Mengenai takdir

246 51 9
                                    

Saya tuh paham banget kalian udah mulai males sama cerita ini karena pengembangan konflik yang ga mateng, karakter yang cenderung pasif, ditambah lama nya saya update cerita yang bikin kalian udah ngga feel.

Jujur saya juga capek nerusinnya.. tapi makasih banyak ya buat yang masih bertahan baca

______________________

  Jimin terlihat melenggang begitu saja setelah selesai dengan acara membasuh tubuhnya, kini dia juga telah rapih dengan pakaian santai. Pemuda itu tampak berjalan ke tempat dimana seharusnya Jeongyeon berada, namun netra miliknya menangkap sosok si gadis yang terlihat berdiri mematung.

"Jung, sedang apa? Ayo pulang, aku sudah selesai."

Namun perkataan Jimin tampaknya tidak sukses masuk ke Indra pendengaran Jeongyeon karena gadis itu sama sekali tidak bergeming, maniknya kosong menatap selembar potret lusuh yang tergeletak tidak jauh dari tempat Jeongyeon berdiri. Karena rasa penasaran nya, Jimin berjalan mendekati Jeongyeon guna melihat objek yang kini rendah ditatap Jeongyeon itu.

Sesaat kemudian jantung Jimin seakan berhenti berdetak, rasanya semesta akan hancur sepersekian detik ke depan, bahkan pemuda itu tidak mengerti apakah hari ini dia masih diperkenankan untuk bernafas. Didepan sana..

"F-foto itu.. bagaimana bisa itu masih ada?"

Jimin tampak bergumam dengan terbata, namun suara Jimin kali ini justru berhasil tertangkap rungu Jeongyeon. Gadis itu sontak menoleh ke arah Jimin dengan manik memerah, beberapa menit sebelum-sebelumnya ternyata gadis itu telah menangis. Entah sejak kapan, yang jelas disana, dimanik Jeongyeon terpatri jelas kebingungan, ketakutan, juga amarah.

Kali ini Jimin takut.. Jimin terlalu takut. Meskipun dia tidak yakin dengan perasaan nya dan berharap apa yang dia pikirkan adalah mimpi buruk yang tidak akan pernah terjadi.

"Jadi kau adik Namjoon, Jim? Selama ini kau tahu orang yang aku ceritakan itu Namjoon bukan? Persetan dengan semuanya Jim, aku membencimu,"

Bagai disambar jutaan kilat di langit, Jimin terasa sakit luar biasa. Namun dia yakin, sakit yang Jeongyeon rasakan jauh lebih tidak terperi dari apa yang dia rasakan. Kenyataannya memang Jimin tidak tahu menahu akan hal yang dibicarakan Jeongyeon, namun malam itu saat Jeongyeon menyebut nama kakaknya, ketakutan itu terpatri di hatinya.

Dia takut bahwa masa lalu dan alasan dari ketakutan terbesar dalam hidup Jeongyeon adalah kakaknya, kakak yang menghancurkan hidupnya sekali diwaktu kecil dan kini dia lagi lagi menghancurkan kehidupan Jimin. Dengan bodohnya, Jimin membuang jauh jauh segala praduga buruk dilubuk hatinya dan memilih berfikir bahwa nama yang disebutkan Jeongyeon adalah orang lain yang tidak dikenalnya. Memilih untuk tetap mencintai gadis itu secara perlahan.

Disisi lain, Jeongyeon tidak dapat mendeskripsikan lagi semua emosi yang seakan meluap di dirinya. Dia begitu sakit, sangat sakit. Bagaimana bisa setelah dia memberanikan diri berbagi cerita mengenai kepahitan masa lalunya yang hampir 'dinodai'  oleh kekasihnya dimasa lalu justru kini tengah berhadapan dengan adik dari orang yang dibencinya.

Ini belum sehari, baru saja, baru saja dia membuka kepercayaan nya kepada pemuda itu yang dengan sangat menyenangkan masuk ke dalam hidupnya justru kini sosok diantara dirinya dan juga masa lalunya. Takut, Jeongyeon sangat takut. Bayang bayang kelam mengenai hari itu secara tiba tiba terekam jelas dan berputar tanpa belas kasihan di otaknya.

EUPHOBIA [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang