4

2.4K 88 1
                                    

"kalian sudah lama?"

Deanis menuju meja, dimana Laura dan Dony berdiri, membawa wajahnya yang dingin. Laura sempat melirik pria itu.

Deanis memiliki tubuh yang ideal serta wajah yang tampan. Meski tidak memiliki kumis atau jenggot, wajah tampannya tetap terlihat jantan. Mata coklatnya yang tajam membuat Laura tak mampu menatap pria itu lebih lama dan memilih tertunduk bersama kekesalan yang masih tersisa karena Dony

Dony tampak gelagapan menanggapi basa basi yang tidak biasa Deanis lakukan, "sudah sewajarnya saya menunggu"

"santai saja. Aku rasa kau harus memperkenalkan orang baru padaku" ucap Deanis, tertarik pada seorang wanita di hadapannya.

Wanita itu, Laura, rambutnya tergerai rapi dengan poni tipis menutupi keningnya. Alisnya tersusun rapi meski tanpa pensil alis. Hidungnya mancung namun tidak mendominasi dalam wajah mungil itu. Namun yang membuat Deanis berhenti menatap adalah bibir mungilnya dan pipi yang merona.

"maafkan saya, Pak. Ia adalah sekretaris baru selama bapak di Indonesia. Maafkan saya karena terlambat menyampaikan ini pada bapak, Miss anas mengundurkan diri beberapa seminggu yang lalu."  jelas Dony.

"kau pasti sibuk karena itu. Tidak mudah menemukan sekretaris untukku, bukan?" Deanis bersandar di kursinya dengan kedua lengannya terlipat didada. Meski sedikit, Laura sempat menangkap ekpresi Deanis mengejek Dony. 

"Anda benar sekali. Miss Anas cukup baik dalam hal itu. Tapi saya yakin, Laura juga mampu melakukannya."

"Laura?" alis Deanis terangkat sambil menatap wanita yang diam saja sejak tadi.

Mendengar Deanis menyebut namanya, tak mungkin Laura berdiam diri.

"perkenalkan, Pak. Saya Laura. Saya akan bekerja keras membantu anda."

Manis' gumam Deanis dalam hati saat melihat senyum Laura setelah memperkenalkan diri.

Samar-samar Deanis menghirup aroma vanilla yang membuatnya penasaran sejak pagi tadi. Jika dugaannya benar, maka Laura adalah sumber aroma manis itu.

Untuk beberapa saat, Dony dan Laura kebingungan karena Deanis tidak menginstruksikan apapun.

"bisa tinggalkan kami berdua." Deanis bangkit dari duduknya, berjalan menuju sofa di ruangan itu.

Perintah itu sudah jelas ditujukan ke Dony melalui mata tajam Deanis. Dony bingung namun tidak ada lagi yang bisa Dony lakukan di sini, "baik pak, saya permisi"

Tanpa menoleh pada Laura, Dony meninggalkan ruangan itu.

Tinggallah Laura yang berjalan ragu-ragu mendekati bosnya. Namun Ia sadar bahwa Ia tidak melakukan kesalahan apa pun, sehingga tidak perlu khawatir.

'tenanglah Laura. Kau bisa melakukannya. Tegakkan punggungmu dan percaya dirilah!'

Laura melangkah dengan pasti dan duduk di kursi sofa tepat di depan atasannya. Sofa itu cukup rendah untuk kakinya yang jenjang, sehingga rok sepannya naik beberapa senti menampakkan paha mulusnya.

Benar, itu dia! Gumam Deanis dalam hati ketika Laura melewatinya.

"kau yang membuat sarapan tadi?" tanya Deanis

"Iya, pak. Apa rasanya tidak sesuai dengan selera anda?" Laura menjawab dengan gelisah sambil menarik-narik roknya. Sayang tidak berhasil.

Deanis tertawa, "aku tidak akan menghabiskannya jika itu tidak lezat"

"terima kasih, pak" lagi lagi Laura menampilkan senyumnya.

Deg!

Sesuatu bergetar disana, tepatnya jantung Deanis saat melihat untuk kedua kalinya senyum manis itu.

Tatapan Deanis mulai mengganggu Laura, entah apa yang dipikirkan pria itu dengan tatapan seperti itu.

"anda butuh sesuatu yang lain? Saya akan berusaha memenuhinya." ucap Laura, berusaha memotong kesunyian.

"Deanis. Bisa kau panggil aku begitu"

Laura terpaku di tempatnya. Ia menatap Deanis mencari canda di dalam ucapan yang baru saja Ia dengar. Tapi tampaknya tidak. Laura menimbang kembali dan Ia ingat bahwa pria di hadapannya itu tidak akan mengulang permintaannya.

"Deanis.." ucap Laura ragu.

Deanis tersenyum. Laura melihat dengan jelas ketampanan yang baru saja Deanis tebarkan.

"bagus. Kau sangat pintar. Kau tidak memintaku mengulang", Deanis tampak puas namun ada ejekan dalam tawanya, "jangan membuat kesalahan, aku akan menghukummu!"

Laura tidak langsung mengiyakan. Ia mulai waspada. Hukuman? Itu tidak tertulis dalam aturan. Ia lama menatao ragu pada Deanis. Mata itu sangat tajam, entah seperti apa bos-nya ini sebenarnya.

"apa anda akan memecat saya?"

Lagi-lagi Deanis tertawa, tampaknya menggoda Laura cukup menyenangkan, "tidak mungkin"

Laura spontan menghela nafas lega. Selama tidak di pecat, Ia tidak keberatan dengan hukuman apa pun.

"sepertinya kau sangat lega" goda Deanis.

"untuk karyawan seperti saya, dipecat adalah hukuman paling berat." sahut Laura, sahut Laura polos.

"benarkah?"

"benar sekali, Pak." Laura spontan menutup mulutnya, tanpa sengaja Ia melakukan itu.

Deanis tertawa, "apa aku harus menghukummu sekarang?"

Laura tertunduk, pasrah akan kecerobohannya.

"kembalilah bekerja. Aku akan menagih hukumannya nanti."

Laura beranjak dari kursinya detik itu juga, "Terima kasih, Pak"
Lagi???? Kenapa anak ini..

Deanis tertawa melihat Laura berlari meninggalkan ruangan itu.

"kau sangat manis rupanya"

***

The Boss: When A Man Fallin Love - COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang