13

2.2K 68 0
                                    

"selamat pagi, sayang" ucap Deanis setelah mengecup pipi Laura yang tengah menyiapkan sarapan favoritnya.

Laura tidak tampak terkejut, karena sedari tadi sudah mendengar langkah kaki pria itu mendekatinya.

"makanlah sebelum semua ini dingin" Laura tak bersemangat dengan ucapannya.

Mendengar suara lemah itu, kening Deanis mengkerut. Matanya terlihat cemas. "kau sakit" ucap Deanis sambil menempelkan telapak tangannya di dahi Laura.

Laura menggeleng pelan. "aku baik-baik saja."

"tapi kau terdengar sangat lemah." suara Deanis terdengar lembut menuntut kejujuran gadis itu.

Dimatanya, Deanis tak menemukan keceriaan yang selalu Ia lihat setiap menghabiskan waktu bersama wanita yang dicintainya itu.

Laura menatap dalam mata yang lebih mengisyaratkan kekhawatiran, kemudian memeluk erat tubuh besar Deanis, "aku mencintaimu"

Beberapa saat Deanis hanya membalas pelukan itu. Berusaha keras untuk tidak mencurigai walau Ia sangat penasaran dengan keanehan Laura pagi ini.

"i love you more" jawab Deanis sambil menyisir lembut rambut kecoklatan Laura.

Sentuhan itu hampir menerobos pertahanan Laura. Air matanya hampir saja tumpah. Namun Ia berusaha menguatkan diri agar Deanis tidak semakin curiga.

"ayo kita sarapan. Setelah itu kau boleh berangkat ke kantor bersamaku." ucap Deanis.

Laura mengangguk cepat. Namun masih tak beranjak dari pelukan hangat itu.

***

Laura, Dony dan beberapa karyawan lainnya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing setelah Deanis memberi evaluasi terhadap rancangan proyek yang Ia bawa dari Jerman.

"kita cukupkan sampai disini" ucap Deanis sambil memijit keningnya yang berkerut.

"terima kasih, Pak" sahut Dony yang hanya di jawab anggukan oleh Deanis. Seluruh karyawan yang hadir diruangan itu bergegas meninggalkan ruangan untuk segera menyelesaikan tugas yang Boss mereka berikan.

Laura melirik pada Deanis yang tampak kurang sehat, "kau baik-baik saja?" tatapan Laura berubah Khawatir melihat Deanis yang semakin pucat. 

Deanis mengangkat kepalanya dan melihat mata Laura yang berkaca-kaca, "kemarilah" Deanis menarik lembut jemari Laura. Membawa gadis itu kepangkuannya.

"Deanis... kau ingat" ucap Laura berusaha mengingatkan pada pria itu perjanjian yang telah mereka buat.

Deanis mengabaikan ucapan Laura dan bersandar di dada lembut wanita dipangkuannya itu, lengannya melingkar erat dipinggul Laura, "tenanglah. Disini hanya ada kita berdua." 

Laura mendengus pasrah, "apa yang menganggu pikiranmu?" tanya Laura pelan sambil menyisir lembut rambut hitam Deanis.

"aku tidak suka berperang. Memikirkannya saja sudah membuatku lelah." jelas Deanis.

Laura tak begitu memahaminya, meminta penjelasan Deanis disaat seperti ini tidak akan menghiburnya sedikit pun, "kalau begitu jangan lakukan" 

Ucapan Laura membuat Deanis menyadari sesuatu, Ia tidak boleh lemah jika itu juga menyangkut Laura, "aku bisa begitu dulu. tapi sekarang aku punya kelemahan, jadi aku tidak bisa mundur" jelas Deanis sambi menatap mata Laura. 

Laura bangkit dari pangkuan Deanis, "kalau begitu, bangkitlah. Merasa lelah adalah kekalahan yang sesungguhnya" ucapnya sambil tersenyum manis.

Deanis mengangguk dengan semangat. 

"kembalilah lebih dulu, akan kubuatkan teh untukmu" Laura berbalik meninggalkan Deanis tanpa menunggu jawaban pria itu.

***

Rahasiakan ini dari Laura. Ia tidak perlu mengetahuinya.

Pikiran Laura masih tidak pada tempatnya, ucapan Deanis pada seseorang di telpon semalam membuatnya berfikir keras tentang apa yang tidak boleh wanita itu ketahui. 

"hay Laura!" sapa ceria seorang wanita di ujung sana. Mereka tampak seumuran.

Sapaan itu sedikit mengejutkan Laura yang tengah melamun ketika menuang air panas untuk teh Deanis, "hay Cindy. Mau kubuatkan teh sekalian?"

"jika tidak keberatan" ucap Cindy sambil menyodorkan cangkir kepada Laura seperti anak kecil.

Laura tersenyum samar kemudian mengambil cangkir itu.

"apa menyenangkan menjadi sekretarisnya? berada disisinya dua puluh empat jam, ditambah serumah dengannya, pasti menyenangkan bukan?" tanya Cindy. Ucapannya terdengar mengintimidasi.

Laura melambatkan gerakannya yang sedang membuka bungkus teh saring. Sepertinya Laura menyadari kemana arah pembicaraan Cindy.

"ini hanya pekerjaan, tidak ada yang begitu menyenangkan dari itu" jawab santai Luara dengan tetap mempertahankan senyum ramahnya.

"apa duduk dipangkuannya juga menjadi keharusan dalam pekerjaan yang kau maksud itu?" timpal Cindy. Suaranya terdengar bergetar menahan amarah.

Laura membelalakkan matanya, "kau...."

"ya! aku melihat yang kalian lakukan tadi!" sergah Cindy sebelum Laura menyelesaikan ucapannya. 

Laura berusaha untuk tidak membalas ucapan Cindy dengan amarah atau pun terlihat menyedihkan, "aku tidak dapat menjelaskan yang terjadi di sana. Aku tau kau tidak akan bisa menerima ini dengan mudah, tapi aku harap kau berbesar hati memaafkanku"

Suasana menjadi sunyi tiba-tiba, Laura melihat Cindy menggenggam tangannya seolah tangan itu bersiap mendarat di wajah Laura,

"ini tehmu. Hati-hati masih panas" ucap Laura memecah kesunyian itu sambil meletakkan teh Cindy disampingnya. Sekilas Ia menangkap amarah Cindy yang tertahan tersirat dari wajahnya yang memerah.

Laura bergegas meninggalkan ruang Pantry itu dan kembali ke ruangan Deanis. 

Nafasnya memburu seiring dengan langkahnya yang semakin cepat. Laura tau seseorang membuntutinya. Ia yakin orang itu adalah Cindy. 

'sedikit lagi' batin Laura ketika melihat pintu ruangan Deanis sudah terlihat jelas. 

Byuuurrr!!!!

Teh panas itu beserta cangkirnya berhasil mendarat diwajah cantik Laura. 

***

The Boss: When A Man Fallin Love - COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang