Gwen tidak menjawab. Dia tetap menangis dengan napas memburu, menunggu kakaknya menjelaskan. Suasana di antara kakak-beradik itu masih tampak canggung.
"Pertama, emang iya, semua gara-gara gue. Mama jadi kepikiran sampai penyakitnya kambuh, meski kalau mau berpikir lebih jernih lagi, usia seseorang mutlak kuasa Tuhan." Kak Gatra terdiam sesaat. "Yang bikin gue nyesel sampai sekarang, gue belum sempat jelasin ke Mama kejadian sebenarnya, bahwa gue nggak sebejat yang orang bilang."
Gwen sudah tahu kebenarannya dan dia lebih percaya cerita kakanya daripada desas-desus yang beredar. Kak Gatra dan Virni tidak pernah memiliki affair apa pun. Mereka berasal dari satu klub bulutangkis terkemuka dan sudah menjalin persahabatan sejak sama-sama mengukuti audisi beasiswa. Kejadian di rumah Virni malam itu murni untuk memberikan surprise ulang tahun kepada sang penggawa tunggal putri. Sayangnya, suasana rumah Virni yang kosong, ditambah Kino—pacar Virni—yang posesifnya kebangetan membuat segalanya rumit.
Entah bagaimana ceritanya, Kino yang sekaligus teman Kak Gatra di tunggal putra ikut-ikutan muncul dan menuding pacarnya berselingkuh. Tak sampai di situ, Kino juga mengambil beberapa gambar keduanya, ditambah foto-foto lama mereka yang memang cukup intim. Tinggal dilempar ke akun-akun gosip saja, nama Kak Gatra yang waktu itu sedang naik-naiknya jadi tercoreng. Bukan cuma nama sang atlet, dunia perbulutangkisan pun dibuat gonjang-ganjing.
Gwen tidak tahu apa tujuan Kino membuat rumor murahan seperti itu, tapi setahun berikutnya dialah yang diutus ke Rio de Janeiro sebagai perwakilan Indonesia di sektor bulutangkis tunggal putra.
"Gue emang berniat pergi dari Pelatnas, tapi bukan dengan cara yang seperti itu. Gue... jujur, gue masih pengin main di Olimpiade." Kak Gatra tersenyum. Jenis senyum putus asa. "Lagian, siapa coba yang nggak pengin main di ajang sebesar itu?"
"Kenapa lo pengin pergi dari Pelatnas? Bukannya lo mati-matian dapetin beasiswa bulutangkis biar mudah masuk ke sana?"
Kak Gatra menggeleng penuh keyakinan. "Gue masuk klub itu biar jauh dari Bokap aja. Lo tahu sendiri kan, dari kecil gue udah digembleng kayak mau ikut seleksi TNI. Jadi gue pikir, kalau gue jauh, nggak ada lagi acara lari berpuluh-puluh kilometer pagi-pagi buta pas nyawa gue belum penuh. Eh, di sana sama aja ternyata. Lebih berat, malah."
"Tapi lo betah tuh di Kudus."
"Ternyata di sana nyaman."
"Karena ada Virni?"
Gwen mendapat sentilan di dahinya atas godaannya pada Kak Gatra. "Karena pas tinggal di sana, gue baru bisa merasa nyaman sama bulutangkis daripada pas di rumah, dengerin Papa ngoceh terus soal hal yang sama, bikin gue pusing."
"Nyaman tapi kok tetap mau pergi? Gimana sih, Kak, jalan pikiran lo? Nggak paham gue."
Kak Gatra tersenyum dan memandang Gwen lama. Entah apa yang ada di benaknya. "Nyaman bukan satu-satunya alasan untuk bertahan di sana, kan?"
"Duh, ngomongin apa, jawabnya apa. Nggak nyambung."
"Gini deh..." Kak Gatra menyamankan posisinya dengan bersila di ranjang Gwen. "...kayaknya Ci Susy Susanti pernah ngomong ke media, kurang lebih begini... ada beberapa atlet yang punya daya juang tinggi, tapi nggak punya cukup skill yang bagus. Sebaliknya, ada yang skill-nya jempolan, tapi daya juangnya tipis. Lo pasti tahu dong gue masuk yang mana?"
Gwen menyipitkan mata karena geli jika kakaknya mulai narsis begini. Sekarang, dia mulai paham jalan pikiran Kak Gatra. "Menurut lo, mana yang lebih bagus di antara dua tipe itu?"
Kak Gatra berpikir sejenak. "Yang paling bagus sih harus punya dua-duanya. Ci Butet, Koh Hendra, Bang Ahsan termasuk Ci Susy... beberapa nama yang punya dua unsur itu dan berhasil memaksimalkannya. Kalau skill bagus tapi daya juang rendah, sebenarnya masih bisa ditingkatkan andai ada kemauan meski nggak mudah."

YOU ARE READING
REMATCH
Romancere·match /ˈrēˌmaCH/ [noun] a second match or game between two teams or players. Katanya, keberhasilan adalah kombinasi dari kemampuan dan daya juang. Tapi, kenapa titik 'berhasil' itu tidak kunjung didapat meski sudah punya keduanya? Katanya, ketika...