20

2K 63 0
                                    

"mantan Deanis"

Suara itu tidak terdengar ramah lagi Laura.

Memang bukan hal yang mengagetkan mengetahui bahwa Deanis punya mantan secantik itu. Tapi melihat bagaimana wanita itu menatap Laura, jelas ada sesuatu diantara mereka yang lebih dari sekedar mantan.

"sudah berapa lama kalian hubungan?" tanya Jessica gamblang.

"belum lama, kurasa belum satu bulan" Laura tak berusaha menjawab pertanyaan itu dengan tepat, karena hati Laura menangkap sesuatu seperti mengintimidasi dirinya.

"Deanis tidak berubah, Ia suka terburu-buru" ledek Jessica.

Laura belum dapat menyahut terlalu banyak, Ia tidak tau wanita seperti apa Jessica ini. Mengingat bagaimana obsesi Cindy, tampaknya wanita ini juga salah satu korban Deanis.

"kau mencintainya?" tanya lagi Jessica, sepertinya wanita ini sangat penasaran dengan Laura.

"sedang ku pertimbangkan" Laura tersenyum miring.

Jawaban Laura akhirnya membuat Jessica tertawa. Suara Deanis yang sedang berpidato terdengar samar karena tawanya.

"baguslah jika kau masih bisa menahannya." ucap Jessica tiba-tiba.

Laura tak menyanggah, Ia berusaha mendengarkan karena Jessica sepertinya akan bercerita tanpa ditanya.

"pria disana pernah membuatku jatuh cinta pada malam pertama kami bersama. Lalu dimalam kedua Ia melupakan segalanya. Padahal aku baru saja menyerah untuk pertama kalinya pada pria" Jessica berkisah sambil menatap Deanis yang jauh di sana.

Laura tau betul maksud Jessica. Seketika dadanya terasa aneh. Sedikit panas.

"pria itu sangat dingin. Kau harus berhati-hati jika sudah memutuskan untuk mencintainya"

Tidak. Itu bagian yang salah. Begitulah naluri Laura berkata. Deanis tak pernah bersikap dingin padanya. Justru pria itu semakin hangat.

"kau tidak percaya? Saat ini Ia mungkin mati-matian menahan egonya untuk mendapatkanmu. Tapi itu tidak akan bertahan lama. Taruhan padaku, Ia tidak akan pernah menikahimu"

Jessica semakin beramarah ketika mengatakan itu. Laura hanya menatap datar pada Jessica. Bukannya tak percaya, hanya saja hal itu terlalu menakutkan jika benar seperti itu Deanis yang sesungguhnya.

"cintai dia sewajarnya, lalu pergi. Begitu lebih baik sebelum Ia meninggalkanmu"

Jessica berdiri dari tempatnya meninggalkan Laura dalam kekalutan pikirannya.

Laura tampak terpaku untuk beberapa saat karena nasihat Jessica.

"suatu hari... "

Suara Deanis menuntun mata Laura menemukan sumber suara itu.

"suatu hari aku bertemu dengan seorang teman. Setelah bertahun-tahun bersahabat, aku tidak tau Ia mengidap kanker stadium 4 dikepalanya..."

Laura menatap Deanis bingung, kata-kata itu tidak ada dalam naskah pidato yang ditulisnya.

"lalu suatu hari, tepat sehari sebelum Ia dioperasi, kami duduk dibangku rumah sakit. Ia bertanya apa kau ikhlas dengan uang yang kau berikan? Aku masih mengingat dengan jelas bahwa aku menjawab ya. Tapi keesokan harinya, aku menemukan Ia duduk didepan ruang tunggu operasi sementara seharusnya Ia yang dioperasi saat itu."

Ruangan seketika hening, kisah Deanis menarik perhatian ratusan pasang mata disana.

"anak ini akan memiliki masa depan jika kita menyelamatkannya. Aku tetap akan menghadapi kematian sekalipun menjalani operasi hari ini. Begitulah ia menjawab ketika aku bertanya. Lalu kami bersama menunggu hasil operasi. Tepat ketika dokter memberi kabar baik, saat itu juga temanku satu-satunya meninggal dunia."

Laura mendengar seseorang terisak tak jauh darinya.

"penggalangan dana ini akan terus ada setiap tahunnya. Untuk memberikan masa depan pada anak-anak disana" tunjuk Deanis pada anak-anak penderita kanker yang hanya terduduk lemah di kursi mereka.

Tepuk tangan yang lebih bergemuruh di banding sebelumnya membuat Laura tak sengaja meneteskan air matanya.

Laura ingat saat rapat pertama Ia terlibat langsung bersama Deanis untuk menyiapkan acara ini. Laura dengan lantang menyebut acara ini semata keperluan bisnis dan tentang wajah perusahaan. Saat itu Deanis sama sekali tidak membantah. Andai hari itu Deanis menceritakan kisah ini, mungkin Lauralah yang lebih dulu akan jatuh cinta padanya.

Ketika turun dari panggung megah itu, Deanis disambut oleh pelukan hangat dari anak-anak yang pucat pasi itu. Mereka menunggu disana dengan tubuh yang gemetar karena lemah.

Pemandangan itu semakin menyentuh Laura, betapa Ia beruntung memiliki kesempatan untuk mencintai dan dicintai pria sesempurna Deanis.

Sekilas Deanis menangkap senyum manis wanita yang menunggunya jauh di sana. Untuk pertama kalinya Ia sangat ingin seorang wanita melihat dirinya yang sebenarnya.

***

The Boss: When A Man Fallin Love - COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang