Sabtu sore ini Irfan mengunjungi klub tempatnya menempa kemampuan bermain bulutangkis selama bertahun-tahun sebelum diangkut Koh Hendrik ke Pelatnas PBSI. Konon, pelatihnya itu masih ada hubungan saudara dengan kepala pelatih PB Pamungkas; Coach David yang merupakan mentor andalan Irfan selama di klub. Coach David jugalah yang membuat Irfan datang ke sini, buntut dari telepon yang ia terima seminggu lalu.
Ada sensasi familier yang dapat Irfan rasakan ketika menginjakkan kaki di hall luas yang menampung belasan court ini. Secara tata letak memang tidak banyak perbedaan dengan hall di Pelatnas. Selain menyediakan lapangan berlatih, ada beberapa ruangan yang dipakai sebagai ruang medis, ruang-ruang pelatih dan administrasi, serta ruang fitness (para atlet di klub ini lebih suka menyebutnya sebagai ruang besi).
Irfan merasakan bahunya ditepuk dari belakang. Dan ketika menoleh, Coach David yang ke mana-mana selalu menggunakan topi sudah berdiri di balik punggungnya dengan muka serius, seperti biasa. Kalau orang yang tidak bergitu mengenal beliau, pasti akan menganggap Coach David sebagai sosok yang galak saat pertemuan pertama. Bagi Irfan, beliau tidak galak. Hanya berusaha untuk disiplin saja, mungkin.
"Ngobrol sambil jalan?" tawar Coach David.
"Boleh, Coach." Irfan menyamai langkah pelatih kawakan itu. Keduanya keluar dari arena hall dan mulai melewati lorong menuju asrama atlet putra yang makin terawat. "Sudah banyak yang berubah ya, Coach."
Coach David mengangguk. Irfan yang berada di sisi kiri Coach David baru tahu kalau beliau sedang memegang papan dada di tangan kanannya.
"Ruang besi kita peralatannya juga sudah makin lengkap, Fan."
"Wow." Irfan hanya meresponsnya demikian karena sedang berpikir kapan Coach David akan melontarkan maksud utama mengundangnya ke sini.
"Sudah ada kolam renang juga, dan jogging track-nya semakin diperlebar," tambah Coach David. "Nggak kalah kan sama fasilitas di Pelatnas?"
Irfan mengangguk kikuk.
Sebelum mencapai beranda asrama putra, mereka belok ke kiri, menuju bagian kantin. Seingat Irfan, tepat di belakang gedung kantin yang menyatu dengan dapur umum itu merupakan aula. Dulu, sebelum ada jogging track ia sering mengelilingi aula yang sangat luas itu di luar jam latihan, lalu berselonjor atau berbaring di roof-top setelah tenaganya terkuras. Semilir angin yang berembus sejuk dari atap selalu berhasil mengusir lelahnya.
"Kamu nggak minat kembali ke sini?"
Irfan mengusap-usap tengkuknya dan menunduk. Langkahnya pun terpaku, membuat Coach David ikut-ikutan berhenti. "Belum tahu, Coach. Saya kepikiran mau bantu-bantu Ayah saja di toko."
"Karena hidupmu ke depannya sudah dijamin sama pemerintah, jadi nggak mau peduli lagi dengan bulutangkis, begitu?"
Irfan mendongak. "Maksudnya?"
"Setelah berhasil dapat emas beregu Asian Games dua tahun lalu, sudah pasti ada jaminan hari tua, kan?"
Mengerti maksud Coach David, Irfan tersenyum lagi. Meski sebenarnya agak kecewa dengan konklusi yang pelatih paruh baya itu simpulkan, dirinya harus ingat bahwa beliau merupakan orang yang harus ia hormati. "Bukan begitu, Coach. Saya cuma... semacam kehilangan motivasi. Rasanya semua jalan menuju juara sudah buntu."
"Kalau saya jamin dengan kembalinya kamu ke sini bisa menemukan jalan itu lagi, kamu bersedia?"
Irfan meringis samar. Kedua telapak tangannya saling menggosok, sebuah tindakan yang merefleksikan rasa bingung. Bukan bingung antara jawaban ya atau tidak, dia hanya tidak tahu harus menolak dengan kalimat sehalus apa lagi. Seperti yang dapat Irfan tebak, datang ke sini merupakan keputusan yang salah. Rasa sungkan membuatnya mengabaikan kata hati yang sudah berkali-kali melarang.
YOU ARE READING
REMATCH
Romancere·match /ˈrēˌmaCH/ [noun] a second match or game between two teams or players. Katanya, keberhasilan adalah kombinasi dari kemampuan dan daya juang. Tapi, kenapa titik 'berhasil' itu tidak kunjung didapat meski sudah punya keduanya? Katanya, ketika...