Tapi kayaknya gue berubah pikiran.
Ucapan Irfan kemarin masih terus terekam di pikiran Gwen. Kalimat itu sekaligus menjadi penegasan kalau Irfan akan kembali ke PB Pamungkas dan menepis isu ia akan pensiun dini, bukan? Yang tak kalah membuat Gwen kepikiran adalah kata-kata cowok itu sebelumnya. Jika disimak secara lebih, awalnya Irfan memutuskan tidak akan kembali, lalu ia berubah pikiran karena suatu alasan.
Apa yang membuat Irfan berubah pikiran?
"Ya ampun, bengong terus!"
Gwen merasakan sesuatu yang ringan, basah dan beraroma lemon menyentuh ujung hidungnya. Ia mendengus begitu tahu baru saja Gatra mengoleskan busa sabun pencuci piring di hidungnya.
"Itu piringnya mau lo lap sampai kapan? Sampai lo bisa nyaingin Chen Qingchen sama Jia Yifan?" tambah Gatra. Kakaknya itu memang jail, seperti biasa. "Jangan ngayal ketinggian."
"Nggak usah julid, deh! Mantan pemain degradasi Pelatnas mah diem aja mending."
"Gue didegradasi karena emang sengaja ya bikin ulah, bukan karena cara main gue jelek kayak lo."
"Lo nyebelin deh lama-lama." Gwen menjauh dan melupakan pekerjaannya. Masa bodoh dengan teriakan Gatra yang semakin keras.
Sehabis makan malam pada setiap Minggu, dia dan kakaknya memang ditugaskan oleh Mama mencuci piring, sebuah kegiatan yang dibiasakan sejak mereka kecil. Kata Mama, itu merupakan bentuk sederhana dari sebuah tanggung jawab. Meski jarang sekali pekerjaan itu berjalan dengan damai, Gatra atau Gwen selalu menyelesaikannya walau salah satunya berakhir kesal lalu pergi begitu saja seperti sekarang.
Gwen menyisih ke ruang tengah. Biasanya, begitu makan malam selesai, keluarganya akan berkumpul di sini sambil menonton televisi dan mengobrol ringan. Namun, agaknya hari ini tidak akan terjadi karena Papa sedang keluar.
Gwen masih melamun ketika tahu-tahu televisi dua puluh dua inci di depannya menyala, menayangkan pertandingan tenis lapangan. Tak lama setelahnya, sebuah gerutuan meluncur dari mulut Gatra. Selain suka merecoki adiknya, dia memang hobi mengomel.
"Duh, Bokap lo tuh, ya... udahlah profesinya pelatih bulutangkis, tontonannya pun nggak jauh-jauh dari olahraga. Nggak bosan apa, ya?"
"Bokap lo juga, Gatrawan Albiru!"
"Tapi mukanya lebih mirip lo, Gwenny!"
Gwen melengos karena tidak bisa mengelak lagi. Daripada Mama, Papa memang lebih banyak mewariskan garis-garis wajahnya pada Gwen; hidung yang tidak semancung milik Gatra, sepasang mata dan bibir yang sama kecilnya, juga bentuk muka yang bulat. Dan jujur saja, Gwen tidak begitu suka dengan fakta tersebut. Dia lebih suka andai memiliki kontur wajah menyerupai Mama, seperti kakaknya.
"Lah, ngambek lagi?" Gatra menahan lengan Gwen.
Gwen yang awalnya akan berdiri jadi terduduk di sofa krem itu lagi. Ia bersedekap. Wajahnya merengut. "Apaan, sih? Gue mau tidur!"
"Kesambet apaan lo mau tidur jam segini?" Gatra melongok ke jam dinding di atas televisi, membuat Gwen melakukan hal serupa. Pukul tujuh lebih empat puluh lima menit.
"Besok pagi ada tambahan latihan fisik, jadi mesti tidur lebih awal," jelas Gwen. Meski begitu, dia tidak jadi melenggang ke kamar.
"Bikin salah apa lagi lo?"
"Minggu lalu ketahuan makan kulit ayam," curhat Gwen. "Kulit ayam kalorinya berapa, sih? Kejam amat ya Bokap lo."
Gatra berdecak seraya mengacak-acak rambut sepundak milik adiknya yang tergerai. "Kalorinya jelas banyak banget dan harusnya bukan itu yang lo pikirin."
![](https://img.wattpad.com/cover/165006760-288-k298255.jpg)
YOU ARE READING
REMATCH
عاطفيةre·match /ˈrēˌmaCH/ [noun] a second match or game between two teams or players. Katanya, keberhasilan adalah kombinasi dari kemampuan dan daya juang. Tapi, kenapa titik 'berhasil' itu tidak kunjung didapat meski sudah punya keduanya? Katanya, ketika...