21

2K 64 0
                                    

Laura belum berganti pakaian. Ia masih menggunakan gaun yang sama. Malam sudah larut tapi hatinya semakin gelisah.

Ia duduk di taman buatan rumah itu. Dagunya bertumpu pada sepasang lutut yang terlipat didadanya.

Mencintainya pastilah bukan hal yang mudah. Tapi melepaskannya juga hal yang sulit. Bagaimana dengan mencintai sekadarnya seperti yang Jessica sarankan?

Laura terus memikirkan hal ini. Ia sangat takut jika Laura menjadi korban Deanis selanjutnya. Tapi masalahnya, Deanis terlihat tulus padanya. Inilah yang membuat keraguan bagi Laura.

"aku sudah siap jika kau punya pertanyaan" ujar Deanis tiba-tiba.

Mereka memang pulang terpisah dari pesta tadi. Karena Deanis ada urusan mendadak dengan salah satu kliennya.

"ya. Aku punya banyak pertanyaan" akhirnya mulut Laura bersuara. Matanya menajam.

Deanis tidak terkejut dengan jawaban Laura. Ia melihat Jessica menghampirinya tadi, sudah jelas pikiran Laura akan terganggu karena racun wanita itu. Tapi Ia bersyukur bahwa wanita pujaannya ini cukup terbuka.

"kau ingin aku mulai dari mana? Jessica atau Cindy?" tanya Deanis seolah dapat membaca rasa penasaran Laura.

"hmm.." Laura tampak menimbang, sikapnya begitu santai meskipun hatinya tidak, "entahlah. Keduanya sama saja"

"baiklah. Biar aku yang putuskan" jawab Deanis cepat, Ia tak sabar untuk menuntaskan masalah ini.

"Cindy adalah karyawan magang ketika aku baru masuk keperusahaan itu. Aku tidak mengenal begitu banyak orang di perusahaan ini dan semua orang terkesan tertutup. Hanya Cindy yang saat itu bersikap apa adanya. Lalu kami menjadi dekat sebagai teman. Beberapa orang salah paham terhadap kedekatan kami, lalu pamanku akhirnya mengirimku kembali ke Jerman untuk belajar bisnis. Hubungan kami berakhir disana" jelas Deanis.

Laura mengangguk. Pantas saja Cindy begitu terobsesi pada Deanis. Ternyata mereka memang seakrab itu. Bagi wanita, tidak ada kata pertemanan antara pria dan wanita.

"Lalu Jessica." Deanis tertunduk lemah. "itu adalah murni kesalahanku"

Laura tampak kaget dengan sikap Deanis dihadapannya. Jessica adalah kesalahannya? Jadi yang dikatakan Jessica benar?

"kita lanjutkan nanti saja" pinta Laura karena tak sanggup melihat Deanis begini. Ditambah ketakutannya jika benar Deanis punya sisi kejam.

"tidak perlu. Aku ingin segera mengakhiri keraguanmu. Karena aku tidak suka bertele-tele."

Laura hanya diam mendengar ucapan Deanis. Semua ini karena Laura yang terus meragukan cinta Deanis.

"Jessica adalah kesalahan terbesar yang pernah kulakukan. Jujur saja, aku bukanlah pria baik-baik. Wanita dan seks adalah relaksasi terbaik untukku ketika lelah dengan semua pekerjaanku." jelas Deanis.

Laura menelan pahit liurnya.

"sampailah di suatu malam, aku sangat mabuk. Dan Jessica, wanita yang tidak sengaja mengantarku ke kamar club itu menjadi korban gairahku. Aku menidurinya. Dan ketika pagi hari aku melihat darah di ranjang itu, baru aku menyadari Ia bukan wanita yang biasa bermalam denganku untuk uang. Aku meninggalkannya disana, dengan harapan kami takkan bertemu lagi. Apa dayaku, dihari yang sama kami ditakdirkan untuk bertemu kembali karena ternyata dia adalah anak dari rekan bisnisku. Aku mengabaikannya, berpura-pura tidak mengenalinya." lanjut Deanis.

Tidak ada sedikitpun simpati dalam tatapan Laura. Memang benar bahwa Deanis tidak lebih dari seorang bajingan.

"Sejak hari itu, aku bahkan tidak pernah mencium wanita manapun. Sampai aku bertemu dirimu. Kau satu-satunya wanita yang membuatku penasaran hanya dari mencium aromamu yang manis. Kau satu-satunya yang bersikap apa adanya padaku walau kita baru beberapa jam bertemu. Senyummu, pipimu yang merona, tiba-tiba menjadi candu."

Deanis menatap dalam mata Laura, agar wanita itu dapat melihat ketulusannya.

Lalu tanpa diduga, Deanis berlutut dengan kedua kakinya dihadapan Laura, "aku merasa sedang menerima hukuman karena telah menyakiti hati wanita. Kau punya hak untuk meninggalkanku kapan saja jika kau benar ingin menghukumku karena itu. Tapi aku memohon agar kau percaya pada satu hal...."

"... Kenyataan bahwa aku mencintaimu" lanjutnya.

Laura tertegun pada kesungguhan Deanis. Ia melihat mata itu, sulit menemukan keraguan atau kepura-puraan di dalamnya. Melihat pria yang juga Ia cintai tertunduk dihadapannya, membuat hati Laura hancur.

"apa yang kau lakukan, Deanis? Kau tidak perlu begini. Aku tidak akan pernah bisa memaafkan masa lalumu..." ucap Laura yang juga berlutut berusaha membangunkan Deanis. "...karena bukan hak ku untuk menerima itu" lanjut Laura.

"aku bukan bagian dari masa lalumu. Juga bukan bagian dari kesalahanmu. Aku adalah masa depanmu"

Deanis mengangkat kepalanya. Melihat senyum manis Laura yang menghiburnya. Wanita ini, memang besar hatinya.

"maukah kau menikah denganku?" tanya Deanis tiba-tiba.

Laura hampir tersedak nafasnya sendiri karena lamaran itu. Spontan Laura memukul bahu Deanis, membuat pria itu hampir tersungkur.

"aku serius Laura. Ku mohon hiduplah bersamaku" pinta Deanis untuk kedua kalinya.

Laura sungguh ingin tertawa keras namun Ia masih menahannya. Deanis memang pria yang selalu buru-buru.

"kalau begitu....." Laura menyodorkan tangan kanannya.

Deanis lama terdiam menatap tangan itu tak mengerti.

"cincin" bisik Laura memberi kode.

"apa itu ..... artinya Yes?" tanya Deanis ragu.

Laura mengangguk tanpa berkata apa pun.

Deanis lalu tersenyum semeringah, kemudian merogoh saku jasnya mencari keberadaan cincin yang telah Ia siapkan.

"jangan bilang kau menghilangkannya" ledek Laura, "masih ada waktu untuk berubah pikiran"

Wajah Deanis panik, "aku ingat menaruhnya di sini"

Lalu Deanis berdiri membelakangi Laura mencari-cari di kursi tempat Ia duduk tadi.

Laura masih terkekeh melihat tingkah panik Deanis, "sudahlah, aku masuk saja"

Laura berbalik membelakangi Deanis yang sibuk kesana kemari mencari cincin yang entah dimana pria itu jatuhkan. Ia sungguh-sungguh hendak kembali ke kamarnya.

Lalu langkahnya terhenti karena tangannya merasakan sesuatu, ternyata Deanis menahannya.

Pria itu menggapai jari Laura dengan lembut, kemudian mengecup pelan puncaknya. Lidahnya melukis garis lurus menuju ujung jari manis Laura.

Saat sampai disana, Laura dibuat terkejut oleh Deanis yang mengeluarkan cincin dari mulutnya dan memasangkan cincin itu sekaligus.

Laura tak mampu lagi menahan tawanya, "kau sungguh erotis, Deanis"

***

The Boss: When A Man Fallin Love - COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang