"Tapi, kok... sebelumnya maaf nih ya kalau misalnya kata-kata gue nyinggung lo atau gimana... lo kelihatannya fine-fine aja tuh pas keluar dari Pelatna. Nggak ada galau-galaunya kayak yang lo bilang."
Komentar pertama Gwen atas curhatan panjang Irfan itu membuatnya terdiam. Tadi dia menceritakan bagaimana dulu pandangannya terhadap pencapaian terjaring ke Pelatnas. Seperti pengibaratannya pada posisi dirinya dan langit, awalnya Irfan berpendapat bahwa ketika berhasil lolos ke Pelatnas, dia merasa naik satu tingkat. Jiwa naifnya mengira keberhasilan sudah tampak di depan mata; Pelatnas adalah akhir dari segala muara. Nyatanya, anggapan itu sepenuhnya keliru.
"Maksudnya... kelihatan di mana?" tanya Irfan dengan suara serak. Perlahan, perih kembali merambat. Sebuah rasa yang selalu mampir tiap ingatan Irfan berputar ke masa-masa itu. "Ya logikanya, orang mana mau meratap di depan orang lain," tambahnya sebelum Gwen sempat melontarkan satu kata jawaban pun. "Masa gue mau koar-koar kalau lagi sedih, kecewa, or something like that... kan nggak perlu. Yang ada orang-orang makin keras ngetawain gue."
"Iya juga, sih."
"Gue kepikiran mengundurkan diri baru akhir-akhir ini. Meski gue nggak resign pun kayaknya nama gue bakalan masuk daftar degradasi. Kayak yang netizen bilang, mungkin bener kalau gue sebenarnya cuma nyelametin muka gue biar nggak malu-malu banget. Jadi yaaa, meski judulnya ngundurin diri, sedihnya tetap ada. Apalagi gue udah delapan tahun di sana, berat banget mau pisah sebenarnya."
"Ck, lo pasti bakalan nyesel kalau ternyata nama lo nggak ada di daftar itu."
"Nggak juga. Itu kan perasaan gue dua bulan lalu. Kalau sekarang sih, gue udah agak plong."
"Cuma karena udah berhasil dapat 2200 poin di turnamen perdana?" Jelas sekali nada Gwen terdengar menyindir.
Irfan tertawa sejenak, tapi kemudian dia tetap menjawab dengan serius. "Itu juga bolehlah. Delapan tahun di Pelatnas, gue baru menyadari satu hal."
"Apa?"
"Alasan terbesar gue bisa bertahan di sana selama itu adalah kepercaan diri."
"Kepercayaan diri?"
Irfan mengangguk. "Rasa percaya diri itu ajaib. Waktu masih di level junior, gue percaya kalau gue bisa segera naik ke turnamen senior. Dan itu beneran kejadian. Dua tahun berikutnya, gue dikirim ke kejuaraan yang lebih tinggi padahal usia gue baru tujuh belas tahun." Irfan mengambil jeda dengan menghirup napas sebanyak-banyaknya. "Di level senior, gue lagi-lagi nyemangatin diri dengan percaya bahwa gue bisa masuk sepuluh besar peringkat dunia. Yah, seenggaknya gue beneran bisa mencicipinya meski cuma sebentar. Karena nggak lama setelah ngerasain jadi tunggal putra peringkat sepuluh, gue kena cedera pas turnamen Jerman Open."
"Sejak insiden itu, kepercayaan diri gue yang sebelumnya stabil jadi bablas nggak ada sisa. Gue kalah terus. Padahal, usaha apa sih yang nggak gue lakukan? Latihan ekstra, recovery secepatnya, konsultasi sama pelatih... udah semua," sambung Irfan. Gwen hanya menyimak dalam diam. "Mungkin cedera gue secara fisik emang sembuh, tapi gimana sama psikis alias kepercayaan yang gue maksud? Dia nggak nambah-nambah. Tetap aja ada di titik nol. Dan lo tahu kenapa?"
Gwen menggeleng pelan.
Irfan meraih kotak plastik transparan yang Gwen pegang. Salad buahnya masih sisa seperempat dari volume awal.
"Kepercayaan diri itu kayak isi di kotak ini. Bisa bertambah dan berkurang sesuai apa yang lo alami." Irfan beralih membuka kotak miliknya. Isinya masih utuh. Memakai sendok plastik kecil, cowok itu mengambil satu potongan kiwi dan sedikit ia angkat ke depan wajah Gwen yang kini berhadap-hadapan dengannya. "Kalau versi gue, kepercayaan diri akan bertambah ketika... satu, gue berhasil juara atau seenggaknya mendekati target yang diberikan Koh Hendrik." Irfan memasukkan kiwi itu ke kotak milik Gwen, kemudian dia mengambil potongan buah lain dari kotaknya. "Dua, orang-orang yang gue sayang, terutama Bokap bisa bahagia karena gue." Irfan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. "Terakhir..." Potongam buah naga yang Irfan acungkan tertahan lebih lama. "...teman gue kalah."
YOU ARE READING
REMATCH
Romancere·match /ˈrēˌmaCH/ [noun] a second match or game between two teams or players. Katanya, keberhasilan adalah kombinasi dari kemampuan dan daya juang. Tapi, kenapa titik 'berhasil' itu tidak kunjung didapat meski sudah punya keduanya? Katanya, ketika...