Keadaan Ayah Jimin berangsur angsur membaik, entah sejak kapan tetapi saat Jeongyeon tiba di ruang tempat merawat pria paruh baya nan lemah itu, pria tersebut menyunggingkan senyuman tulus kepadanya. Saat Jimin memperkenalkan Jeongyeon sebagai kekasih dari pemuda itu pun Ayah Jimin hanya diam, tidak bergeming, namun pria itu pun melempar senyuman yang sama kepada anaknya. Seakan keduanya mendapat restu, melihat hal itu Jeongyeon merasakan buncah bahagia didalam dadanya.
Gadis itu mendekat, berjalan dengan hati-hati diranjang tempat Ayah Jimin bersandar. Tentu saja ada bibi Yeo, perawat Ayah Jimin yang mendampingi. Setelah merasa dekat dengan pria paruh baya itu, Jeongyeon menunduk. Jemarinya diberanikan guna mengusap punggung tangan kurus milik Ayah Jimin.
"Paman, namaku Jeongyeon, kekasih Park Jimin, anak Paman. Paman tahu? Anak Paman sangat hebat dan bertambah hebat setiap harinya. Aku sangat bersyukur bertemu dengan Jimin. Terimakasih banyak Paman, karena Paman mempunyai anak sehebat Jimin yang dipertemukan denganku. Aku pasti tidak akan menyakiti Jimin, sebagaimana dia yang tidak pernah menyakitiku. Paman, cepat sembuh ya? Jimin pasti bahagia jika bisa berkumpul kembali dengan Paman,"
Setelah mengatakan hal itu, Jeongyeon tersenyum dengan amat tulus. Tatapan teduh yang dihadiahkan Ayah Jimin kepadanya membuat dia tahu, Jimin hebat karena mempunyai Ayah sehebat ini. Jeongyeon sungguh serius dengan perkataannya, tentang dirinya yang amat bahagia bertemu dengan seorang Park Jimin. Dibelakang sana Jimin tengah memandang keduanya dengan kebahagiaan yang tidak dapat diukirkan. Pemuda itu melangkah mendekati Jeongyeon lantas mengusap lembut bahu gadis mungil nya.
"Ayah, cepatlah sembuh ya, aku disini selalu menunggu Ayah kembali bersamaku. Ayah, suatu saat aku ingin menikahi gadis disebelahku ini,"
———
Saat ini hanya ada satu tempat yang menjadi tujuan terakhir mereka berdua. Satu tempat dimana Jimin terlihat gelisah, kendati saat ini keduanya sudah berada dijalan guna menuju tempat tersebut namun tetap saja Jimin berpikir apakah keputusannya ini sudah benar? Apakah dia akan benar-benar membawa Jeongyeon menemui sosok yang amat dibenci gadis itu?
"Jim, hei, ada apa? Kau terlihat gelisah."
"Ah, tidak, aku hanya berpikir apakah membawamu menemui Namjoon itu keputusan yang tepat?"
"Kau ingin menyelesaikan masalah ini secepat nya bukan? Kalau memang seperti itu, kau tidak perlu cemas, Jim. Apapun yang kau rencanakan untukku pasti tidak akan keliru," Jeongyeon mengusap punggung tangan Jimin. Berusaha menenangkan pemuda itu. Mendengar penuturan Jeongyeon sukses membuat Jimin kembali tenang, pemuda itu tersenyum lembut ke arah Jeongyeon lantas mengangguk.
Tanpa disadari mobil yang Jimin kendarai telah sampai di bangunan besar dimana didalamnya terdapat puluhan sel. Jimin segera membawa Jeongyeon memasuki bangunan tersebut, dia menghadap ke petugas penjaga guna menanyakan apakah jam besuk untuk tahanan bernama Kim Namjoon masih ada. Setelah permintaan besuknya disetujui oleh pihak petugas, Jimin menuntun Jeongyeon guna duduk diruang tunggu sementara petugas memanggilkan Namjoon untuk mereka. Namun belum lama Jimin mengajak Jeongyeon bercengkrama dan keduanya saling melempar canda, suara ribut yang menyapa rungu Jimin membuat pemuda itu menoleh ke arah pintu.
Jimin mengerutkan keningnya, apakah di ruangan lain terjadi masalah? Atau keributan itu berasal dari salah satu sel? Saat Jimin ingin beranjak guna bertanya asal keributan tersebut, seorang petugas tampak tergopoh-gopoh berlari ke arah Jimin maupun Jeongyeon.
"Maaf Tuan, sepertinya jam kunjungan Anda atas tahanan Kim Namjoon tidak bisa dilakukan,"
"Mengapa mendadak tidak bisa seperti ini?"
"Tahanan nomor 314 atas nama Kim Namjoon ditemukan meninggal dunia dengan dugaan sementara bunuh diri,"
"Apa?!"
"T-tidak mungkin..."
Jimin terkejut. Sangat-sangat terkejut, namun Jeongyeon sepertinya mendapat tamparan yang jauh lebih mengagetkan daripada yang kini Jimin rasakan. Gadis itu memundurkan tubuhnya. Menatap tidak percaya kepada petugas yang memberitahu mereka berita mengenai kematian Namjoon.
"Beberapa hari ini memang tidak ada perilaku mencurigakan dari saudara Namjoon, tetapi saat kami akan memanggil Namjoon guna menemui penjenguk, dia ditemukan tewas, saya rasa hanya ini yang bisa saya beritahukan kepada Anda,"
Petugas itu pamit setelah menjelaskan jika mayat Namjoon akan dibawa ke rumah sakit terdekat jika pihak keluarga menyetujui otopsi yang akan dilakukan kepadanya. Setelah kepergiannya petugas tersebut, Jimin segera merengkuh Jeongyeon.
"Hei, tenang lah, Jung. Jangan berpikiran yang tidak-tidak ya,"
"A-apa Namjoon bunuh diri karena aku, Jim?"
Sepasang manik berair Jeongyeon menatap Jimin. Gadis itu terisak. Mesipun dia sangat membenci Namjoon dan pemuda itu adalah ketakutan terbesar dihidupnya tetapi tidak pernah terbersit dipikiran Jeongyeon jika pemuda itu akan memilih mengakhiri hidupnya. Tentu saja Jeongyeon bertanya-tanya, apakah Namjoon melakukan hal nekat seperti itu karena dirinya? Karena dia tidak pernah mau menjadi boneka Namjoon seperti masa lalu? Jika iya, bukankah secara tidak langsung Jeongyeon membunuh Namjoon?
"Sekarang kita kembali ke mobil terlebih dahulu ya? Setelah itu kita bahas masalah ini,"
Jeongyeon mengangguk, mengiyakan perkataan Jimin dan pasrah saja saat Jimin merengkuh Jeongyeon sampai di parkiran. Keduanya sudah memasuki mobil saat ini. Namun Jeongyeon tak kunjung berhenti terisak. Jimin yang memang belum memasang seat belt kini memajukan tubuhnya, ditangkup wajah mungil Jeongyeon dengan kedua tangannya.
"Jungie, jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri atas apapun itu. Aku tahu Namjoon sangat menginginkanmu, tetapi percayalah pasti dia tidak mengakhiri hidupnya karena dirimu. Pasti ada alasan lain yang membuat Namjoon seperti ini. Jadi tolong, berhenti menyalahkan dirimu ya,"
Pemuda itu mengusap lelehan kristal bening yang masih senantiasa mengalir dari sepasang manik kecoklatan Jeongyeon.
"Boleh aku mengecup keningmu?"
Jeongyeon terdiam sesaat. Dia mengangguk. Membiarkan Jimin mendaratkan ranum miliknya ke kening Jeongyeon, pemuda itu juga mengusap perlahan surai Jeongyeon.
"Jungie.. kau adalah gadis ku, aku tidak ingin ada sesuatu yang membuatmu merasa sedih seperti ini. Jadi mulai saat ini berjanjilah untuk selalu tersenyum kepadaku, ketakutan terbesar dihidupmu sudah tidak ada lagi dan itu bukanlah kesalahanmu."
"Kau satu-satunya gadisku, gadisku tidak boleh menangis. Aku adalah pemuda yang selalu mengharapkan senyum manis itu selalu terukir di bibirmu. Kau dan kehidupanmu tidak pernah melukai siapapun, kau dan kehidupanmu adalah kebahagiaan bagiku, bagi mereka yang mencintaimu. Jangan pernah berpikir jika kehidupan yang kau jalani justru merenggut kehidupan orang lain. Hal itu tidak pernah terjadi,"
Jimin mempertemukan manik sabitnya dengan manik Jeongyeon. Menatap dalam gadis itu, mengunci Jeongyeon disebuah perasaan yang dia sampaikan melalui tatapannya. Jimin hanya ingin Jeongyeon miliknya selalu bahagia, bahagia menjalani kehidupannya, bahagia dengan dirinya, dan bahagia dengan apa yang dia lalui. Perlahan, isakan Jeongyeon berhenti. Entah mengapa perkataan Jimin seakan menjadi magis yang sukses menghipnotisnya, membuang jauh-jauh keresahan didalam pikirannya. Gadis itu mengangguk. Jimin tersenyum, merengkuh sejenak tubuh Jeongyeon sebelum memasangkan seat belt untuk gadis mungil itu.
"Saat otopsi Namjoon selesai dilakukan, aku akan bertanya dimana dia akan dimakamkan, jika Namjoon dimakankan di Seoul maukah kau ikut denganku untuk memberinya penghormatan terakhir?"
Jeongyeon lagi-lagi hanya mengangguk. Jimin mengusap pelan puncak kepala Jeongyeon sebelum dia memasang seat belt untuk dirinya sendiri. Tangan Jimin meraih jemari Jeongyeon, menuntun gadis itu agar memegang ujung seragam yang dikenakannya. Jeongyeon tentu saja bingung dengan apa yang Jimin lakukan namun gadis itu menurut saja.
"Jangan dilepas, pegang terus seperti ini. Aku ingin kau selalu merasa aman disebelahku,"
To be continued.
Satu chapter lagi abis ini cerita hehe:>
Oh iya, berhubung cerita ini gajadi berakhir dengan ending yang udah saya tentuin (karena ofc saya gamau kalian kecewa dengan ending yang nyakitin) jadi cerita ini akan ada book lanjutannya. Saya mau nanya ke kalian, mau EUPHOBIA dilanjutin ke versi kedua atau mending ai bikin cerita baru aja?
Jawab yaa jangan ngga dijawab nanti ai ngambek loh T^T
KAMU SEDANG MEMBACA
EUPHOBIA [END] ✔
Fiksi PenggemarWarn : Cerita ini saya tulis tahun 2018 sampai 2021 yang mana tulisan saya masih sangat kacau dibeberapa part dan saya sengaja tidak merevisi untuk melihat progres saya dalam menulis dari tahun ke tahun. Juga karena malas:> - ▪ - Just cheese story a...