Dia gila

1.2K 169 36
                                    


 'Kau menyebalkan namun untuk  sebuah alasan, aku menyukainya'  

"Kau harus menjadi pembantuku." ucap Jimin santai sembari menyunggungkan senyum super menyebalkan. Jeongyeon membulatkan maniknya, hey! Pemuda itu hanya memberinya satu cup ramyeon dan dia harus membayarnya dengan ini? Tidak adil!

"Aku bisa membayar ramyeon yang kau berikan berlipat lipat dari harga aslinya, bodoh!" Jeongyeon merogoh dompetnya, tidak. Tentu saja dia tidak mau menuruti maksud manusia jadi jadian didepannya ini. Maksudnya, siapa yang mau merendahkan harga dirinya menjadi pembantu hanya karena ramyeon?

Meski menjadi pembantu seorang pemuda dengan paras super tampan. Tetapi apapun itu Jeongyeon tidak peduli, pemuda didepannya itu benar benar gila.

"Hey Nona, aku tahu kau bisa mengganti harga ramyeon itu berpuluh puluh lipat tetapi bukan itu yang aku mau." pemuda itu menahan tangan Jeongyeon membuat gadis mungil itu mau tidak mau harus mendongak menatap sang empunya wajah menyebalkan. Sungguh Jeongyeon ingin melempar sandal ke wajah pemuda itu.

"Lalu mengapa kau memintaku menjadi pembantu mu? Aku tidak mau, bodoh!" Nada suara Jeongyeon terdengar ketus.

Jimin justru terkekeh pelan, dia benar gila ya? Tertawa sendiri seperti itu. "Aku tidak mempermasalahkan harga ramyeon itu, aku hanya mempermasalahkan kelakuanmu. Ingat bukan kau melemparkan ramyeon ke arah wajahku lalu menyebutku 'ladyboy''

Ck.. sialan. Jeongyeon lupa jika dia sempat memaki pemuda itu. Lagipun itu bukan salah Jeongyeon bukan? Dia yang merebut ramyeonnya, dan bodohnya lagi mengapa gadis itu mau saja memakan ramyeon pemberian Jimin.

"Bukankah aku cukup baik memberimu ramyeon, gadis yang jelas jelas memaki ku. Jadi.. apa salahnya aku meminta sedikit balasan?" Sambung Jimin, mengapa intonasi pemuda itu selalu terdengar semakin menyebalkan setiap katanya?

Jeongyeon rasanya ingin menendang pemuda itu jauh jauh. Wajahnya menyebalkan -meski jujur saja lekuk wajah Jimin sempurna- di mata Jeongyeon.

"Tidak! Aku tidak mau menjadi pembantumu. Dan soal tadi aku minta maaf. Selamat tinggal!" Jeongyeon beranjak dari duduknya hendak melangkahkan kakinya sebelum Jimin terlebih dahulu mengintrupsi langkahnya.

"Baik, tidak masalah. Aku hanya ingin mengingatkan bahwa aku satu satunya siswa dikelas yang mau menjadi kelompokmu. Bisa saja aku mencari kelompok lain dan dapat aku pastikan tidak ada yang menolakku." pemuda itu berkata dengan entengnya. Jeongyeon menghentakkan kakinya lalu berbalik menatap Jimin yang masih setia berdiri duduk ditempatnya.

"Kau memang sialan."

. . . . . . . . . . . . .

Pagi ini seperti biasa Jeongyeon sudah rapi dengan seragam yang membalut tubuhnya. Paras cantik gadis itu diberi sapuan make up natural membuatnya terlihat semakin cantik. Dia bergegas menuju meja makan, meminum susu dengan tergesa lalu mengambil sepotong roti dan dijejalkannya begitu saja dimulut mungilnya.

"Jeongyeon, kau tidak makan dulu? Ini masih pagi" tegur Ny. Yoo, pasalnya wanita paruh baya itu heran dengan sikap anaknya pagi ini yang bersiap lebih pagi dari biasanya.

"Akwu swudawh tewrlawmbat. Akwu berawngkawt duwlu!" Ucap Jeongyeon tidak jelas karena roti yang masih menyumbat mulutnya, gadis itu bergegas memakai sepatu dan memegang rotinya berusaha untuk mengunyahnya perlahan.

Bagaimana tidak pagi pagi sekali pemuda menyebalkan bernama Park Jimin itu sudah menelponnya, berkata bahwa dalam 15 menit gadis itu harus siap atau pemuda itu akan menambah jangka waktu 'menjadi pembantu' yang baru saja dia mulai hari ini.

EUPHOBIA [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang