Aku benci saat harus berperang dengan semuanya, seakan memiliki mu saja belum cukup.
__________________________
Ruangan bernuansa putih tenang itu hening, baik Jimin maupun Jeongyeon terdiam. Pemuda itu, Jimin, entah apa yang berada didalam pikirannya sekarang. Sedangkan Jeongyeon, dia terlalu bingung, bingung karena takut untuk berbicara, juga takut melakukan kesalahan disaat saat seperti ini. Apa yang Jimin ceritakan itu masalah serius, mengenai keluarganya, bukan sesuatu yang biasanya dapat dia sanggah dengan lelucon dan berakhir berdebat dengan Jimin.
Jimin menghela nafas, menoleh ke arah Jeongyeon sembari memamerkan senyum tipis lengkap dengan sabit indah terukir dimaniknya. Senyuman itu, sangat.. membingungkan, entah apa yang ingin Jimin sampaikan dari senyumannya.
"Jung, saat pagi itu secara tiba tiba aku menarikmu berlari, lalu berteriak mengumpulkan semua penghuni sekolah, setelahnya mengumumkan kau menjadi milikku, saat itu kau pasti mengira itu candaan bukan? Aku juga paham, kau pasti sangat kesal."
Jimin terkekeh pelan, kembali menatap lurus ke ranjang tempat dimana sang Ayah berbaring.
"Sesuatu yang lucu saat orang yang selalu berteriak mendebatkan hal hal tidak penting dengan mu, membiarkan mu jatuh dikali pertama bertemu, lalu menyuruh mu menjadi pembantu ku hanya untuk semangkuk ramyeon. Pertemuan kita memang tidak semenyenangkan itu, jadi sangat wajar jika kau menganggap apa yang aku lakukan itu candaan."
"A-anu Jim, kau sungguh serius?"
Jeongyeon tertunduk, tidak mengerti harus berbicara apa saat ini, dia selalu marah dan kesal jika Jimin mulai membahas perihal kepemilikan pemuda itu terhadap dirinya, namun saat ini untuk memandang Jimin rasanya sangat sulit, nyali nya ciut begitu saja.
"Sangat, aku tidak pernah menyukai seseorang sebelumnya, sangat menyebalkan ya karena kau selalu aku paksa kemanapun meskipun kau tidak mau, bahkan aku seret ke setiap hal yang berhubungan denganku,"
"T-tidak Jim, sebenarnya, itu.. cukup menyenangkan, sepertinya aku menyukai saat.. harus bersama dengamu."
Cicit Jeongyeon dengan rona merah menjalar di kedua pipinya, dia tidak ingin berbicara hal memalukan seperti ini, dia sangat yakin bahwa Jimin pasti akan menertawakannya habis habisan karena apa yang dia katakan tadi. Tetapi memang semua anggota tubuh nya tidak bisa diajak berkompromi disaat saat tertentu seperti saat ini.
Namun, hal yang tadinya berada di ekspetasi Jeongyeon hancur seketika kalau tangan kekar Jimin terarah, pemuda itu mengelus pelan puncak kepala Jeongyeon sembari tersenyum, lagi lagi tanpa berbicara. Sesaat kemudian hening yang sempat terpecahkan kembali datang. Sangat hening sehingga rasanya Jeongyeon dapat mendengarkan jelas detak jantungnya yang beradu dengan detak jam dinding di salah satu dinding ruangan ini.
"Jung, ayo kita pulang,"
"Eh? Sekarang?"
Jeongyeon melihat Jimin yang mulai beranjak, pemuda itu mengangguk lalu menggenggam tangan Jeongyeon perlahan sebelum berjalan keluar dari ruangan tempat ayahnya dirawat. Sebelum itu, Jimin menoleh sejenak ke arah ranjang, dia tersenyum perlahan dan menggumam "Aku pulang, cepat sembuh Yah,"
_________________________
Disepanjang jalan, baik Jeongyeon maupun Jimin tidak ada yang berniat membuka percakapan. Hari ini, semua sangat canggung bagi Jeongyeon, dia tidak pernah menjalani hari hari nya dengan berdiam saat sudah bertemu Jimin. Tiba tiba, mobil Jimin berhenti tepat saat Jeongyeon hampir saja tertidur karena suasana yang terlalu hening.
KAMU SEDANG MEMBACA
EUPHOBIA [END] ✔
FanfictionWarn : Cerita ini saya tulis tahun 2018 sampai 2021 yang mana tulisan saya masih sangat kacau dibeberapa part dan saya sengaja tidak merevisi untuk melihat progres saya dalam menulis dari tahun ke tahun. Juga karena malas:> - ▪ - Just cheese story a...