Sore itu mau tidak mau Irfan harus duduk di salah satu sofa panjang Ollivander Cafe, sebuah coffe shop yang tak begitu jauh dari Pelatnas PBSI. Ragil merencanakan sesuatu yang bagi Irfan sungguh norak; farewell party yang dihadiri oleh sebagian atlet putra senior dan junior. Meski berkali-kali Irfan menolak dengan alasan tidak ada yang perlu dirayakan atas kemunduran prestasinya, Ragil punya sejuta dalih untuk memaksanya, seperti biasa.
Acara yang cuma diisi makan-makan dan obrolan ringan tersebut dimulai sejak sehabis berlatih satu sesi tadi siang dan baru berakhir sekarang. Di meja nomor tujuh itu kini hanya tersisa Irfan dan Sabda. Teman-teman mereka yang lain sudah kembali ke asrama. Mereka berdua tertahan di kafe karena tadi untuk menuju ke sini menumpang mobil Ragil dan ia kini masih menjemput Sheva.
"Berarti udah semingguan ini ya, Bang, lo bolak-balik latihan di Pelatnas sama klub?" tanya Sabda, menyambung obrolan mereka tentang nostalgia ketika masa-masa berlatih di PB Pamungkas dulu. Irfan memang tidak pernah bertemu Sabda ketika di klub karena begitu Sabda masuk, Irfan berpindah ke Pelatnas. Namun, suasana dan aturan yang sama membuat percakapan keduanya nyambung.
Irfan mengangguk. Sejak jogging bersama Gwen seminggu lalu, beberapa kali Irfan memang berlatih di PB Pamungkas meski belum menajajal court-nya. Dia hanya berlatih fisik di sana.
"Si Puput juga udah mulai latihan di Pelatnas," tambah Sabda. Cowok yang mengenakan hoodie kuning itu memunguti sisa-sisa kentang goreng di piring lalu memakannya. "Tapi kayaknya belum tahu deh dia mau main di sektor apa, secara Gwen kan nggak dipanggil."
Nama terakhir yang Sabda sebut membuat Irfan tertarik. "Kenapa Gwen nggak dipanggil, ya? Padahal gue lihat-lihat dia giat banget latihannya."
Sabda mengedikkan bahu. "Dulu sih gue denger-denger Gwen pernah nolak pas dipanggil Pelatnas."
"Hah? Bisa ya begitu? Lagian, emangnya ada atlet yang nolak dipanggil ke Pelatnas?"
Sabda mengempaskan punggung ke sandaran sofa. Pandangannya menerawang bersamaan dengan jemari kirinya yang memainkan bandul kalung berbentuk raket dan shuttlecock. "Kata orang-orang sih bisa jadi karena trauma, abangnya kan pernah dikeluarin dengan kasus yang... yah, lo tahu sendirilah."
"Kenapa gue nggak pernah denger kabar begituan, ya?"
"Ya mana mungkin lo dapet gosip-gosip hot kayak gitu, Bang. Kesibukan lo kan cuma latihan, bernapas, pacaran, dan ulangi dari awal. Eh, by the way, kabar Relita gima—tunggu..." kalimat Sabda terpotong oleh aksinya sendiri. Cowok yang mengaku blasteran Bali dan Papua itu menegakkan bahunya. Posisinya yang menghadap pintu kafe mudah saja melihat lalu-lalang orang. "...kok Gwen ke sini juga? Lo undang dia, Bang?"
Irfan menggeleng bingung lalu menoleh ke belakang. Dia sampai harus memutar badan untuk memastikan cewek yang mengenakan hotpants jeans dan blus abu-abu sesikut itu benar-benar Gwen. Tak lama dari masuknya Gwen ke kafe, Ragil yang sedang memainkan ponsel menyusul. Cowok tengil itu mendongak ketika namanya disebut oleh seseorang. Bukan Irfan maupun Sabda yang memanggil Ragil, melainkan laki-laki di meja nomor empat yang juga menjadi tujuan Gwen.
"Gatra?" Irfan refleks bergumam.
"Itu yang namanya Gatra Permana?" Sabda berdecak-decak lebay. "Nggak nyangka gue bisa ketemu orang yang cuma gue tahu dari skandalnya di sini. Emang aneh-aneh ya, Bang, kasus orang-orang di tunggal putra. Lee Chong-wei pernah kena masalah doping, Kento Momota judi ilegal, lah Bang Gatra—"
"Pressure di sektor tunggal itu tinggi karena mainnya sendirian, jangan dibandingin sama ganda campuran yang kalau kalah lo bisa saling support sama pemain putri," kilah Irfan cepat-cepat. Ia membalikkan kepalanya lagi, menatap Sabda. "Lo percaya kalau Gatra beneran kena kasus itu?"
YOU ARE READING
REMATCH
Romancere·match /ˈrēˌmaCH/ [noun] a second match or game between two teams or players. Katanya, keberhasilan adalah kombinasi dari kemampuan dan daya juang. Tapi, kenapa titik 'berhasil' itu tidak kunjung didapat meski sudah punya keduanya? Katanya, ketika...