REMATCH - 1

201 5 4
                                    

"Saya mau mundur dari Pelatnas, Koh." Irfan menarik napas dalam-dalam. Dia tidak berani menatap pria paruh baya yang dia panggil Koh Hendrik itu secara langsung. Ubin putih yang menjadi pijakan ruang kerja pelatih utama Pelatnas PB PBSI sektor tunggal putra tersebut rasa-rasanya lebih menarik untuk dilihat dibanding wajah beliau. "Rencananya—"

"Kamu sudah pikirin ini matang-matang?"

Irfan mengangguk ragu. Pelan-pelan kepalanya mendongak, ingin tahu ekspresi Koh Hendrik ketika melontarkan pertanyaan barusan. "Rencananya sebelum akhir tahun ini."

"Setelah itu?"

Gelengan Irfan berlawanan dengan degup jantungnya yang berpacu cepat. Ia menelan ludah yang terasa sulit. "Saya... saya belum mikir ke depannya."

"Sudah telepon David?"

Coach David adalah pelatih Irfan di klubnya, PB Pamungkas. Pelatih kawakan itu juga yang membawa Irfan menjuarai sederet kejuaraan junior sehingga ia bisa menjadi satu dari sekian banyak atlet yang diboyong ke Pelatnas PBSI.

"Mau saya bantu bicara ke dia?" tanya Koh Hendrik lagi.

"Nggak usah, Koh," sambar Irfan cepat.

"Kamu... nggak berniat pensiun, kan?" Koh Hendrik menyipit curiga, membuat Irfan harus menggosok-gosok tengkuknya karena salah tingkah. Beliau yang sebelumnya duduk di kursi kerjanya perlahan mendekati Irfan. Kini, jarak keduanya hanya terpaut sekitar tiga langkah. "Saya pernah bilang kalimat yang mirip ini ke Ragil dua tahun lalu sebelum dia berlaga di Asian Games..." Koh Hendrik menepuk bahu Irfan berkali-kali. "... agar setiap impian memiliki pondasi yang kuat, kamu harus memberinya alasan yang sama kuatnya. Sehingga, ketika tiang-tiangnya runtuh, kamu masih punya pijakan untuk membangunnya lagi."

"Iya, Koh." Irfan menjawabnya demikian karena tidak tahu harus membalas bagaimana. Selain tidak sepenuhnya mengerti kata-kata Koh Hendrik yang rumit, ia juga ingin mengakhiri sesi ceramah ini.

Malam itu, Irfan keluar dari ruangan Koh Hendrik setelah mendengar tambahan khotbah agar Irfan mengingat masa-masa perjuangannya selama ini dalam menembus persaingan tunggal putra level dunia yang tidak mudah.

Andai Koh Hendrik tahu, masa-masa yang berdarah-darah itu tidak akan ada artinya jika masa depan yang tampak di mata Irfan berupa jalan buntu. Tak ada solusi bagi cederanya yang sering kambuh. Insiden di Jerman Open dua tahun lalu benar-benar mimpi buruk yang ingin dia buang jauh-jauh. Karier bulutangkisnya pelan-pelan ambruk. Dia hanya akan menambah beban Pelatnas jika tetap bertahan di sini.

Dari lorong asrama yang Irfan lalui, dapat ia lihat kalau pintu kamarnya sedikit terbuka. Ketika cowok itu masuk, ranjang Ragil sudah terisi oleh pemiliknya, sedang rebahan plus cengar-cengir sembari menatap layar ponselnya. Irfan pun beringsut menuju ranjangnya yang tersekat meja kecil dengan milik Ragil.

Sadar ada orang lain di kamar mereka, Ragil bertanya, "Hei, Bro. Dari mana?"

"Ketemu Koh Hendrik," jawab Irfan singkat.

"Koh Hendrik belum pulang?"

"Ya kalau gue abis ketemu dia berarti belum. Pakai nanya lagi."

"Waduh, sewot amat room-mate gue!" Ragil menurunkan ponselnya. Posisinya pun berganti duduk, saling berhadapan dengan Irfan. "Kenapa? Abis diceramahin?"

Irfan hanya mengedikkan bahu.

"Abis ngapain lo? Bolos latihan?" cecar Ragil. "Ah, nggak mungkin orang rajin kayak lo bolos atau ngelakuin hal-hal aneh."

REMATCHWhere stories live. Discover now