17. Serasi?

797 50 0
                                    

Shevania, Asad, dan Mega sudah ada di dalam ruang rawat Vita sekarang. Shevania dengan cepat memeluk Vita, tak perlu waktu lama Vita membalasnya dengan memeluk balik dengan erat. Julia tidak sedang di dalam ruangan sekarang, ia sedang pergi keluar untuk membeli makanan.

"Kamu gak papa, kan?" tanya Shevania sembari melepas pelukannya.

"Enggak kok," balas Vita sambil menggelengkan kepala.

"Kok kamu bisa kecelakaan gini?" tanya Shevania heran.

"Ya, tadi tuh gue nekat naik motor sendiri, kan lo tahu sendiri gue belum mahir banget naik motor, trus di jalan gue mau nabrak tukang cilok yang tiba-tiba aja nongol gitu aja, ya udah deh gue milih nabrakin diri gue ke pohon yang gak jauh dari situ." perjelas Vita sambil menggenggam tangannya kuat.

"Subhanallah, kenapa kamu gak naik ojek online aja?" saran Shevania lembut.

"Gue udah coba, tapi lama banget gak dateng-dateng. Ya udah deh, gue nekat aja naik motor sendiri."

"Oohh..." balas Shevania singkat.

"Shev," panggil Vita tiba-tiba.

"Hm,"

"Kamu sama Asad janjian, yak?" tanya Vita sambil melirik kearah Shevania dan Asad secara bergantian.

"Hah?" Shevania kebingungan sendiri.

"Baju kalian kok bisa serasi gitu?" gumam Vita heran.

Shevania menatap kearah Asad, begitupun sebaliknya. Asad tersenyum senang, sedang Shevania menunduk sebentar lalu menatap Vita kembali. Apa ini? Kenapa sedari tadi ia tak menyadari ini? Mereka mengenakan baju berwarna biru laut.

"Khm, ada yang mau kondangan kayak nya." ketus Mega merasa tak dianggap sedari tadi.

"Enak aja, lo. Ini namanya anugrah dari Tuhan yang artinya kita itu emang cocok." ketus Asad membela diri.

"Elah lu. Emang Shevania mau?" ketus Mega.

"Jelas mau lah." pekik Asad menjawab sendiri.

"PD banget lo, jadi orang. Mending gue jomblo tapi gak mengigau di siang bolong." ketus Mega mencoba jujur.

"Ngaco lo! Orang tiap hari lo mengigau di siang bolong juga, masih suka ngelak aja."  sindir Asad asal ceplos.

"Suka-suka gue lah!" sinis Mega sambil menyimpan tangannya di depan dada.

Asad hanya memutar bola matanya jengah. Selalu saja begitu, saat mereka berdebat dan Mega selalu saja ingin memenangkan perdebatan itu.

                        ***

Umi duduk di sofa yang tak jauh dari ranjang Abi tergeletak. Umi mendesah singkat, lalu menggenggam tangannya kuat-kuat. Rasanya hampir tak percaya jika Abi memiliki penyakit lain. Umi pikir satu penyakit saja sudah membuatnya sedih karena tak sanggup melihat Abi menahan rasa sakit.

Vino menghampiri Umi dengan langkah penuh hati-hati. Vino duduk di samping Umi, dan menatap Umi dengan lekat. "Umi kenapa?" tanya Vino khawatir. Sedari tadi Vino memperhatikan gerak-gerik Umi tanpa Umi sadari.

"Gak papa." balas Umi mencoba bersikap biasa-biasa saja.

Kalian pasti tahu, kalau naluri ibu dan anaknya sangat kuat. Mereka terikat secara batiniah maupun lahiriah. Vino mengerti apa yang dirasakan oleh ibunya saat ini. Air mata di pelupuk matanya yang hampir saja menetes namun sempat ia tahan dengan senyuman kecil. Vino sangat mengerti itu. Vino bukanlah bayi kecil yang bisa dibohongi dengan permen ataupun balon. Kini ia sudah dewasa, sudah saatnya ia memahami perasaan Umi. Semua yang terjadi Vino berhak bertanggung jawab atas ini.

"Umi, jika Umi sedih terus-terusan nanti Abi juga ikut sedih loh. Umi senyum ya, Vino yakin Allah selalu memberi kemudahan bagi setiap hambanya yang bersabar dan ikhlas dalam menjalani setiap cobaan yang di berikan oleh-Nya." ujar Vino sambil mengelus tangan Umi.

Umi tersenyum singkat, "Vino, Insyaallah Umi ikhlas atas semua ini. Hanya saja Umi tidak kuasa melihat Abi yang sakit-sakitan." kata Umi jujur.

"Vino tahu, sulit bagi Umi untuk menerima semua ini. Karena, Umi sangat mencintai Abi. Jadi, buatlah Abi tersenyum dengan senyuman yang Umi miliki." kata Vino sambil tersenyum hangat.

Umi hanya mengangguk mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh anaknya. Dan Umi menyadari satu hal saat ini. Bahwa sekeras apapun kita mencoba berusaha untuk menutupi kebenaran hidup, sekeras itu pula kebenaran tetap terkuak.

"Vino," panggil Umi pelan.

"Iya?"

"Umi bingung mau gimana lagi untuk  membayar semua biaya berobat Abi. Sedang, sudah lama Abi tidak bekerja, dan Umi sendiri juga udah beberapa hari ini gak menjahit." keluhnya.

"Sabar Umi. Insyaallah rezeki selalu ada. Besok Vino bantu cari uang ya."

"Terima kasih banyak, Nak." ucap Umi kemudian mencium pucuk kepala Vino.

Memang Vino sudah bekerja beberapa bulan yang lalu, tapi tetap saja belum cukup untuk memenuhi semua kebutuhannya. Secara, biaya sekolah Shevania juga ia yang menanggung.

Bukannya tak ikhlas, tapi Vino sendiri juga butuh uang untuk mempersiapkan acara pernikahannya dengan Zulaiha. Vino benar-benar bingung saat ini. Bagaimanapun juga, keluargalah  yang terpenting.

                         

Cinta Yang Aneh 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang