"Ada siapa, Yah?" Tami segera memakai jilbab panjangnya, ibunya melakukan hal yang sama sambil mengambil bungkusan dari tangan Pak Michael,
"Ituu santri yang Ayah ceritain kemaren, isinya apa, Bu?" Tanya Ayah Tami kepada istrinya,
"Waaah, lobster bakar, Alhamdulillaaah, gede-gede lagi" Seru Bu Rahmi setelah membuka bungkusan,
"Asiik makan enak kita malem ini, Bu, bikinin teh ya." Tanpa disuruh dua kali, Bu Rahmi segera membuat dua cangkir teh manis.
"Masuk dulu, Din," Pak Michael menyuruh Razi yang seperti membeku di depan pintu untuk masuk ke dalam. Kenapa nih anak?
"Kamu kenapa? kedinginan ya?" Tebak beliau, diluar memang sedang agak dingin,
"Eh, iya makasih om, nggak kok gapapa" Razi melangkah masuk dan duduk di sofa besar ruang tamu yang terbuat dari kayu jati ukir. Dia langsung menunduk seperti terdakwa yang sedang menerima vonis. Razi benar-benar mati kutu. Otaknya mendadak berfungsi sangat lambat di waktu yang kurang pas, aduh harus gimana gueee!
Kepanikannya semakin menjadi ketika Bu Rahmi ikut bergabung diikuti oleh Tami yang membawa cangkir teh, Tami lalu meletakkan teh itu di depan ayahnya,
"Loh? Mas Razi?" Cangkir kedua belum menyentuh meja ketika Tami
menyadari siapa tamu malam itu, pandangan mereka bertemu sesaat, membuat wajah Razi semakin pias,"Kok Razi sih? Ini Udin, anaknya Kyai Anshar." Tukas Pak Michael,
"Bukan Yah, ini Mas Razi." Balas Tami sambil duduk di seberang Razi,
"Ini Udin, Ayah pernah ketemu kok"
"Mas Razi Yaah,""Udin"
"Nama saya... Razi Khairudin Om," Razi akhirnya angkat suara, sesaat kemudian dia menunduk
kembali,"Ayah dibilangin, ini Mas Razi, yang kemaren Tami ceritain mau... Ta'aruf." Sekarang giliran Tami yang menunduk menyembunyikan wajahnya yang mulai panas,
"Sebentar... Razi... Udin..." Bu Rahmi ikut berbicara sambil menatap Razi dan anaknya bergantian,
Untuk beberapa saat, ruang tamu itu mendadak hening..
"Hahaha Masha Allah, bisa ya kebetulan gini," Tawa Pak Michael mencairkan suasana, Razi dan Tami tersenyum malu. "Aduh, Om masih gak nyangka nih, Masha Allah, Subhanallah, ayo Din, eh Raz, diminum dulu."
Tanpa disuruh dua kali, Razi mengambil cangkir beserta piring kecilnya dan langsung meneguk teh itu, tapi dia lupa bahwa tehnya masih panas, Pak Michael sampai harus menepuk-nepuk punggungnya karena tersedak air teh, membuat tawa Pak Michael semakin berderai dan Bu Rahmi terkikik geli,
"So.." Pak Michael menyeruput tehnya sedikit setelah batuk Razi reda, "Jadi Razi ini ceritanya mau sama anak Om?"
Aduh to the point banget sih, batin Razi, dia mengangguk pelan. Rasanya ingin sekali Pak Michael langsung menerima Razi, tapi nalurinya sebagai orang tua menuntut untuk berpikir jernih,
"Sebagai orang tua, Om berterima
kasih ke kamu udah mau kenal lebih deket sama Tami, Om juga merasa terhormat karena yang mau sama Tami itu anak Pak Kyai. Tapi maaf sebelumnya, boleh Om tanya beberapa hal?""Silakan Om." Jawab Razi pelan,
"Kalau boleh tau, kesibukannya apa selain di pesantren?" Tanya Pak Michael,
"Sebenernya saya belum ada pekerjaan tetap Om." Razi mengerti maksud Pak Michael, "biasanya bantu temen di Wedding Organizer, restoran, kadang juga ikut bantu di travel agent punya murabbi saya, " Razi menjawab setenang mungkin,
"Kamu biasa ngaji dimana?" Sebenarnya pertanyaan agak aneh, mengingat Razi tinggal di pesantren, tapi Pak Michael tetap menanyakan hal itu,
"Saya ikut banyak kajian Om, gak cuma apa yang ada di Ar-Rayah, kadang di As-Shaf juga, apapun itu selama masih masuk koridor sunnah,"
Jawaban Razi sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk Pak Michael, namun entah kenapa hatinya masih tergerak untuk terus menanyai calon menantunya ini,
"Kalau boleh tau, alesan kamu suka sama Tami itu apa?"
Razi seperti kram lidah, sedetik kemudian dia menghela napas pelan dan melafalkan doa nabi Musa dalam hati,
"Terlalu banyak alesan yang harus diungkap kenapa saya milih Tami sebagai pendamping hidup, dan saya nyerah kalau disuruh cari alesan buat balik badan dan nunggu keberuntungan lain."
Jawaban sederhana dari Razi membuat Tami menitikkan air mata, rasa haru membuat ruang tamu besar itu hening untuk kedua kalinya, Bu Rahmi menggenggam erat tangan Tami sambil mengusap pundak anaknya, Pak Michael menyandarkan tubuh di sofa, menatap Razi dengan bangga, dia merasa beruntung ada pemuda seperti ini yang ingin meminang anaknya.
Razi lalu menceritakan beberapa fakta dirinya yang tidak dia tulis di CV, seperti mengapa dia baru lulus kuliah setelah delapan tahun, sejarah mengapa dia mengerti bahasa belanda, mengapa dia bisa tinggal di pesantren dengan Kyai Anshar sebagai orang tua angkatnya, dan juga tentang beberapa pekerjaan lain yang membuat keluarga Halim semakin kagum, terutama Tami yang hampir tidak berbicara selama pertemuan mendadak itu karena terhanyut dalam cerita Razi.
Sekali dua kali Bu Rahmi menyela dengan pertanyaan mengenai keluarga Razi. Tami hanya mengetahui bahwa Razi lahir di Garut dan mempunyai lima orang adik, malam itu dia mengetahui informasi lainnya seperti Ayah Razi yang sudah meninggal ketika dia baru kuliah tingkat empat dan dua adiknya yang sekarang sudah sukses.
"Aduh maaf Om, Tante, Tam.." Razi hanya berani menatap Tami sekilas, "Saya harus pulang sekarang, nanti Kyai nungguin, soalnya saya pake
mobil beliau.""Ooh gitu, padahal Om baru mau ngajak makan malem, sekali lagi, Om sih seneng Razi mau sama Tami, tapi keputusan tetep ada di tangan Tami. Jangan langsung dijawab Tam, istikharah dulu ya."
Tami mengangguk pelan, hampir saja dia langsung mengiyakan bahwa dirinya bersedia menjadi istri Razi, tetapi dia tidak mau mengambil keputusan sebelum membawa permohonan itu dalam sujudnya.
Pak Michael menepuk pundak Razi ketika dia beranjak berdiri, Razi mencium tangan Pak Michael takzim, dan menyalami Bu Rahmi dengan bersedekap tangan di dada. Mereka bertiga ikut beranjak dan mengantar Razi keluar,
"Om Tante, saya pulang dulu ya, makasih banyak buat malem ini" Razi membungkukkan badannya sedikit, "Duluan ya, Tam" Razi berpamitan kepada Tami sambil menunduk, dia lalu masuk ke mobil dan menstarter mobilnya, sambil melambaikan tangan, mobil Avanza silver itu mulai melaju meninggalkan ketiga anggota keluarga Halim di keheningan malam komplek Emerald View.
Mereka bertiga kembali masuk ke
rumah tanpa berbicara sepatah kata pun. Ketika sudah masuk rumah, Tami tak kuasa menahan tawa karena kegirangan,"Cieee anak Ayah ada yang naksiiir." Pak Michael menjawil lengan Tami yang seperti sedang bermimpi terbang dengan awam tinton.
Tami hanya tersenyum lebih lebar sambil berusaha menutup wajahnya yang masih terasa panas. Sekarang nama Razi terdengar seperti alunan harpa di tebing Lorelei yang membuat dirinya ingin memberikan apapun yang dia miliki kepada pemuda itu,
Apapun....
Bersambung