18

2.1K 58 0
                                    

Aku ingin tidur sendiri malam ini!

Begitulah kira-kira ucapan Laura ketika sampai di rumah tadi malam. Deanis bahkan belum sempat menyanggah, tapi Luara sudah melepaskan diri dari pelukannya dan mengunci rapat kamar itu.

Deanis hanya mengalah tak berbuat apa pun, mengingat kondisi Laura yang sangat lemah. Padahal Ia sangat ingin menghabiskan malam tadi dengan memeluknya.

"selamat pagi, Pak" sapa Dony ketika Deanis baru saja akan melangkahkan kakinya menuju kamar Laura.

"tunggu disini sebentar. Aku harus melihat Laura dulu" perintah Deanis sambil mengancing jas hitam yang sangat pas di tubuh seksinya itu.

"maaf, Pak. Tapi Laura sudah keluar lebih dulu. Saya pikir Ia sudah mengatakannya" ucap Dony ragu. Mata tajam Deanis tidak menunjukkan bahwa Ia sudah mengetahui itu sebelumnya.

Deanis mengambil android dari tangan Dony, kemudian menekan nomor Laura dan memanggilnya, "nomornya tidak aktif, kemana dia pergi?!" bentak Deanis kemudian.

Dony sedikit terkejut dengan tindakan Deanis, apa lagi yang salah dengannya pagi ini. "Laura pergi ke Hotel Diamond untuk memeriksa persiapan terakhir acara nanti malam. Ia berangkat pagi sekali karena harus segera melapor pada anda" jelas Dony

Deanis memijit kepalanya, Ia sudah bertindak berlebihan. Wanita itu tidak akan meninggalkannya. Mengapa Ia selalu ketakutan, "kirim supir untuk menjemputnya"

"baik Pak" jawab Dony. Tanpa diperintahkan pun Dony sudah menyiapkan itu. Bawahannya itu bukan lagi karyawan biasa, mana mungkin Dony melepaskannya pergi seorang diri tanpa pengawal dan supir.

Deanis masih berusaha keras menenangkan dirinya, namun tetap saja Ia gelisah.

Aksi bunuh diri Cindy yang tampak sangat mengguncang Laura. Ia takut wanita itu menyerah karena rasa bersalah kemudian meninggalkannya.  Itu mungkin saja terjadi mengingat tingkah Laura menghindar darinya sejak keluar dari rumah sakit kemarin.

***

Setelah dua jam menunggu di ruangannya, akhirnya bayangan Laura tampak melintas dari kaca ruangan itu.

Ia menahan diri untuk menemui wanita itu. Takut Laura risih dengan sikap posesifnya.

Tok tok tok

Laura mengetuk pintu. Spontan Deanis membuka sembarang map di mejanya, agar Ia tidak dipergoki membuntuti Laura dengan matanya.

"selamat pagi, Deanis" sapa Laura semeringah.

"oh. Kau rupanya" Deanis berpura-pura tidak mengetahui kedatangannya.

Basa basi itu ternyata hanya menjadi hembusan angin bagi Laura, "ini laporan untuk acara nanti malam." ucap Laura sambil menyodorkan sebuah map hitam ke meja Deanis. "saya permisi dulu" lanjutnya.

Apa-apaan ini?! Itu saja?! Apa tidak ada yang menceritakan padanya bahwa Ia hampir mencakar Dony karena Laura pergi tanpa ijin darinya pagi ini.

"kau sudah mau pergi?" tanya Deanis ragu-ragu. Ia terpaksa menahan egonya.

Laura membalas tatapan Deanis dengan bingung, "jika anda butuh sesuatu, telpon saja" jawab santai Laura.

Lagi-lagi Laura membalikkan punggungnya hendak meninggalkan ruang itu. 

Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika dirasakan bahunya semakin berat oleh sepasang lengan yang melingkar kuat disana, "apa yang kau lakukan?" tanya Laura dengan dingin.

"aku merindukanmu" jawab Deanis tanpa malu. Memang itulah kenyataannya. Ia sudah rindu setengah mati pada wanita itu.

Sungguh, berat bagi Laura mengabaikan itu. Nyatanya Laura juga merindukan pria itu. Tapi Laura tidak cukup kuat untuk membalasnya karena bayangan mayat Cindy selalu terlintas setiap Ia menatap Deanis.

"apa aku harus telanjang disini? Sekarang juga?" kata-kata dingin itu begitu saja tersembur dari mulut Laura.

Deanis tak menjawab. Ia ragu dengan apa yang baru saja  didengarnya. Benarkah Laura bersikap dingin padanya.

Ia mengetatkan pelukannya, "apa yang begitu membebanimu sampai bersikap begini?"

"bisakah kau lepaskan saja pelukanmu dan biarkan aku kembali bekerja?" Laura masih dingin. Ia tak kan sanggup menyuarakan isi pikirannya meskipun ingin.

Lama Deanis terdiam.

Lalu akhirnya memutuskan melepas pelukannya itu.

"apa pun yang ingin kau ketahui tentang aku, tanyakan saja. Aku tidak akan menutup-nutupinya. Jangan terus kau pikirkan keraguan itu, karena percuma saja. Aku tidak akan melepaskanmu!" bisik Deanis diantara sela-sela rambut Laura yang menutupi telinganya.

Nafas Deanis terasa hangat menyentuh kulit sensitif Laura. Ia memejamkan matanya, berusaha menahan birahi yang mulai kembali. Benar yang dikatakan Deanis, selama jantungnya masih berdebar mendamba cinta pria itu, percuma saja Ia bersikap ragu-ragu.

Laura berbalik menghadap Deanis yang masih merindukannya. Begitu pula Laura.

Ia memberanikan diri menatap mata pria itu. Sekilas Ia melihat betapa sedih tatapan pria itu. Namun Ia tak dapat menatap banyak, karena lagi-lagi bayangan Cindy menakut-nakutinya.

Deanis mengangkat dagu Laura yang tertunduk. Melihat kening Laura yang berkerut, Ia yakin Laura sedang menahan sesuatu.

Lembut Deanis mengecup bibir manis Laura, "percayalah padaku" ucap Deanis dengan bibir yang masih saling bersinggungan.

***

The Boss: When A Man Fallin Love - COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang