Sudah satu jam lebih Gwen dan Siska terjebak di tengah-tengah kemacetan yang mengular. Menurut informasi dari bapak-bapak pengatur lalu lintas, jembatan penyeberangan orang yang ambruklah penyebabnya. Jika melihat angka pada jam digital di dasbor, jelas mereka akan terlambat pulang. Di samping Gwen, Siska tampaknya mulai gusar. Berkali-kali dia mengumpat dan mengeluh. Sekarang giliran tangan kanannya yang menjulur ke tengah-tengah bulatan setir untuk menekan klakson.
"Percuma, Sis, nggak ada pergerakan dari mobil di depan, yang ada malah berisik. Mending lo telepon Arini atau siapa gitu, kali aja bisa—"
"KENAPA NGGAK BILANG ITU DARI TADI?" Siska berteriak saking girangnya. Penyakit mendadak paniknya kadang mengganggu disaat-saat genting seperti saat ini. Gwen jadi ikut waswas. "Handphone lo mana?"
"Handphone gue..." Oh, tidak! "...kayaknya masih dipegang Rega, deh."
"HAH?! KOK BISA?" Siska terlihat ingin menangis. "KITA GIMANA, DONG?"
"Ya mau gimana lagi? Nggak bakal sampai tepat waktu dengan kondisi kita kayak gini."
Sekarang, Siska benar-benar menangis kencang.
***
Sesuai yang Gwen tebak, hukumannya dua kali lipat dibanding Siska. Semalam, mereka sudah menghadap Coach Surya selaku bagian kedisiplinan atlet merangkap kepala pelatih fisik. Beliau mendapat tunjangan rumah dinas yang masih selingkungan dengan GOR PB Pamungkas. Usai latihan sesi besok sore (atau dalam kondisi saat ini adalah sekarang) Gwen dan Siska disuruh membersihkan aula utama. Itu hukuman dari Coach Surya. Selangkah keluar dari rumah Coach Surya, Gwen dipanggil lagi untuk menjawab telepon dari Papa. Hukuman lain.
Apa lagi memangnya kalau bukan jogging pagi-pagi buta? Gwen terlalu malas membantah, mending menurut saja tanpa banyak protes. Meski kalau boleh jujur rasanya berat sekali melangkahkan kaki ke lapangan dan harus berlarian melawan dinginnya udara bulan Februari sendirian.
SEN-DI-RI-AN!
Tapi tunggu dulu...
Sepatu biru tua dengan logo bergambar dua buah shuttlecock yang teronggok di pinggiran jogging track beserta seperangkat alat jogging lainnya; handuk kecil putih, sepasang airpods plus sebotol penuh air mineral... Gwen sepertinya tahu siapa pemiliknya.
Dan ketika ia menengok ke belakang...
***
Irfan punya kebiasaan baru tiap menunggu lampu merah berganti hijau di tikungan menuju PB Pamungkas; mengetuk-ngetuk lututnya sambil melafalkan lirik-lirik lagu yang dia mau. Ternyata kegiatan ini cukup menyenangkan meski tampak tak ada faedahnya. Selaras dengan itu, pikirannya memutar kilas balik beberapa kejadian yang cukup menyentuh, entah menyenangkan maupun yang memberinya luka hati.
Pagi ini, ketika arloji hitam di pergelangan tangan kirinya masih menunjukkan pukul empat lebih tujuh belas menit, kejadian semalamlah yang muncul di kepala Irfan. Ayah kembali mengungkit kematian Ibu.
Kalau bukan karena cari uang buat biaya kamu di klub bulutangkis, ibumu nggak akan meninggal.
Dari yang semula mengetuk, kini jemari Irfan mencengkram lututnya. Rasa bersalah itu lagi-lagi menyusup, lalu merusak mood baik yang sejak semalam coba ia susun. Tidak perlu Ayah ulang ratusan kali pun, selama ini Irfan hidup dengan penyesalan mendalam.
Bagi Irfan, bulutangkis menjadi sesuatu yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Dia merasa 'hidup' ketika berdiri di atas court dan berhasil mengembalikan shuttlecock ke bidang lawan. Tapi, di sisi lain ia juga tertekan. Merasa menjadi penyebab Ibu meninggal, harapan Ayah yang terlalu besar, belum lagi target-target yang dibebankan.

YOU ARE READING
REMATCH
Romancere·match /ˈrēˌmaCH/ [noun] a second match or game between two teams or players. Katanya, keberhasilan adalah kombinasi dari kemampuan dan daya juang. Tapi, kenapa titik 'berhasil' itu tidak kunjung didapat meski sudah punya keduanya? Katanya, ketika...