoba mencari-cari apa yang dimaksud dengan 'sayap'.
"WHAT?!"
Rana sedikit bangun dari duduknya, melihat bangku yang didudukinya sudah terdapat noda merah yang ia yakin dari roknya.
"Ihhhhh!" teriaknya kesal. Gadis itu uring-uringan sendiri. Malu dan sebal menjadi satu.
PMS memang membuat wanita menjadi serba salah.
...
"Bu, pembalut yang ada sayapnya berapa?" tanya Dimas berbisik kepada seorang ibu yang menjaga koperasi sekolah. Dimas sebenarnya sering mengintip barang-barang yang mamanya beli di supermarket. Ia juga sering membelikan pembalut untuk Rumi secara diam-diam saat ia tahu bahwa mamanya itu kelelahan dan terlalu capek untuk ke warung.
"Loh, kok kamu yang beli?" ibu itu malah balik bertanya dengan heran.
"Temen saya yang butuh, Bu." Jawab Dimas sambil tersenyum.
"Kan bisa temen ceweknya toh yang beli, kamu setia kawan banget." Ujar ibu itu sambil mengambil satu bungkus pembalut bersayap dan memasukkannya ke dalam plastik berwarna hitam.
"Ini uangnya, makasih ya, Bu." Ucap Dimas ramah sambil memberikan selembar uang dua ribu rupiah.
Pemuda itu baru saja berbalik dan hendak melangkah pergi saat seseorang menabraknya secara tiba-tiba dan membuat pembalut dalam plastik itu jatuh ke lantai.
"Maaf, Kak." Ujar sebuah suara yang terdengar begitu halus. Dimas mengangguk lalu dengan cepat memasukkan pembalut itu ke dalam plastik hitam.
"Kak Dimas?" orang itu bertanya setengah menyapa.
"Hai, An." Dimas tersenyum ramah kepada Ana. Di samping Ana ada seorang wanita berpenampilan centil yang tengah senyum-senyum tidak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Good Bye
Teen FictionMasalah demi masalah berdatangan ke hidup Rana, tentunya mengganggu setiap hubungan yang dijalin oleh gadis itu. Sisi berbeda terlihat dengan sendirinya dari orang-orang yang ia sayang. Semuanya memiliki sisi gelap yang tak pernah Rana tahu. Hingga...