8

3.5K 93 0
                                    

Huf! huf! huf! huf! huf!

Suara hentakan nafas Laura memecah kesunyian pagi ini. Nafasnya memburu mengikuti derap langkah kaki yang semakin cepat.

Pagi ini cukup cerah. Laura memutuskan untuk jogging setelah cukup lama Ia rehat dari kegiatan yang amat Ia suka itu. 

Setelah pagi yang erotis itu, pagi Laura tak lagi tenang seperti hari ini. Setiap Ia membuka mata, Deanis sudah berada di sisinya dengan tatapan lapar. Tubuh Laura sudah menjadi santapannya setiap pagi. Laura bahkan sudah jarang punya waktu lebih untuk berdandan karena Deanis telah mencuri waktu yang tersisa itu.

"hah hah hah hah" nafas Laura semakin berat.

Mendadak Ia berjongkok menekan dadanya, "aku tidak sanggup lagi"

Ia berdiri perlahan sambil menekan kedua lututnya. Lalu dengan sempoyongan melangkahkan kaki untuk kembali ke rumah.

"Deanis... " bisik Laura pada bebatuan yang Ia injak.

Sudah lima hari Deanis meninggalkan Laura sendiri dirumah itu. Ia melakukan perjalanan bisnis ke Jerman karena ada hal mendesak untuk di selesaikan. Laura ingat terakhir kali pria itu mencium keningnya dengan lembut dan memintanya untuk menunggu. Dan menurut Dony, lusa pria itu akan kembali.

Laura menggigit bibirnya. Tiba-tiba saja Ia rindu akan sentuhan lembut Deanis di bagian itu. Tatapannya mulai kosong membayangkan dengan jelas betapa seksi pria yang telah menjadi idamannya itu.

Plak!

Suara tamparan keras. Laura sendiri yang melakukan itu pada pipinya ketika Ia menyadari pikirannya sudah semakin erotis. Selain itu, hubungan yang mereka jalani saat ini belum jelas, meskipun Deanis sudah sempat menyatakan perasaannya.

"apa yang aku pikirkan?! Tidak tidak! Tidak boleh begini! Aku harus mengembalikan otakku yang suci" omelnya.

Laura kembali berlari dengan cepat untuk mengalihkan pikirannya. Namun baru beberapa langkah, nafasnya tersentak.

"AAARGH!" ia spontan berteriak pelan ketika melihat sosok tampan yang sudah tidak asing baginya.

Deanis mengenakan kaos putih yang membentuk lekuk indah dadanya serta celana pendek hitam, berlari pelan ke arah Laura yang terpaku.

"Deanis... " bisik Laura. Namun sudah jelas hanya Ia yang bisa mendengarnya. Baru beberapa detik yang lalu Ia merindukannya kini pria itu sudah kembali ke hadapannya.

Laura memegang pipinya yang mendadak terasa panas. Di saat yang sama Deanis semakin dekat.

"tidak boleh begini" Laura berlari berusaha menjauhi Deanis. Ia tidak ingin pipi yang merah dilihat oleh pria itu. Selain itu, Laura belum punya jawaban untuk 'PR' yang diberikan pria itu.

"mau menghindariku?!" teriak Deanis.

Laura semakin panik berusaha untuk tak menghiraukan teriakan itu. Ia semakin mempercepat langkahnya.

"berhenti atau kau akan menyesal!" teriak Deanis sekali lagi dan kali ini terdengar mengancam.

Dan tentu saja, Laura menghentikan langkahnya. Ia tau betul pria yang berteriak itu tak main-main dengan ancamannya. Dalam keadaan begini, menghindar pun tak ada arti. 

Perlahan Laura membalikkan tubuhnya, "Deanis? Kau kah itu?" wajah Laura tampak bingung. "Maaf ku fikir kau orang lain." terang Laura, jelas itu hanya kepura-puraan yang tidak mungkin tidak Deanis sadari.

"cih! Bisa bisanya kau tidak mengenali kekasihmu" ejek Deanis sambil berjalan santai mendekati Laura.

Seketika Laura teringat pada pernyataan cinta Deanis.  

"aku tidak pernah mengatakan yes" balas Laura datar, "setidaknya belum" bisiknya kemudian yang tak dapat dijangkau oleh pendengaran Deanis

Deanis tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia menatap penuh tanya pada Laura. Sebaliknya, Laura berusaha keras untuk terlihat datar dengan wajah manis itu.

"apa kau menginginkan sesuatu yang lain?" Deanis tampak serius dengan pertanyaannya.

Laura ragu harus menjawab apa. Sejujurnya tidak ada satu pun alasan bagi Laura untuk menolak menjadi kekasih pria sempurna itu. Apa lagi sekarang tubuh pria itu menjadi candu baginya. Tapi entah mengapa, keraguan terus saja mengikut setiap Ia bersama pria itu.

Laura menggeleng, "aku tidak butuh apa pun."

Keduanya sunyi setelah itu.

"aku sengaja kembali ke sini lebih cepat karena tak sabar mendengar jawabanmu" terselip nada kecewa dalam ucapan Deanis.

Laura tertunduk, tak mampu menatap mata yang menyiratkan kecewa itu, "kau terlalu sempurna. Itu membuatku ragu, apa aku pantas berada di sampingmu, apa aku mampu"

Laura mengepal kedua tangannya. Entah Deanis mendengar atau tidak jawabannya, yang jelas Deanis pun tak menyanggah saat ini.

"Laura..." bisik Deanis.

Mendengar bisikan itu spontan Laura mengangkat kepalanya karena kaget. Rupanya pria itu sudah berdiri tepat di depan Laura.

Deanis tak mampu menatap mata sendu Laura, akhirnya menarik wanita itu ke dalam pelukannya.

"maafkan aku membuatmu berfikir terlalu keras" ucap Deanis sambil mengelus rambut panjang Laura yang terikat, "kau tidak perlu mengambil beban sebanyak itu, cukup katakan kau bersedia, aku akan mengurus sisanya"

Laura masih diam. Dadanya terasa berat mendengar kata-kata itu. Ia tau Deanis sanggup melakukan segalanya. Karena segalanya mudah bagi pria itu. Tapi bagaimana dengan Laura?

Haruskah aku memperlihatkan padamu, baru kau mengerti?' keluh Laura dalam hati. Ia menutup matanya merasakan pelukan hangat itu kini menusuk pernafasannya.

***

The Boss: When A Man Fallin Love - COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang