14

2.4K 66 0
                                    

"harus ku sebut apa wanita rendah sepertimu?!" bentak Cindy begitu Laura terjerembab menahan pedih diwajahnya.

Suara lantang Cindy berhasil menarik perhatian para karyawan lain di sana. Menyadari tindakannya mengundang perhatian, Cindy tersenyum menang.

'Jika aku tidak bisa mendapatkannya, maka kau juga tidak!' gumam Cindy dalam hati.

"baguslah kalian semua kemari" ucap Cindy pada karyawan yang mengintip ragu disana. "apa kalian tau? Wanita ini sudah menggoda atasan kita!"

Orang-orang mulai berbisik menatap hina pada Laura. Ia masih meringis menahan luka bakar yang membakar pipinya, tapi ada sakit yang sampai membuatnya meneteskan air mata. Hatinya terasa hancur dipandang hina oleh orang-orang disana.

"aku sudah selesai dengan tugasku" bisik Cindy pada Laura dengan tatapannya yang tajam, "mereka disana yang akan melanjutkan hinaan ini sampai kau menyadari tempatmu!"

Cindy kemudian bangkit, membalikkan punggungnya dan menjauh dari Laura. Ikut berdiri diantara kerumunan mata yang menatap Laura dengan penuh kehinaan.

Laura tak sanggup menahan derai air matanya, dadanya sesak sehingga lidahny kelu tak mampu membela diri.

"apa yang kalian lakukan?!" suara bas Deanis mengejutkan mereka.

Deanis mengangkat tubuh Laura dengan kedua tangannya. Ia melihat wajah Laura yang tampak membalam merah karena luka bakar.

Disaat yang sama,  Dony sampai disana dengan terjengah-jengah karena segera berlari kemari setelah salah satu karyawannya menelpon.

Deanis terlihat sedih menatap Laura yang lemah dalam pelukannya. Wanita cantik itu hanya mampu meneteskan air mata.

"serahkan surat pengunduran diri mereka padaku dalam satu jam!" perintah Deanis pada Dony dengan matanya yang memerah tajam.

"baik, Pak" jawab tegas Dony.

Deanis melewati kerumunan itu. Samar-samar Ia mendengar karyawan yang panik karena dipecat saat itu juga. Deanis yang sejatinya sangat peduli dengan kesejahteraan karyawannya, kini memandang sebelah mata mereka karena perilaku yang rendah itu.

Sementara Laura masih tersedu-sedu didada Deanis. Belum pernah Ia merasa seterhina ini dalam hidupnya.

***

"kau tidak perlu khawatir, luka itu akan sembuh dalam beberapa hari. Pastikan saja mengoleskan obatnya dan tidak terkena air." jelas Dokter Mery pada Deanis.

Meski dokter itu memintanya tak khawatir, Deanis tetap saja terlihat begitu cemas. Karena Ia tau, bukan luka itu yang membuat Laura kesakitan.

"kalau begitu saya permisi pak Deanis" pamit dokter itu.

"terima kasih, Dok. Mari saya antar" sahut Deanis sopan. Laura masih tertidur terakhir kali Deanis lihat saat menutup rapat pintu kamarnya.

Mendengar langkah Deanis yang semakin menjauh, Laura membuka kedua matanya. Ia duduk membungkuk dengan kedua tangannya menopang beban tubuhnya. 

Akhirnya, apa yang ditakutkan oleh Laura terjadi. Seperti yang pernah Ratih katakan, Ia hanya perlu menghadapinya saat ini. Lalu bagaimana Laura menghadapinya.

"kau sudah sadar?" tanya Deanis, bergegas mendekati Laura saat wanita itu membalas tatapan cemasnya.

Laura mengangguk dan tersenyum manis seperti biasanya. Melihat itu, jantung Deanis terasa berdetak kembali.

"apa kau benar-benar akan memecat mereka?" tanya Laura tanpa basa basi.

"ku mohon jangan membahas itu. Biar aku selesaikan sendiri" sahut Deanis.

"ini bukan masalahmu sendiri. Ini berhubungan dengan hidupku. Kenapa jadi kau yang harus menyelesaikannya sendiri?"

Pertanyaan Laura terdengar kasar ditelinga Deanis. Wanita ini, tidakkah Ia tau betapa Deanis mencemaskannya.

"aku ingin kau mengembalikan surat pengunduran diri mereka, mereka tidak bersalah!" tegas Laura.

Deanis menarik nafasnya dalam-dalam agar tidak terpancing emosinya, "apa kau tidak keberatan bekerja dengan mereka yang memandangmu rendah?"

"itu hanya salah paham, mengapa kita tidak mencoba mengerti? Kita tidak sama dengan mereka yang dengan mudah memandang orang dengan sebelah mata. Kita hanya perlu menjelaskan semuanya." jelas Laura, memohon agar Deanis membesarkan hatinya.

Deanis sendiri tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Wanita ini berhati besar. Dari perut wanita mana Ia lahir dengan kepekaan sebesar itu, "aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu"

Laura tertawa, Ia tau ia telah memenangkan hati pria itu, "kau lebih mengerti dari aku. Kau hanya buta karena amarahmu" jelas Laura.

Tatapan Laura yang lembut sungguh membuat hati Deanis luluh. Amarahnya perlahan hilang dan logikanya mulai mempertimbangkan ucapan Laura.

Deanis meraih dan menyapu lembut wajah Laura yang masih memerah dengan jarinya, "baiklah, kita ikuti perkataanmu. Tapi tidak untuk nenek sihir yang melakukan ini pada wajahmu!"

Laura semeringah, lalu mendekap erat tubuh besar itu, "terima kasih"

***

The Boss: When A Man Fallin Love - COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang