Pura-Pura Orang Tua

459 45 83
                                    

Anggap saja ini aku, orang tua, manusia biasa yang kadang dilupakan Ananda, buah hati tercinta.

Akan selalu ada doa agar Ananda bisa menjadi kebanggaan semua orang, terutama keluarga.

Katakanlah, itu doa biasa. Terlalu biasa sampai kadang terdengar tak ada harganya.

Tapi itu semua serius. Sangat serius. Ananda bisa dan boleh melakukan apa saja, selama itu bisa membuat bahagia. Sampai terkadang, harapan itu membuat rasa percaya yang ada
membuncah tak ada batasnya. Mengira Ananda sudah dewasa, sudah bisa berpikir mana yang baik dan mana yang tidak.

Hingga pada suatu malam, rasanya sangat menyakitkan. Tidak menyangka bahwa Ananda diam-diam menulis cerita tak senonoh alih-alih mengerjakan tugas.

Itu semua seperti kabar kelabu. Tidak tahu awal mula dari mana sampai Ananda tahu caranya mendeskripsikan hubungan badan, kegiatan seks bebas, hingga percintaan lawan jenis dengan begitu nyata.

Padahal, masih teringat benar saat Ananda pertama kali menghafal Pancasila dan mempelajari agama. Masih teringat suara lembut Ananda saat berseru, “Kalau besar nanti, aku akan membuat Ayah dan Ibu bangga!"

Apakah semua itu benar-benar sudah menjadi masa lalu? Atau masih teringat, tapi dijadikan sampingan dan kedok belaka?

Jika yang Ananda maksud sebagai usaha membuat bangga itu adalah hasil karya Ananda tentang gambaran pornografi yang Ananda bela di balik kata literasi, jawabannya tidak. Itu tidak membuat bangga.

Mungkin tidak semua orang tua sama. Mungkin akan tetap ada orang tua yang bangga. Tapi orang tua yang menyayangi anaknya, akan sangat menyayangkan mengapa imajinasi Ananda berubah menjadi begitu liar. Seolah, agama hanya dijadikan formalitas semata. Seolah, petuah orang tua hanya dijadikan kebutuhan, tapi bukan prioritas untuk diindahkan.

Ananda mungkin bisa meyakinkan semua orang—baik yang menyukai maupun yang membenci—bahwa menghasilkan tulisan pornografi tidak akan menyeret siapa pun ke dalam lubang hina. Ananda bilang, menulis pornografi tak lantas membuat Ananda juga menjadi porno. Atau, menulis tentang homo dan lesbi tak akan membuat Ananda ikut-ikutan menjadi homo atau lesbi.

Padahal, bukan itu yang membuat sedih. Bukan hal itu yang membuat kecewa.

Tapi kenyataan bahwa Ananda meyakininya, menganggap itu semua seperti hal ideal, mencari pembenaran seolah tulisan Ananda tidak akan menjadi salah satu hal yang nantinya akan dipertanggungjawabkan.

Tak pernah terbayangkan berapa lama Ananda pernah senyam-senyum sendiri ketika menulis pria dan pria saling mengecup. Tak bisa dibayangkan betapa seringnya Ananda meluangkan pikiran untuk merancang adegan ranjang. Atau, berapa banyak jutaan anak di luar sana yang ikut menyukai pornografi, cerita homo dan lesbi, setelah membaca tulisan yang Ananda ciptakan.

Ananda adalah seorang terpelajar, Ananda juga beragama, tak perlu ada seseorang berhati mulia, atau orang sesuci malaikat yang bisa menilai bahwa menjadi bagian dari pornografi adalah sebuah kesalahan, sekaligus kegagalan orang tua.

Lalu Ananda bilang lagi, “Jangan menghakimi seseorang yang haus seks, homo, dan lesbi, Bu, Yah! Mereka tidak sehina seperti kelihatannya!”

Bahkan, Ananda boleh berteman, menemani mereka di dalam suka dan duka, merealisasikan bahwa sahabat itu nyata. Tapi, tidak dengan ikut membenarkan kelakuannya, tidak dengan membuat penyimpangan itu lestari lewat tulisan Ananda, tidak dengan bangga atas keyakinan bahwa menulis kisah pornografi adalah salah satu bukti bahwa Ananda sudah lulus menjadi seseorang yang berpikiran luas dan tinggi.

Kembalilah kepada Ananda, buah hati yang bertekad untuk membuat bangga orang tua dengan jalan yang benar dan wajar. Ananda tidak harus menempati ranking satu, memenangkan puluhan olimpiade, atau menjadi seseorang yang dipuja karena kesucian dan kebaikannya.

Ananda tidak harus menjadi sarjana, guru, dokter, perawat, atau menjadi jutawan dan pengusaha. Semua gelar dan profesi akan sia-sia jika akhlak tak ada.

Cukup menjadi Ananda yang amanah akan kepercayaan orang tua, yang berbudi pekerti, atau pada kemungkinan terburuk, Ananda boleh hancur, tapi jangan menyeret orang lain dalam kehancuran Ananda.

Ayah dan Ibu tidak akan kuat menanggung dosa ribuan orang di luar sana yang menjadi buruk dan terjerumus sejak membaca tulisan pornografi Ananda.

Ketika nantinya ada seorang tetangga menyapa dan bilang, “Selamat ya, Pak, Bu. Dengar-dengar anaknya sudah menerbitkan buku Guru Cabul, Cowok Mesum, dan Cinta Abadi yang isinya lelaki dan lelaki saling mencintai lalu menjadi banci modern. Meski pakai nama samaran, sudah banyak yang bilang kalau yang nulis itu anaknya Bapak dan Ibu, loh.” Demi Tuhan, buku-buku dan tulisanmu tidak bisa membuat orang tua merasa bangga.

Ananda, cepatlah mengubah persepsimu tentang kebebasan dalam berkarya dan bermain dalam dunia literasi. Cepatlah, selamatkan kepercayaan ini, sebelum semuanya terlambat, dan orang tua tidak akan peduli lagi.

Kau bisa saja membenci orang sok suci yang mencoba menasehati, orang sok benar yang membuat idealismemu bergetar, atau orang yang sama hinanya yang mencoba memperingatkan.

Cukup ingat satu saja, Tuhanmu, pertanggungjawabanmu, orang tuamu, dan derajatmu di mata agama.

Jangan Baper 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang