"Apa lagi ya yang kurang?" Gwen memperhatikan koper besarnya yang terbuka dan sudah terisi bermacam-macam perlengkapan tanding dan barang pribadinya. "Deterjen, udah. Gantungan baju, udah..."
"Sambel udah, Gwen? Penting, tuh," tukas Siska.
Gwen menepuk jidatnya. "Lupa. Besok deh mampir ke minimarket." Ia beringut ke tengah-tengah antara Siska dan Arini yang selonjoran di ranjangnya. "Vinda sama Kak Callista beneran pulang?"
"Iya, tapi Kak Callista besok balik, kok." Lagi-lagi Siska yang menjawab. "Vinda juga udah pulang, lagi nggak enak badan, katanya."
"Kenapa nanyain mereka?" Arini yang sejak tadi sibuk dengan game ponselnya akhirnya buka suara. "Mau nawarin oleh-oleh emang? Enak banget ya, tiga minggu ke depan bolak-balik Eropa-Asia."
"Kenapa sih dari tadi dia sinis melulu, Sis?" Alih-alih bertanya kepada Arini langsung, Gwen menujukannya kepada Siska. Mood Arini yang sepertinya sedang kacau lebih baik tidak diusik.
Siska mengedikkan bahu. "Tahu, deh. Lagi PMS kali."
"Lo pernah mikir, nggak, kenapa gue sama Siska yang lebih lama di ganda campuran tahun ini belum sekali pun dikirim ke turnamen internasional, tapi kalian, lo dan Irfan, yang baru aja dipasangin akhir tahun lalu udah melalang buana ke mana-mana?"
"Ya gue nggak tahulah, tanya aja sama Coach Surya," jawab Gwen. Cara berbicara Arini yang ketus membuatnya turut melakukan hal serupa.
"Coach Surya?" Arini tersenyum mengejek. "Bukannya nanya ke Coach David? Segala keputusan para pelatih tergantung persetujuan bokap lo. Enak deh biaya turnamen ganda campuran larinya ke lo sama Irfan semua."
"Ya udah, sana tanya ke Coach David." Gwen sengaja menekan dua kata terahir dengan mimik wajah yang ia buat sejengkel mungkin.
"Sekarang gue tahu kenapa Puput benci banget sama lo."
Gwen mengernyitkan dahi. Obrolan Arini semakin keluar batas. Di sisi kanannya, Siska tampaknya mulai waswas. "Kenapa lo malah bahas Puput?"
"Emang susah sih kalau lawannya punya privilege, tapi syukur deh akhirnya Puput yang dilirik Pelatnas."
Gwen menarik napas panjang sebelum menanggapi ocehan Arini. Dia harus menyetok kesabaran sebanyak-banyaknya agar teriakannya tak meledek meski rasa-rasanya dia akan gagal. "Pertama, gue nggak tahu kenapa hari ini, no..." Gadis itu menggeleng. "...bukan cuma hari ini, belakangan lo agak ngeselin. Kedua, kalau lo pikir gue iri ke Puput, gue sama sekali nggak tertarik masuk Pelatnas dan lo pun tahu gue pernah nolak pas dua tahun lalu—"
"Dua tahun lalu lo dipromosikan ke Pelatnas karena Om lo ada—"
"Ini nggak ada hubungannya sama Om Hendrik, lo pun tahu di Pelatnas dia ngelatih tunggal putra." Gwen mengangkat tangan saat Arini terlihat akan memotong ucapannya lagi. "Ketiga, meski punya privilege, lo juga harus berbakat kalau mau menang. Lo harus punya ketekunan yang konsisten. Mau punya bokap Menpora pun kalau bakat lo tumpul dan latihannya ogah-ogahan, jangan ngarep bisa naik podium-podium bergengsi."
Arini menganga, mungkin saking tak menyangkanya Gwen bisa mengeluarkan pernyataan semenohok itu. "Jadi menurut lo... gue, Gading, Siska sama Nazril nggak—"
"Udah... udah!" Siska sigap berdiri dan menarik lengan Arini. "Kok pada debat gini sih? Udah ah yuk balik ke kamar!" Perlu usaha keras baginya menyeret Arini yang tampak tak ingin melepas tatapan bengisnya pada Gwen. "Gwen, good luck buat turnamennya. Good night!"

YOU ARE READING
REMATCH
Romancere·match /ˈrēˌmaCH/ [noun] a second match or game between two teams or players. Katanya, keberhasilan adalah kombinasi dari kemampuan dan daya juang. Tapi, kenapa titik 'berhasil' itu tidak kunjung didapat meski sudah punya keduanya? Katanya, ketika...