Auriga merebahkan tubuhnya diatas kasur king size nya. Matanya menatap lurus kearah langit-langit kamar, kedua tangannya ia gunakan sebagai penyangga kepala. Auriga menghela napas perlahan kemudian membuangnya kasar.
Setelah dipikir-pikir, ternyata rasa cintanya sudah sangat besar pada Aurel. Namun selalu saja, Aurel tidak pernah meliriknya sama sekali. Tak apa lah, biarkan rasa cintanya tumbuh seiring berjalannya waktu.
Badannya ia tegakkan, Auriga beranjak untuk sekadar membasuh wajahnya yang tampak lusuh. Sepuluh menit setelahnya, Auriga mengganti pakaiannya dengan celana pendek dan kaus putih polos. Ia rebahkan tubuhnya kembali pada kasur empuknya.
"RIGAAAA." Teriakan yang berasal dari bawah itu sangat memekikkan pendengaran Auriga. Lantas Auriga memejamkan matanya sambil meringis. Auriga yakin, teriakan tadi adalah teriakan maut Ibunda tercinta-nya.
Auriga menegakan tubuhnya, bersiap untuk turun ke lantai bawah tempat Bundanya berteriak.
"Aduhh bunda, Riga juga masih bisa denger. Gak usah teriak-teriak napa bun." Auriga meringis sambil mengusap telinganya. Terlihat kilatan amarah tersimpan dikedua mata Bundanya.
"Mana makanan si Mpus?" Marisa kini melipat kedua tangan didadanya.
"Makanan? Si Mpus?" Auriga menggaruk lehernya yang tak gatal sama sekali, lupa dengan titipan sang Bunda tercinta-nya itu.
"Iya. Mana makanan si Mpus?" Marisa merotasikan bola matanya jengah. Selalu saja seperti ini ketika memerintah anak semata wayangnya itu. Lupa, lupa dan terus saja lupa. Memang, Auriga tipe orang yang pelupa.
Auriga nyengir tak berdosa kearah Marisa.
"BELIIN SEKARANG!!"
"Aduhh bun, besok aja deh. Udah malem juga." Auriga mengeluh dengan perintah Bundanya itu.
"Justru udah malem, si Mpus kasian belum makan dari siang Rigaaaa. Sekarang aja udah ngambek." Marisa menggerutu kesal dengan sifat pelupa anaknya itu.
"Kasih ikan asin aja lah bun. Ribet amat."
"Mpus gak suka ikan asin sayangggg. CEPET BELIIN KALAU NGGAK MOTOR KAMU-" Marisa menggantungkan kalimatnya. Auriga langsung berlari kearah kamarnya untuk mengganti pakaiannya. Jurus itu sangat ampuh yang Marisa gunakan untuk mengancam Auriga.
Secepat kilat Auriga mengganti pakaiannya. Penampilannya terlihat santai, Auriga hanya memakai kaus putih polos yang dipadukan dengan jaket jeans juga celana hitam beraksen robek pada lututnya, tak lupa pula sneakers berwarna abu melekat pada kaki besarnya.
Marisa tersenyum senang melihat putranya menuruti kemauannya.
"Yaudah bun, Riga pamit dulu ya. Assalamu'alaikum." Auriga menyalami Marisa yang sedang duduk menopang dagu di ruang keluarganya.
"Hati-hati Auriganteng. Walaikumsalam."
°°°
Jam sudah menunjukan pukul 21.00. Aurel berlari mengikuti arah kakinya kemana ia pergi. Pikirannya sangat kacau. Ketika tadi Aurel keluar dari restaurant itu, matanya menangkap dua cowok yang memakai hoodie yang sama.
Aurel memejamkan matanya sebentar dengan isakan kecil. Aurel bersembunyi dibalik tembok besar agar tidak ketahuan oleh kedua cowok itu.
Mungkin malam ini mereka akan bertemu dengan Ayahnya lagi. Malam ini juga ia prediksi akan ada adu jotos antara anak dengan ayahnya.
Aurel berlari menyusuri trotoar jalan, pipinya masih dibanjiri bulir bening yang berasal dari pelupuk matanya. Di pertigaan, Aurel berniat ingin menyebrang, pandangannya mengabur.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Stay✔
Teen FictionIni tentang mereka yang menyayangiku. Tentang mereka yang masuk dikehidupanku. Tentang mereka pula yang menghancurkan kisah cintaku. Biarkan aku yang menikmatinya. Menikmati alur yang ku buat sendiri dari awal. Dan... Biarkan aku menghancurkan diri...