Seluruh kastil sunyi. Sebagian besar orang sudah tidur. Bahkan Mrs Norris meringkuk di samping api yang hampir mati dan tertidur lelap. Tapi ada dua orang yang masih terbangun jauh di dalam ruang bawah tanah yang gelap di kastil. Harry dan Draco bekerja dalam keheningan di laboratorium Ramuan. Kuali di depan mereka menggelegak, uap berwarna ungu keluar.
Draco menatap dalam diam ketika Harry sedang mengerjakan ramuannya. Ia membuang muka dan berkonsentrasi pada kuali. Dia bertanya-tanya untuk kesepuluh kalinya malam itu mengapa Harry membutuhkan begitu banyak ramuan tidur tanpa mimpi.
"Ayo keluarkan dan tanya," Harry menarik Draco dari pikirannya.
Pria berambut pirang itu menatap temannya dan menyipitkan mata ke arahnya.
"Apa?" dia bertanya.
"Kau pasti bertanya-tanya tentang ramuannya, kan? Tanya saja," kata Harry.
"Kenapa kau berpikir begitu?" tanya Draco, bertanya-tanya bagaimana Harry bisa selalu tepat memikirkannya.
"Tidak sulit, Draco, kau terus melihat kuali dan kemudian menatapku," Harry menjawab sambil tersenyum.
"Sudah jelas, ya?" tanya Draco.
"Begitulah," jawab Harry sambil mengaduk ramuan berlawanan arah jarum jam.
"Baiklah, tolong beritahu aku kenapa kau butuh begitu banyak ramuan tidur?" tanya si Slytherin.
Harry tidak menjawab sampai ia berhenti mengaduk ramuannya.
"Aku muak bertanya pada Poppy untuk beberapa hal, aku berpikir mungkin dia akan terganggu dan mengadukannya kepada Mum dan Dad tentangku. Aku tidak tahan memikirkan ceramah lain dari mereka, jadi kupikir dengan bantuanmu, aku bisa membuatnya sendiri dalam jumlah banyak. Dengan begitu aku akan punya banyak jika aku membutuhkannya," jawab Harry.
"Aku yakin satu kuali sudah cukup, dengan jumlah ini kupikir kau berencana membuat seluruh sekolah tidur!" Draco bercanda.
Harry menatapnya mengejek.
"Itu sedikit berlebihan," dia berkomentar. Draco hanya tertawa.
"Serius, kenapa dua kuali?" tanya Draco.
Harry melihat ke atas dan melihat tatapan Draco yang serius di matanya.
"Aku mungkin hanya punya satu kesempatan untuk menyelinap pergi dan membuat ramuannya. Maksudku aku tidak bisa menghilang setiap malam. Jadi, itulah sebabnya aku memintamu datang malam ini dan membantuku, dengan begitu aku akan memiliki persediaan lebih dari cukup dan aku tidak harus terus menyelinap pergi untuk membuat lebih banyak, tapi bahkan rencana itu hancur, aku terganggu oleh keempat orang tadi yang bertanya tentang ke mana aku pergi!" Harry mendesah.
"Itu bukan salahku! Kau bilang kau sudah siap untuk pergi. Aku tidak tahu Weasley akan berteriak dan menarik sisanya bersamanya!" Draco berdebat.
Harry tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak bisa menahan senyumnya.
"Dia benar-benar bermasalah denganmu," Harry memberitahunya.
"Sungguh? Aku tidak akan pernah menduganya!" Draco tersentak membuat Harry tertawa. "Bukannya aku suka orang tolol itu, aku benar-benar bertanya-tanya bagaimana kau bisa tahan dengan mereka," dia menambahkan sambil mengamati Harry.
"Mereka hampir seperti kau," Harry menanggapi dengan sederhana, sambil mengukur beberapa cakar naga bubuk lagi.
Draco mendengus dramatis saat memikirkannya.
"Tidak, aku lebih suka minum bak pus Bubot daripada mengenal Weasley dan Granger! Apa kau melihat bagaimana reaksi mereka hanya karena aku masuk ke ruang rekreasi bodoh mereka? Bahkan aku tidak masuk ke sana dengan rela," Draco bergumam.
"Jangan mulai!" Harry main mata memarahi dia.
"Ayo, Harry, kupikir ini adalah bukti persahabatanku dengan aku datang ke ruang rekreasi Gryffindor dari semua tempat hanya untuk bertemu denganmu!" katanya.
Harry menghentikan apa yang sedang dilakukannya dan menatap Draco.
"Aku tidak membutuhkanmu untuk membuktikan persahabatanmu, Draco, kau sudah melakukan itu," dia memberitahunya dengan tenang.
Keheningan yang tidak nyaman terdengar pada kata-kata Harry. Draco mengalihkan tatapannya menjauh dari Harry dan mulai menambahkan bahan ramuan berikutnya ke kuali.
Dia dan Harry tidak pernah benar-benar berbicara tentang hari itu di Riddle Manor. Terlalu canggung dan menjengkelkan. Draco harus bertindak seolah dia telah menipu Harry. Dia harus bertindak seolah dia menangkap Damien dan menyerahkannya ke Voldemort di depan mata Harry. Itu tidak mudah dan Draco masih bergidik mengingatnya. Dia mengira hal yang paling sulit adalah menghadapi Voldemort dan berbohong kepadanya. Ternyata itu bukan apa-apa dibandingkan berbohong dengan sahabatnya. Dia masih bisa mengingat bagaimana Harry memandangnya, sangat menyakitkan di matanya. Draco dengan cepat menyingkirkan kenangan itu. Harry baik-baik saja. Ia bertahan dari semua itu dan merasa bahagia sekarang. Yah, setidaknya ia bertingkah seolah ia bahagia.
Draco melihat Harry lebih dekat saat remaja berambut gelap berkonsentrasi pada ramuannya. Draco bisa melihat bahwa Harry jauh dari bahagia. Dia ingat betapa bahagianya Harry saat ia bersama Voldemort. Dibandingkan dengan itu, Harry yang ini benar-benar sedih. Tidak mengejutkan kalau Harry tertekan. Semua yang ia cintai telah diambil darinya. Sebaliknya ia terjebak dengan orang tua yang mengganggu hal terkecilnya dan teman yang tidak memahaminya. Tidak seperti dia, Draco memahaminya. Mereka berteman sejak mereka masih kecil. Harry bahkan tidak perlu membuka mulutnya berkali-kali, Draco akan tahu apa yang ia inginkan. Dan saudaranya, Draco menahan erangan yang ingin meledak dari mulutnya saat memikirkan anak berusia empat belas tahun itu. Anak itu begitu luar biasa naif. Anak itu benar-benar mengira Harry akan bertahan. Yah, dia benar-benar terkejut. Draco tahu bahwa hanya masalah waktu sebelum Harry menyerah dan meninggalkan semuanya. Jika hal-hal terus berlanjut seperti ini, Harry mungkin akan pergi sebelum akhir tahun ajaran.
Draco mulai memotong ramuannya, memikirkan tentang Harry yang pergi. Dia tidak yakin apakah dia ingin Harry pergi dari tempat atau tidak. Menjadi temannya, Draco merasa perlu agar temannya bahagia. Dan Harry tidak senang di sini. Ia bukan anak normal dan harus hidup seperti anak biasa lainnya. Tapi, dan Draco benci mengakui ini, ada kalanya Harry hampir senang dengan keluarga Potter. Cara ia dulu bersama Voldemort. Dia baru melihatnya beberapa kali. Kalau saja mereka menghabiskan waktu bersama lebih lama.
"Draco?"
Slytherin mendongak dan melihat Harry menatapnya.
"Ya?" dia menjawab.
"Kenapa kau tidak mengaduk ramuannya?" tanya Harry.
Draco menunduk dan melihat ramuannya mulai menebal karena tidak aduk. Dia cepat-cepat menatap campuran itu, mengutuk pikirannya yang melamun. Sekarang bukan saatnya memikirkan hal-hal ini.
Harry menggelengkan kepalanya dan mulai menambahkan sentuhan akhir pada ramuannya.
"Jika kau mengacaukan ini, aku akan membuat kau minum semuanya dalam satu tegukan," Harry menggoda.
Draco memelototinya.
"Baiklah, kau harus membuat semuanya lagi sendiri!" dia menjawab. "Lagipula kenapa kau ingin aku membantumu? Kau bisa meminta bantuan salah satu Gryffindork untuk membantumu!" pekik Draco, dengan panik mengaduk ramuannya yang kental itu.
Harry menyeringai pada kalimat itu. Draco biasa memanggil mereka 'Gryffindorks' saat dia memberi tahu Harry tentang 'petualangan Hogwarts-nya'.
"Aku bisa tapi aku tidak mau, sudah cukup membicarakan itu dan perbaiki ramuannya," Harry menginstruksikan.
Draco berhasil membawa ramuan itu ke konsistensi yang benar. Dia mendesah lega secara mental. Dia tidak tahu apakah Harry bercanda atau tidak tentang membuatnya minum seluruh ramuan itu dalam satu kali teguk. Mengetahui Harry, itu adalah kemungkinan nyata ia akan melakukan hal itu.
Kedua anak laki-laki itu duduk untuk mendinginkan ramuan sebelum Harry memasukkannya ke botol.
"Apa kau akan memberi tahuku kenapa kau merasa perlu minum ramuan tidur?" tanya Draco saat keduanya duduk.
Harry tidak langsung menjawab. Ia terus membuat wajahnya sesantai mungkin.
"Jika aku pergi, aku pasti sudah melakukannya," jawab Harry.
"Harry ..." Draco memulai.
"Tolong ceritakan, Draco, aku tahu, mungkin lebih dari kau, tentang bahaya overdosis, aku tahu apa yang sedang kulakukan sehingga berhenti khawatir. Selain itu, ini bukan seperti aku melakukan sesuatu yang salah," jawab Harry.
"Tentu saja tidak, karena itulah kau berada di sini di tengah malam, menyeduh dua kuali penuh, menjaganya dari orang tuamu, adikmu dan temanmu. Nah, teman-temanmu, " Draco mengoreksi dirinya sendiri.
"Aku meminta kau untuk datang malam ini supaya aku tidaj menghadapi omong kosong lagi! Jika aku menginginkan sebuah ceramah, aku akan meminta Hermione untuk ikut denganku," kata Harry.
Draco menarik wajah jijik.
"Jangan bercanda!" kata Draco.
Harry mengabaikan kemarahan temannya. Bukannya ia akan berhenti jika Draco memintanya.
"Dengar, ini bukan masalah besar, aku hanya kadang-kadang membutuhkannya," Harry mencoba untuk tidak memikirkan kebenaran, bahwa ia membutuhkannya setiap malam. Butuh seluruh kekuatan untuk Harry memberi dirinya sendiri istirahat dari ramuannya untuk menghindari kecanduan. Ia bisa minum ramuan itu selama satu minggu berturut-turut. Ia kemudian harus berhenti mengkonsumsi ramuan ini selama dua minggu sebelum minum lagi.
Harry melihat teman terbaiknya berjuang untuk mengajukan pertengkaran.
"Kau bisa melakukan apa yang kau suka, kamu selalu bisa. Tapi Harry, lihatlah dirimu sendiri yang mulai ketergantungan pada ramuan ini, dan ini bukanlah sesuatu yang patut dicontoh," Dia mengatakan dengan serius.
Harry menertawakan ekspresi wajah Slytherin.
"Merlin, Draco, kurasa aku tidak pernah melihatmu seserius ini!" ia bercanda.
Draco berhenti berbicara dengan Harry tentang ini. Dia tahu Harry tidak mau mendengarkannya.
••••
Keesokan paginya, saat Harry masuk ke ruang rekreasi, dia mendapati dirinya dibanjiri pertanyaan oleh keempatnya. Mereka semua ingin tahu ke mana dia pergi bersama Draco.
"Dan berikan petaku!" Damien meneriakinya.
Dengan seringai, Harry mengeluarkan peta dari sakunya. Damien cepat mengambilnya dari tangan Harry. Ia memasukkan peta itu ke sakunya sambil melotot pada Harry.
"Aku tidak percaya kau mencuri peta itu dariku!" ia komplain.
"Aku tidak mencurinya, aku meminjamnya," kata Harry dan berjalan menuju lubanh lukisan.
"Kau tidak akan memberitahu kami ke mana kau pergi, bukan?" Ron bertanya, suaranya dingin dan tajam.
"Tidak," jawab Harry.
Keduanya saling pandang diam-diam untuk tidak menanyai Harry lebih jauh lagi.
Ron terus mengawasi Harry sejak saat itu. Ia tahu Harry tidak akan mendengarkannya jika ia memberitahunya teorinya tentang Draco, karena dia berteman dengan Slytherin yang sombong tapi Ron tahu ada sesuatu yang tidak beres dengannya. Draco bukan orang yang baik. Si pirang telah berada di Hogwarts selama tujuh tahun, dan tidak sekali pun ia menunjukkan belas kasih kepada siapa pun. Anak itu tidak punya teman karena ia sama sekali tidak tahu apa arti teman.
Ron tidak percaya apa yang dilakukan Draco memanggil Auror ke Riddle Manor juga asli. Dari apa yang Ron lihat, Draco tidak diberi pilihan dalam masalah ini. Profesor Dumbledore dan Snape pada dasarnya menempatkannya di tempat dan mengatakan kepadanya bahwa dia harus membantu mereka. Itu mungkin satu-satunya alasan mengapa Draco ikut dengannya. Bagaimanapun, ayahnya adalah Pelahap Maut yang kotor, seolah-olah akan membiarkan Voldemort menyakiti Draco! Ron memikirkan keputusan bahwa Draco bukan teman dan anak itu tidak berguna. Semakin jauh ia dari Harry, semakin baik itu.
••••
Ron menarik selimut lebih dekat ke arahnya saat dia diam-diam melihat Harry mengeluarkan botol ramuan lagi. Harry mengira tidak ada yang melihat, dia punya alasan bagus untuk memikirkannya. Saat itu jam tiga pagi dan biasanya semua orang sudah tidur nyenyak.
Ron tidak bisa tidur. Pikirannya kusut karena khawatir. Dia menerima surat pagi itu dari Charlie. Ia kembali ke Rumania, bekerja bersama naga. Ia menulis surat kepadanya, menginstruksikannya untuk menjaga Ginny jauh dari Harry. Ron tidak ingin memikirkan semua hal yang ua katakan tentang Harry. Memanggilnya dengan 'pembunuh tak berperasaan' dan 'dingin dan kejam'. Hal itu membuatnya sedikit kesal. Ron telah melempar surat itu ke dalam api dan tidak memberi tahu siapa pun tentang hal itu. Bahkan Hermione pun tidak. Dia tidak bisa mengerti mengapa Charlie begitu melawan Harry. Hari itu di Hogsmeade, saat Damien berbicara dengannya, Ron yakin Charlie akan berubah. Tapi setelah Harry menyerang Daywalker, penolakan Charlie terhadapnya menjadi lebih tegas. Ia tidak pernah mendengarkan apa pun yang dikatakan orang lain. Di matanya Harry sama buruknya dengan ... Ron menutup matanya untuk mencoba dan melupakan apa yang telah ditulis Charlie. 'Sama jahatnya dengan Voldemort!'
Ron terbangun saat mendengar Harry membuka laci dengan tenang. Dia mengintip dari balik tirai dan melihat Harry membuka botol itu dan meminumnya sekaligus. Ron memperhatikan saat Harry menghilang di balik tirai. Ron merasa hatinya berdetak semakin cepat memikirkan apa yang baru saja disaksikannya. Harry tampak sangat terguncang. Dari sekilas kilat yang dilihatnya, ia pucat dan menggigil. Tangannya gemetar saat membuka sumbat botol itu. Tidak sulit untuk menguraikan apa yang telah terjadi. Harry mengalami mimpi buruk. Ron tahu apa yang Harry harus lakukan sekarang. Bisa jadi hanya satu hal. Ramuan tidur tanpa mimpi. Ron merasa kulitnya terasa geli karena khawatir. Itu pasti yang dia lihat beberapa malam yang lalu. Seberapa sering Harry mengambil ramuan ini? Tentunya ia tahu apa akibatnya jika minum terlalu banyak. Semua orang tahu tentang kecanduan obat tidur.
Ron memutuskan akan berbicara dengan Harry tentang ini. Dia cukup yakin hasilnya apa, tapi dia masih merasa harus memberitahunya bahwa dia tahu tentangnya yang mengambil ramuan itu.
'Mungkin aku terlalu berlebihan. Mungkin baru dua kali dia minum ramuannya. Aku hanya kebetulan menangkapnya dua kali,' pikirnya dalam hati.
Tapi meski Ron jatuh tidur nyenyak dia tahu itu hanya angan-angan belaka. Dia telah menangkap Harry mengambil ramuan itu dua kali dalam waktu sepuluh hari. Dia baru menangkap Harry dalam dua kesempatan ini. Merlin tahu berapa kali Harry minum ramuan itu tanpa ada yang tahu.
••••
Harry berjalan pergi untuk sarapan bersama teman-temannya yang biasa. Dia mencoba agar kepalanya yang sakit hilang tapi tidak berhasil. Harry terbangun dengan perasaan tidak sehat. Dia tahu bahwa dia entah bagaimana demam. 'Bagaimana kejadiannya?' tanyanya pada dirinya sendiri.
Dia berjalan ke Aula Besar dan harus menekan erangannya saat cahaya pagi yang cerah membutakannya dan membuat kepalanya semakin parah. Menekan erangannya, Harry berjalan ke meja. Dia duduk dan hanya melihat makanannya, tahu dia tidak mungkin makan apapun.
"Guys, aku akan menyusul kaliam ke kelas, aku lupa buku transfigurasiku," Harry membuat alasan untuk pergi.
"Kita tidak ada transfigurasi hari ini, Harry." Hermione patuh mengingatkannya.
Harry duduk kembali dan melotot pada Hermione. 'Kenapa dia tahu segalanya!' pikirnya dalam hati.
"Makan sesuatu, Harry," Hermione berkata, mencemaskannya.
Harry memandangi sepiring makanan yang Hermione isi dan mendorongnya ke arahnya. Sakit kepalanya membuatnya sulit untuk berbicara tapi dia masih bisa mendesis padanya.
"Tinggalkan aku sendiri, Hermione."
Hermione menatapnya dengan heran. Ron, Damien, dan Ginny semua menatapnya dengan kaget.
"Harry, aku hanya mencoba ..."
"Berhenti seolah kau ibuku, itu menggangguku," kata Harry sambil mengusap pelipisnya untuk menghilangkan rasa sakit yang dialaminya.
"Maafkan aku," Hermione berkata, jelas sakit atas kata-kata Harry. "Aku hanya berusaha untuk membantu nafsu makanmu yang menurun akhir-akhir ini. Aku tidak ingat kau makan dengan banyak. Kau melewatkan makan dan jika tidak kau hanya memakan makananmu. Aku mencemaskanmu," Hermione berkata, terlihat sangat kesal.
Harry di sisi lain menjadi lebih kesal. Dia bukan orang yang paling sensitif saat ini. Saat dia sakit, itu hanya membuatnya semakin picik.
"Aku sudah bilang sebelumnya, Hermione, aku membawa kedua orang tuaku ke sini, aku tidak mau membuatmu khawatir, berkonsentrasilah pada kesehatanmu sendiri dan tinggalkan aku sendiri." Dengan mengatakan itu, Harry bangkit dan pergi, meninggalkan keempatnya yang menatapnya kaget.
Harry baru saja sampai di kamar mandi anak laki-laki sebelum muntah. Seperti kata Hermione, dia belum makan apa-apa sehingga tidak benar-benar memiliki sesuatu di dalam dirinya untuk dikeluarkan. Muntahannya yang kering hanya membuat sakit kepalanya lebih menyakitkan. Harry duduk di lantai, memegangi kepalanya dan mengerang pelan karena sakit.
Dia bisa merasakan getaran berjalan dan turun di punggungnya dan dia menggigil karena sensasinya. Dia bangkit dan memercikkan wajahnya dengan air hangat. Dia merasa tidak enak. Dia berdebat apakah dia akan lolos dengan kembali ke tempat tidurnya.
'Tidak ada gunanya. Aku tidak akan bisa tidur nyenyak dan aku tidak bisa minum ramuan tidur lagi karena baru tadi malam aku meminumnya.' Dia berkata pada dirinya sendiri.
Benci betapa sakitnya perasaannya, Harry menyeret dirinya ke kelas pertamanya yang merupakan Mantra. Dia berjalan masuk dan duduk di sebelah Ron. Hermione sedang duduk di sisi yang lain dan hanya mengabaikannya.
Saat kelas berlangsung, Harry semakin merasa lebih buruk dan lebih buruk lagi. Suara Profesor membuat sakit kepalanya lebih parah. Harry memejamkan mata dan mencoba menyuruh sakitnya untuk pergi. Itu tidak berhasil.
Hari berlalu dengan perasaan Harry yang relatif lebih buruk. Dia melewatkan makan siang, sekali lagi karena berpikir makanan membuat perutnya goyah. Menjelang akhir, Harry benar-benar lelah. Dia menyeret dirinya ke kamarnya, tidak ingin ada yang melihat betapa sakitnya dia. Dia mengeluarkan kotak kayu dan mengeluarkan obat penurun demam. Dia telah mengisi kembali kotaknya setelah kejadian Hogsmeade. Harry menelan ramuan itu dan menyurug dirinya untuk tidak mengembalikannya. Merasa menggigil, Harry membungkus dirinya ke tempat tidurnya dan tertidur dengan nyenyak.
Pada saat Ron masuk ke kamar, Harry tertidur lelap. Ron pergi tidur, berjanji pada dirinya sendiri untuk berbicara dengan Harry besok.
••••
"Harry, bangun."
Tidak ada respon. Ron mencoba lagi.
"Kau harus bangun sekarang."
Masih belum ada respon.
"Harry, aku tidak mengatakannya lagi, lepaskan pantatmu yang malas, sekarang!" teriak Ron.
Sebuah gumam terdengar seperti 'oke' terdengar dari ranjang Harry dan Ron pergi untuk menunggu di ruang rekreasi. Namun, Harry tidak datang dan setelah menunggu dua puluh menit, keempatnya pergi untuk sarapan.
"Mungkin seharusnya aku memeriksanya," gumam Damien sambil menatap pintu, menunggu Harry masuk.
"Dia mungkin akan menggigit kepalamu juga," Hermione berkata masih marah tentang cara Harry berbicara dengannya sehari sebelumnya. Ia mengabaikannya sepanjang sisa hari itu juga.
Damien tidak menjawab tapi matanya tetap terpaku pada pintu. Harry tidak turun untuk sarapan. Di meja staf, James dan Lily juga mengawasi pintu, menunggu putra sulungnya. Itu telah mengganggu mereka bahwa ia telah hilang dari waktu makan siang kemarin. Mereka sempat melihatnya sebentar saat sarapan tapi tidak setelah itu.
'Mungkin dia terlambat,' pikir James sambil menyelesaikan sarapannya sendiri.
Tak satu pun dari mereka tahu bahwa Harry telah jatuh tidur kembali. Tubuhnya gemetar saat demam memburuk. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat, membuat bajunya menempel padanya. Bahkan jika Harry sudah bangun, dia tidak akan bisa bangun dan menghadiri kelas apapun.
••••
Kelas pertama hari itu untuk tahun ketujuh adalah Pertahanan. James memperhatikan saat Ron dan Hermione masuk tanpa Harry. Jantungnya berdebar memikirkan Harry yang hilang. Ron menatap matanya dan mengangkat bahu ke arahnya, menunjukkan bahwa ia tidak tahu mengapa Harry hilang. James tidak bisa meninggalkan kelas untuk pergi dan mencari Harry, jadi dia dengan patuh melanjutkan pelajarannya. Dia menjadi sangat lelah dan kesal dengan hilangnya Harry.
Begitu kelas berakhir, Ron menghampiri James. Ia bisa tahu sepanjang keseluruhan ceramah bahwa James ingin bertanya tentang Harry.
"Terakhir kali aku melihatnya dia masih tidur," Ron memberitahunya saat ditanya tentang keberadaan Harry.
"Tidur?" tanya James heran. Harry bukan orang malas. Kenapa dia belum bangun?
James menuju ke atas untuk memeriksa Harry. Tentunya Harry masih belum bisa tidur, bukan? James masuk ke ruang rekreasi Gryffindor dan langsung menuju kamar Harry. Benar saja dia melihat tirai yang masih tertutup di atas tempat tidur Harry. Dia tahu ada yang tidak beres.
Dia mendekati tempat tidur dan memanggilnya.
"Harry, kau sudah bangun?"
Tidak ada jawaban.
James dengan lembut membuka tirai dan menatap anaknya yang tertidur, keringat menempel padanya sehingga rambutnya menempel di kepalanya. James mengulurkan tangan dan menyisir rambutnya di dahi Harry. Jari-jarinya menyentuh kulit Harry dan James langsung tahu bahwa Harry demam. Dia meletakkan tangannya di dahi Harry dan tersentak. Dia panas!
James menarik selimut dari tubuh Harry yang panas. Dia perlu menenangkan diri. Saat dia melakukan itu, mata Harry terbuka lebar. Dia menatapnya dengan bingung.
"Dad?" dia serak. Tenggorokannya kering.
"Yeah, ini aku," James menanggapi, merasakan insting ayah yang kuat. Dia tidak tahan melihat orang sakit, apalagi anaknya sendiri.
Mata Harry terbuka penuh dan ia melihat ke sekeliling ruangan, jelas bingung mengapa James ada di kamarnya.
"Apa ... apa yang kau lakukan di sini?" Harry bertanya, mencoba duduk tapi tubuhnya terasa sakit dan sepertinya dia tidak memiliki tenaga untuk bergerak.
"Memeriksamu," jawab James. "Kenapa kau tidak memberi tahu orang kalau kau sakit?" tanya James sambil meraih kendi berisi air dan menuangkan segelas air ke Harry.
Seketika, pertahanan Harry masuk.
"Aku tidak sakit!" serunya.
James memutar matanya.
"Benarkah? Yah, aku harus tidak setuju karena kau bahkan tidak bisa meninggalkan tempat tidurmu sekarang." Mungkin itu bukan hal terbaik yang bisa dikatakan kepadanya.
Harry memelototi ayahnya dan langsung memaksa dirinya bangkit. James memperhatikan saat Harry berusaha bangkit. Harry hanya berhasil mengangkat dirinya ke posisi duduk. James menyerahkan segelas air dan ia diam-diam mengambilnya. James bisa melihat rasa sakit dan demam menutupi matanya.
"Apa yang terjadi denganmu? Bagaimana kau bisa sakit?" tanya James.
Harry menatapnya. Ia tampak siap untuk membantah bahwa ia tidak sakit tapi kemudian memikirkannya dengan lebih baik.
"Aku tidak tahu, aku kemarin bangun dan langsung merasa seperti ini," Harry mengakui.
James mengira dia salah dengar. Harry merasa seperti ini sejak kemarin? Kenapa ia tidak memberitahu siapa pun? James memperhatikan saat Harry meneguk air dan dengan gemetar meletakkannya di laci tempat tidur.
"Apa kau berencana membiarkan orang tahu bagaimana perasaanmu?" tanya James secepat mungkin.
Harry menatapnya seolah dia marah.
"Um ... tidak, sebenarnya," Harry berkata ragu-ragu.
James hanya bisa menatapnya dengan jengkel.
"Kenapa aku harus memberitahu seseorang? Tidak ada hubungannya dengan mereka," jawab Harry; Jelas bingung mengapa ada orang yang tertarik untuk mengetahui bahwa ia sedang sakit.
James merasa perutnya terbalik. Ini mungkin karena asuhan Harry lagi. James tidak bisa melihat ada orang di Riddle Manor yang peduli apakah Harry sakit. Tidak setelah jenis pelecehan yang mereka lakukan saat ia masih kecil. James merasa kuku-kukunya menggoreskan telapak tangannya. Dia menyadari bahwa dia telah mengepalkan tangannya. Dia santai dan mencoba untuk tidak memikirkannya.
"Jika kau merasa tidak sehat maka aku ingin kau membiarkan aku atau ibumu tahu, aku tidak pernah ingin kau menderita sendiri lagi, mengerti?" kata James sebisa mungkin.
Harry tampak kesal mendengarnya.
"Aku tujuh belas, Dad," katanya.
"Jadi, apakah anak usia tujuh belas tahun tidak bisa sakit? Apakah mereka tidak perlu dirawat saat sakit?" tanya James sambil menatap Harry.
Harry memalingkan muka dari James yang tampaknya tersesat kata-kata.
"Aku tidak suka orang membuat masalah yang besar tentangku, lebih baik sendirian saat kau sakit." Harry berkata, tidak melihat James.
"Tidak lagi tidak," kata James sambil berdiri. "Ayo, kau pergi ke rumah sakit."
Tidak peduli berapa banyak Harry berargumen, James berhasil membawanya ke rumah sakit. Dia meninggalkan Harry dalam perawatan Poppy. Dia sudah terlambat untuk pelajaran berikutnya. Poppy mengambil alih dengan gembira dan mulai menyodorkan ramuan ke Harry.
"Ini, minum ramuan tidur. Semakin banyak kau tidur semakin cepat kau sembuh," Poppy mengatakan sambil memegangi botol kecil terakhir itu.
Harry melihat botol itu. Dia benar-benar ingin menerimanya, untuk tidur. Dia tahu dia akan terganggu dengan mimpi buruk jika tidak. Dia hendak meraihnya, tapi kemudian sisi rasionalnya masuk.
"Tidak, Poppy, terima kasih tapi aku sudah tidur nyenyak. Aku hanya akan diam dan membaca apa yang kulewatkan di kelas," katanya.
Poppy menatap Harry dengan heran. Ia memberinya tatapan penuh perhitungan yang sepertinya membuat Harry gugup.
"Aku yakin kau tidak kehilangan apapun yang belum kau ketahui. Ambil ramuan dan tidur. Kau tidak dalam keadaan sehat untuk belajar," katanya sambil mengulurkan botol lagi.
Harry melihat botol itu. Dia benar-benar menginginkannya. Sekali lagi tidak ada salahnya, kan? Ditambah lagi, dia belum mengambilnya sejak malam sebelum tadi malam. Tentunya tidak ada salahnya. Dia mengulurkan tangan dan mengambil botol itu darinya dan menelannya sebelum dia bisa berubah pikiran.
••••
Harry terbangun saat merasakan tangan yang menenangkan menyentuh dahinya yang panas. Dia membuka matanya dan melihat ibunya menatapnya. Ia tersenyum saat melihat dia terbangun.
"Hai," katanya pelan.
"Hei" Harry serak.
Dia masih merasa tidak enak. Dia bisa tahu demamnya masih ada di sana, membuatnya merasa, jika mungkin, lebih buruk dari sebelumnya. Seluruh tubuhnya sakit dan sakit kepala membuatnya merasa sakit.
Dia melihat Damien dan teman-temannya duduk di sebelah ibunya dan tiba-tiba menemukan pemandangan itu sangat lucu.
Dia tertawa pelan membuat ibunya menatapnya dengan heran.
"Apa?" tanyanya. Ia tidak berpikir ada yang lucu karena sakit parah.
"Kalian semua terlihat seperti sedang duduk di ranjang kematianku," Harry bercanda.
Lily memucat dan ia menatap Harry dengan terluka.
"Diam, Harry!" kata Ginny, datang untuk duduk di sampingnya di tempat tidur.
Harry tertawa lagi, tapi berharap tidak melakukannya. Rasa sakit di kepalanya melesat ke tingkat yang baru, menghentikan tawanya dengan singkat.
Poppy keluar dari kantornya dan meringis pada Ginny. Ia cepat-cepat merangkak dari tempat tidur dan duduk di kursinya. Poppy datang dan mulai memeriksa Harry. Ia mengerang frustrasi.
"Suhumu masih terlalu tinggi. Aku tidak mengerti. Aku telah memberimu banyak ramuan penurun demam. Demammu seharusnya sudah lebih baik sekarang. Kaj seharusnya merasa lebih baik!" katanya sambil memeriksa kembali suhu Harry.
Penglihatan Harry bergerak dan dia meraih kepalanya sambil mengerang karena sakitnya.
"Tidak bisakah kau melakukan sesuatu tentang sakit kepala ini?" Harry bertanya, membenci bagaimana dia terdengar lemah di depan teman-temannya. Mereka pernah melihat dia sakit sebelumnya tapi masih tidak membuatnya merasa malu.
"Aku sudah memberimu semua yang bisa kulakukan untuk hari ini. Kau tidak bisa lagi menghilangkan rasa sakit," Poppy memberitahunya dengan nada meminta maaf.
'Lagi-lagi,' Harry berpikir pada dirinya sendiri bahwa dia sama sekali tidak merasa sakit sama sekali. Dia tidak mengatakan apa-apa.
"Aku tidak mengerti." Poppy terus mengeluh.
"Madam Pomfrey, apakah ramuan itu bekerja dengan perut kosong?" tanya Damien tiba-tiba.
Harry memelototinya tapi itu tidak membuat anak laki-laki yang lebih muda diam.
"Harusnya begitu, kenapa?" tanya perawat sekolah itu.
"Mungkin itu karena Harry tidak makan apa pun selama dua hari ini ini," Damien mengatakannya pada mereka.
Harry benar-benar tersentak saat Lily dan Poppy memelototinya. Dia diam-diam berjanji untuk mengajar Damien agar tidak mengganggunya lagi.
"Dua hari!?" Lily memekik.
"Bukan ... aku tidak lapar," Harry mencoba memberitahunya.
Dia sempat melihat sekilas Hermione terlihat sangat sombong. Dia bisa merasakan sakit kepalanya memburuk.
Lily bangkit dan menuju ke pintu. Dia pasti akan mendapatkan sesuatu untuk dimakan Harry. Harry menatap Damien dengan tatapan muram.
"Oh ayolah, Harry Jangan lihat aku seperti itu. Kau tahu itu tidak berhasil padaku," Damien memberitahunya dengan lembut.
Harry tidak berhenti memelototinya sampai Lily kembali masuk, memegang semangkuk sup mengepul.
"Makanlah ini, semuanya!" perintahnya.
"Mum..."
"Aku tidak mau mendengarnya! Makanlah!" ia menginstruksikan.
Harry meraih kepalanya saat teriakan Lily membuat kepalanya berdenyut-denyut.
"Tolong, jangan berteriak," Harry berkata kesakitan.
Seketika Lily mundur. Ia meletakkan mangkuk itu ke meja samping tempat tidur dan mulai menggosokkan lingkaran di punggungnya untuk membantunya. Bagaimanapun, Harry mengangkat bahu. Dia benar-benar benci disentuh saat dia sakit, terlalu banyak kenangan buruk.
Poppy melihat ke dalam kekhawatiran.
"Kapan makanan terakhirmu?" tanya Lily.
Harry tidak bisa menjawab, terutama karena dia berusaha menenangkan perutnya untuk menyimpan semua ramuan yang diminumnya tadi. Hermione menjawab untuknya.
"Dia belum makan dengan benar atau beberapa saat ini," katanya.
Lalu, sambil mengabaikan tatapan kesal yang diberikan Harry padanya, ia melanjutkan.
"Dia biasanya hanya melewatkan makan, jika tidak maka dia akan memilih makanannya, dia tidak makan makanan yang tepat, belum sejak saat itu, sejak hari Valentine," ia selesai dengan canggung.
Harry tidak menatap siapa pun. Dia tidak percaya Hermione baru saja menjualnya seperti itu. Dia sangat marah padanya.
Lily menatap Harry, merasakan dorongan untuk menghiburnya. Memeluknya dan menyingkirkan semua masalahnya. Tapi dia tahu dia tidak bisa. Ia mengedipkan air mata.
Poppy juga melihat Harry. Sebuah ekspresi khawatir dan ketakutan di wajahnya. Ia memiliki pikiran yang mengerikan. Demam terus-menerus, tidak ada respon terhadap ramuan dan kehilangan nafsu makan. Harry tidak bisa ... tidak, tidak, tidak mungkin. Itu pasti karena sesuatu yang lain. Meski begitu, ia tidak akan beristirahat sampai ia puas dengan ketakutan ini, ia melangkah maju.
"Harry, aku akan melakukan tes darah kecil, hanya untuk mencoba dan mencari tahu mengapa demammu tidak turun," ia meyakinkannya.Dia mengambil sampel darah dan bergegas ke kantornya. Merasa letih bahkan menyuruh para pengunjung untuk pergi dan membiarkan pasiennya beristirahat.
To be Continued ~
KAMU SEDANG MEMBACA
A Part Of Me ✔️
FanfictionSTORY BY KURINOONE SINOPSIS: Harry mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya tanpa Voldemort. Tapi terkadang masa lalumu menolak untuk meninggalkanmu. Buku kedua dari Dark Prince. Note : Ini adalah Sequel dari 'The Darkness Within'. Aku me...