REMATCH - 5

77 5 0
                                    

Koh Hendrik tidak banyak berkomentar ketika tadi malam Irfan meneleponnya dan berkata hari ini ia akan berlatih di klub. Dia tidak tahu harus senang atau sedih. Biasanya tak akan segampang itu mendapat izin beraktivitas di luar Pelatnas. Irfan berkesimpulan kalau pelatihnya memang sudah benar-benar rela melepasnya keluar dari sana. Dan itulah yang membuatnya sedih. Tidak seperti Ragil yang ditahan sedemikian rupa ketika menyatakan ingin keluar Pelatnas, dirinya seolah dilepas begitu mudahnya.

"Lo kenapa bisa di sini?" Sejak pertama kali menemukan Irfan di sebelahnya, Gwen tampaknya memang ingin bertanya hal yang sama. Irfan tidak mengerti kenapa cewek yang kini berselonjor di sebelahnya ini tadi malah menghentikan aktivitasnya dan beralih duduk di roof-top.

"Emang gue nggak boleh ke klub gue sendiri?"

"Ya maksud gue—"

"Besok gue mau ajuin resign secara resmi. Lo main di woman double, kan?" Irfan tersenyum samar begitu cewek berkulit putih yang menatap lurus ke depan itu mengangguk. "Dan partner lo bakal dipromosikan ke Pelatnas?"

Gwen menoleh dengan alis berkerut.

"Sabda yang bilang," tambah Irfan, menjawab rasa penasaran yang tergambar jelas di wajah Gwen. "Lo sama dia satu angkatan, kan? Sabda juga banyak cerita soal lo."

"Pasti cerita yang nggak-nggak."

Irfan tertawa pelan. Setelah sekian kali berinteraksi langsung dengan Gwen, ia menemukan satu fakta bahwa cewek itu selalu terlihat sedikit melebarkan matanya yang kecil tiap Irfan berekspresi demikian. Apakah ada yang salah dengan caranya tertawa?

"Dia bilang lo bawel. Dan gue nggak setuju. Bawel apaan coba? Tiap ketemu gue aja lo cuma bicara seperlunya begini."

Gwen terdiam agak lama sebelum menjawab, "Ya kan kita belum kenal-kenal amat."

"Padahal kita ketemunya udah lama, ya?"

"Lo ingat?"

Irfan mengangguk. Ia baru menyadarinya semalam ketika Sabda yang bercerita banyak hal tentang Gwen menyebut-nyebut nama Gatra. Gwen dan Gatra, duo 'Pramana' yang diramal akan mengikuti kesuksesan ayahnya.

"Lo sama Coach David sering ke Pelatnas buat ketemu Bang Gatra, kan?" Irfan tersenyum saat Gwen mengangguk. "Sayangnya dulu kita nggak punya banyak kesempatan buat ngobrol. Oh iya, abang lo apa kabar?"

"Baik." Gwen bergerak-gerak gelisah, terkesan tidak nyaman membahas nama yang Irfan sebutkan. "Lo..." gadis itu menggeleng. "...atlet Pelatnas boleh ngerokok, ya?"

"Kenapa? Mau ceramahin gue gara-gara pernah ngerokok di sini? Satire amat pertanyaan lo."

Gwen mengedikkan bahu. Kepalanya kembali lurus ke depan. Pelan-pelan, cahaya matahari tampak menyembul di balik pepohonan. "Katanya, aturan itu ada untuk dilanggar."

"Tapi kata-kata itu nggak cocok diucapin atlet rajin kayak lo."

"Ish! Kenapa masih berpikir kalau gue rajin, sih?"

"Kalau nggak rajin, ngapain pagi-pagi begini lo udah lari-larian di jogging track?"

"Pertanyaan yang nilainya sama dengan kenapa lo kemarin ngerokok di sini." Gwen mendengus. "Nggak mau jawab, kan? Sama, gue juga. Karena emang ada beberapa hal yang nggak pengin kita bagi sama sembarang orang."

Irfan terdiam sejenak. Kata-kata cewek yang sekarang menekuk kedua betis panjangnya itu selalu berhasil membuat dia terpukau. "Kalau gue bakal jawab, lo mau apa?"

"Gue nggak mau dengar." Gwen berdiri dan merebut botol ungunya dari Irfan. "Yang jelas, setahu gue seseorang yang hampir nggak pernah merokok terus tiba-tiba nyentuh rokok tuh berarti lagi ada masalah berat."

REMATCHWhere stories live. Discover now